Newsletter

Badai Pasti Berlalu

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
08 April 2020 05:57
Badai Pasti Berlalu
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia kurang kompak pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah, sementara nilai tukar rupiah sebaliknya.

Kemarin, IHSG ditutup melemah 0,69%. Padahal IHSG mengawal hari dengan mantap, dibuka menguat di kisaran 3%.

IHSG menjadi satu-satunya indeks saham yang melemah di Asia. Bahkan para tetangga buka hanya menguat, tetapi melonjak karena membukukan kenaikan signifikan.

Berikut posisi indeks saham utama Asia pada perdagangan kemarin:




Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat 1,56% kala penutupan perdagangan pasar spot. Penguatan rupiah terjadi beberapa saat jelang penutupan pasar. Rupiah lebih banyak menghabiskan haru di zona netral alias stagnan.


Sentimen negatif yang mewarnai pasar keuangan Indonesia boleh jadi adalah rilis data cadangan devisa. Bank Indonesia (BI) mengumumkan cadangan devisa per akhir Maret adalah US$ 121 miliar. Turun US$ 9,4 miliar dibandingkan bulan sebelumnya.

Cadangan devisa US$ 121 miliar adalah yang terendah sejak Mei tahun lalu. Koreksi US$ 9,4 miliar dalam menjadi yang terdalam sejak September 2011.

Penurunan cadangan devisa, apalagi kalau signifikan, bisa menjadi sentimen negatif bagi rupiah. Investor akan berpandangan 'peluru' untuk menjaga rupiah semakin tipis, sehingga menurunkan kepercayaan terhadap mata uang Ibu Pertiwi.


Namun, rupiah selamat karena pasar mengetahui informasi seputar kesepakatan BI dan bank sentral AS (The Federeal Reserve/The Fed) untuk fasilitas Repo Line senilai US$ 60 miliar. Melalui fasilitas ini, BI bisa memperoleh likuiditas dolar AS dari The Fed dengan menukarkan obligasi pemerintah AS.

"Jadi Repo Line tidak menambah cadangan devisa tetapi sangat bagus untuk kita gunakan dalam memenuhi kebutuhan dolar saat pasar global mengalami keketatan. Tidak banyak bank sentral negara berkembang yang diberikan Repo Line ini," kata Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam briefing perkembangan ekonomi terkini, kemarin.

Dengan tersedianya Repo Line, BI akan punya 'ban serep' untuk mengawal rupiah apabila cadangan devisa dirasa kurang memadai. Pasar bisa tenang karena gejolak rupiah sepertinya bisa diredam, BI punya 'peluru' yang cukup.


Kabar soal Repo Line ini yang kemudian membuat rupiah mampu sprint menjelang garis finis. IHSG pun sebenarnya lumayan membaik, pelemahannya menipis jelang akhir perdagangan. Namun IHSG kehabisan waktu untuk menyeberang ke zona hijau.

 

Berpindah ke bursa saham New York, tiga indeks utama ditutup melemah terbatas. Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 0,12%, S&P 600 berkuran 0,16%, dan Nasdaq Composite terpangkas 0,33%. Kemarin, ketiganya melesat dengan penguatan di level 7%.

Dalam beberapa waktu terakhir, jarang sekali (atau hampir tidak pernah) Wall Street ditutup di kisaran nol koma sekian. Pasti menguat atau melemah tajam, bahkan sempat belasan persen dalam sehari. Padahal perubahan yang wajar dan sehat adalah di kisaran nol koma itu, naik atau turun 1% sudah lumayan drastis.

Nah, perubahan Wall Street yang sudah agak normal hari ini menandakan volatilitas di pasar terus menurun. Volatilitas ydi pasar tercermin dari indeks VIX.

Sejak awal tahun, indeks yang sering disebut sebagai fear index ini melonjak 235,7% karena dalam sehari bisa naik belasan persen. Namun selepas mencapai titik tertinggi sejak Oktober 2008 beberapa hari yang lalu, VIX berangsur turun. Bukti bahwa volatilitas terus berkurang dan pasar sedang menstabilkan dirinya sendiri.

 

Stabilitas mulai tercipta di pasar karena ada pertanda awal bahwa pandemi virus corona atau Coronavirus Desease-2019 (Covid-19) mulai mereda. Berdasarkan data satelit pemetaan ArcGis pada Rabu (8/4/2020) per pukul 02:37 WIB, jumlah pasien virus corona terus bertambah menjadi di atas 1,4 juta orang, tepatnya 1.412.103. Korban meninggal juga meningkat menjadi tidak kurang dari 80.000 orang, persisnya di 81.103 (tingkat kematian/mortality rate 5,74%).

