Jakarta, CNBC Indonesia - Sudah sepekan Indonesia menjalani pengetatan pembatasan sosial yang kali ini diberi nama Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), bukan lagi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Tujuan dari kebijakan itu adalah menekan angka kasus pasien positif virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19).
PPKM dimulai pada 11 Januari dan rencananya berakhir 25 Januari. Berarti sekarang sudah setengah jalan, tinggal separuh lagi.
PPKM lebih bersifat lokal, pemerintah membatasi aktivitas dan mobilitas warga di sejumlah provinsi Jawa-Bali. Di DKI Jakarta adalah seluruh wilayah ibu kota. Jawa Barat ada Kota Bogor, Kabupaten Bogot, Kota Depok, Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, Kota Bandung, Kabupaten Bandung Barat, dan Kabupaten Cimahi.
Di Jawa Tengah adalah Semarang Raya, Solo Raya, dan Banyumas Raya. Kemudian Di Yogyakarta adalah Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Kulonprogo.
Sementara di Jawa Timur adalah Surabaya Raya dan Malang Raya. Terakhir di Bali, ada Kota Denpasar dan Kabupaten Badung.
Di daerah-daerah tersebut, 75% karyawan diimbau untuk bekerja dari rumah (work from home). Kegiatan belajar-mengajar juga masih dilakukan secara jarak jauh.
Pusat perbelanjaan wajib tutup pukul 19:00. Restoran masih boleh menerima pelanggan yang makan-minum di tempat, tetapi hanya 25% dari kapasitas lokasi.
Kemudian rumah ibadah masih boleh membuka pintu bagi jamaah, tetapi hanya 50% dari kapasitas. Sedangkan lokasi pariwisata yang dikelola pemerintah sama sekali tidak boleh beroperasi.
Apakah berbagai pembatasan ini membuat kasus corona berkurang? Sayangnya tidak. Malah yang ada malah semakin mengerikan.
Selama sepekan pertama PPKM, rata-rata pasien positif corona bertambah 11.415 orang setiap harinya. Melonjak dibandingkan rerata sepekan sebelumnya yaitu 8.954 orang per hari.
Bahkan penambahan kasus harian sempat mencetak rekor baru selama empat hari beruntun. Saat ini rekor tertinggi penambahan kasus harian terjadi pada 16 Januari yang mencapai 14.224 orang.
Padahal kalau disawang-sawang, warga lumayan taat terhadap aturan pemerintah. Misalnya, indeks mobilitas dengan mengemudi pada 11-16 Januari adalah 84,63. Lebih rendah ketimbang rerata sepekan sebelumnya yaitu 94,09.
Begitu pula dengan indeks mobilitas dengan berjalan kaki. Rata-rata 11-16 Januari adalah 64,65. Rerata sepekan sebelumnya adalah 67,77.
Dengan berkurangnya mobilitas warga, kemacetan pun berkurang. Indeks kemacetan di Jakarta pada 11-17 Januari rata-rata adalah 10,02 per hari. Lebih rendah ketimbang rerata sepekan sebelumnya yaitu 11,29.
Kalau warga sudah lumayan taat, tidak bandel, jadi apa yang membuat angka kasus baru melonjak? Sepertinya lebih karena jumlah tes yang lebih banyak.
Dalam sepekan terakhir, rata-rata pengujian dilakukan terhadap 41.752 orang per hari. Jauh lebih tinggi dibandingkan rerata seminggu sebelumnya yaitu 32.933 oran setiap harinya. Dengan lebih banyak tes, maka kemungkinan untuk menemukan kasus positif tentu semakin tinggi.
Lebih banyak tes sebenarnya semakin bagus. Memang akan lebih banyak dijumpai kasus positif, tetapi ini menjadi mencerminkan kondisi yang sesungguhnya di lapangan. Mereka yang ternyata positif mengidap virus corona pun bisa diberi penanganan, baik di fasilitas kesehatan maupun isolasi mandiri sehingga tidak 'bergentayangan' dan menulari ke mana-mana.
Namun 'ledakan' kasus positif akibat tes yang semakin masif juga bukan sesuatu yang patut disyukuri. Sebab rasio temuan kasus positif terhadap jumlah test (positivity rate) semakin bertambah. Artinya, virus corona kini semakin mudah ditemukan di Indonesia. Rakyat semakin terkepung oleh virus corona.
Oleh karena itu, seharusnya kita lebih mawas diri. Protokol kesehatan (memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan) harus ditegakkan secara murni dan konsekuen. Selagi vaksin belum disuntikkan ke badan Anda, protokol kesehatan adalah satu-satunya jalan untuk bertahan dari serangan virus corona.
TIM RISET CNBC INDONESIA