Jakarta, CNBC Indonesia - Neraca perdagangan Indonesia diperkirakan kembali membukukan surplus pada November 2020. Impor yang masih sangat lemah di tengah ekspor yang mulai membaik membuat neraca perdagangan hampir mustahil defisit.
Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengumumkan data perdagangan internasional Indonesia periode November 2020 pada 15 Desember 2020. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia untuk proyeksi pertumbuhan ekspor menghasilkan median 3,29% dibandingkan November 2019 (year-on-year/YoY).
Sementara impor masih mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif) 24,14% YoY. Ini membuat neraca perdagangan diperkirakan surplus lumayan banyak yaitu US$ 2,72 miliar.
Institusi | Pertumbuhan Ekspor (%YoY) | Pertumbuhan Impor (%YoY) | Neraca Perdagangan (US$ Juta) |
ANZ | -1 | -19 | 1800 |
Citi | 5.5 | -23.6 | 2990 |
CIMB Niaga | 0.4 | -21.8 | 2000 |
Maybank Indonesia | 3.96 | -24.27 | 2878 |
Bank Mandiri | 3.2 | -24.76 | 2848 |
Moody's Analytics | - | - | 2600 |
Bank Danamon | -2.3 | -26.3 | 2327 |
Mirae Asset | 4.5 | -25 | 3070 |
Bank Permata | 4.95 | -24.85 | 3110 |
BCA | 2.12 | -24.01 | 2590 |
Danareksa Research Institute | 3.38 | -23.79 | 2725 |
MEDIAN | 3.29 | -24.14 | 2725 |
Sementara konsensus yang dihimpun Reuters menghasilkan median pertumbuhan ekspor di 2,66% YoY dan impor anjlok 25,52% YoY. Ini membuat surplus neraca perdagangan berada di US$ 2,67 miliar.
Meski surplus perdagangan November 2020 diperkirakan cukup tinggi, tetapi masih kalah dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai US$ 3,61 miliar. Surplus perdagangan Oktober 2020 adalah yang tertinggi sejak akhir 2010.
Kali terakhir Indonesia membukukan defisit neraca perdagangan adalah pada April 2020. Selepas itu, neraca perdagangan selalu positif.
Tidak heran, karena impor Indonesia memang anjlok. Kali terakhir impor tumbuh positif adalah pada Juni 2019. Pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) membuat impor lebih jauh lagi, paling parah terjadi pada Mei 2020 dengan kontraksi mencapai 42,23% YoY, terdalam sejak April 2009.
Anthony Kevin, Ekonom Mirae Asset, menyebut dalam risetnya bahwa memang betul aktivitas manufaktur Indonesia membaik. Pada November 2020, Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Indonesia sudah di atas 50 yang artinya masuk zona ekspansi.
Namun bukan berarti impor bahan baku/penolong dan barang modal ikut meningkat. Dunia usaha masih lebih memilih memanfaatkan inventori yang sudah ada, karena permintaan belum meningkat signifikan.
"IHS Markit menggarisbawahi bahwa perusahaan masih mengurangi pembelian karena permintaan yang rendah. Pembelian bahan baku/penolong turun selama sembilan bulan berturut-turut, Oleh karena itu, kami memperkirakan impor bahan baku/penolong (yang menyumbang 74% dari total impor) masih mengalami kontraksi dalam," sebut Kevin.
Oleh karena itu, penurunan impor bukanlah kabar gembira. Penurunan impor adalah pertanda industri dalam negeri masih nyungsep. Dampaknya, penciptaan lapangan kerja terbatas sehingga angka pengangguran sulit diturunkan.
Akan tetapi, pada November 2020 sepertiya ada kabar baik. Kalau sesuai perkiraan ekspor tumbuh 3,29% YoY, maka akan menjadi catatan terbaik sejak Februari 2020. Artinya, sedikit demi sedikit kinerja ekspor mulai membaik menuju pencapaian sebelum pandemi.
Perbaikan ekspor ditunjang oleh kenaikan harga komoditas andalan terutama batu bara dan minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO). Harga batu bara acuan di pasar ICE Newcastle (Australia) sepanjang November 2020 melonjak 18,06% point-to-point. Dibandingkan dengan posisi akhir November 2019, harga komoditas ini mencatatkan kenaikan 0,86%.
Sedangkan harga CPO di Bursa Malaysia sepanjang November 2020 melesat 9,76% secara point-to-point. Dibandingkan akhir November 2019, harga meroket 20,44%.
"Permintaan di negara-negara tujuan ekspor utama juga bagus. Ini terlihat dari PMI manufaktur di negara-negara mitra dagang utama seperti China dan Amerika Serikat (AS) yang berada di atas 50. Impor China dari Indonesia pada November 2020 naik 7,08% YoY," tulis Faisal Rachman, Ekonom Mandiri, dalam catatannya.
Faisal memperkirakan peningkatan kinerja ekspor sementara impor yang masih lambat bakal terjadi setidaknya sampai akhir tahun ini. Oleh karena itu, kemungkinan besar neraca perdagangan masih akan membukukan surplus pada Desember 2020.
Surplus neraca perdagangan akan sangat membantu transaksi berjalan (current account). Sepanjang 2020, sepertinya defisit transaksi berjalan tidak akan sedalam perkiraan sebelumnya.
"Awalnya kami memperkirakan defisit transaksi berjalan sepanjang 2020 di -1,49% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Kini proyeksi kami ada di kisaran -0,32% hingga -0,51% PDB. Namun seiring dengan pemulihan ekonomi, kami perkirakan defisit transaksi berjalan akan kembali melebar ke -2,4% PDB pada 2021," sebut Faisal.
TIM RISET CNBC INDONESIA