AS menjadi negara dengan kasus corona terbanyak di dunia dengan catatan 386.800 pasien. Dari jumlah tersebut, 12.285 orang tutup usia.

Melihat angka ini, memang masih sangat menyeramkan. Namun kalau menilik lebih dalam, sebenarnya ada perbaikan.


US Centers for Desease Control and Prevention mencatat pada 6 April ada 28.515 kasus baru di Negeri Paman Sam. Turun dibandingkan rekor tertinggi yang dicapai pada 4 April, yaitu bertambah 33.508 kasus dalam sehari.

Laju pertumbuhan penyebaran domestik juga melambat. Pada 7 April, pertumbuhan pasien baru yang disebabkan kontak antar-manusia di dalam negeri adalah 8,13% dibandingkan hari sebelumnya. Jauh di bawah rata-rata selama 24 Februari-7 April, yaitu 38,26%.



Sedangkan pertumbuhan kasus yang terkait dengan pendatang dari luar negeri (imported case) adalah 4,31% pada 7 April. Juga jauh di bawah rata-rata selama 24 Februari-7 April yang sebesar 18,45%.




"Mungkin ini adalah pertanda yang baik. Ada indikasi bahwa AS mulai melihat cahaya di ujung terowongan," kata Presiden AS Donald Trump kepada para jurnalis di Gedung Putih, sebagaimana diberitakan Reuters.

Pasar pun merasakan hal yang sama. Sam Stovall, Chief Investment Strategist di CFRA Research yang berbasis di New York, mengatakan bahwa perkembangan yang positif dalam dua hari terakhir memberi keyakinan bahwa badai pasti berlalu.

"Ibaratnya pasar sedang melihat ke ujung lembah dan berkata 'memang mengerikan, tetapi kita bisa melalui ini. Enam bulan ke depan, semua akan membaik'," kata Stovall, seperti dikutip dari Reuters.

Walau ada sinyal positif, Trump memilih untuk tetap waspada. Walau ada perbaikan, tetapi tetap masih ada orang yang meninggal dunia karena virus corona.

"Kami berharap ini mereda. Namun Anda tidak akan senang kalau melihat begitu banyak orang yang meninggal," tegasnya.


 

Untuk perdagangan hari ini, investor perlu mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu perkembangan di Wall Street. Oke, Wall Street memang melemah tetapi pelemahannya menunjukkan bahwa situasi mulai kembali normal. Volatilitas sudah semakin rendah.

Artinya, investor boleh berharap bahwa stabilitas akan kembali setelah periode fluktuasi ekstrem. Ketidakpastian berkurang, dan saatnya untuk menata kembali portofolio yang berantakan.

Sentimen kedua tentu investor perlu terus memantau perkembangan penyebaran virus corona. Walau ada perlambatan laju penyebaran, tetapi dampak ekonomi dari virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini tidak bisa hilang begitu saja.

"Walau mungkin kasus sudah mencapai puncak, tetapi pemerintah di berbagai negara tentu masih ingin memastikan apakah semuanya betul-betul sudah baik-baik saja. Oleh karena itu, kebijakan lockdown (karantina wilayah) dan semacamnya sepertinya masih berlanjut," kata Charalambos Pissouros, Senior Market Analyst di JFD Group, dikutip dari Reuters.


Ya, selama aktivitas publik masih terbatas (atau dibatasi), maka roda ekonomi tidak akan mampu berputar cepat. Oleh karena itu, risiko resesi masih tetap sangat tinggi bahkan hampir pasti.

Reuters menggelar jajak pendapat yang melibatkan 50 ekonom dari berbagai institusi di Amerika Utara, Eropa, dan Asia. Hasilnya, ekonomi global diperkirakan terkontraksi (tumbuh negatif) -1,2% tahun ini. Padahal survei tiga pekan sebelumnya masih menghasilkan angka pertumbuhan 1,6%.

Reuters
 
"Stimulus fiskal dan moneter yang besar tidak akan mampu mencegah kejatuhan ekonomi dalam beberapa bulan ke depan. Kami menduga resesi kali ini bisa lebih dalam dibandingkan ketika krisis keuangan global 2008-2009," kata Marco Valli, Head of Macro Research di Unicredit, seperti dikutip dari Reuters.

Oleh karena itu, investor tetap perlu waspada. Lega boleh, tetapi jangan sampai terlena karena resesi sepertinya sudah di depan mata.


 

Sentimen ketiga adalah harga komoditas, utamanya minyak. Pada pukul 04:08 WIB, harga minyak jenis brent turun 3,57% sementara light sweet anjlok 9,39%.




Sebenarnya kejatuhan harga minyak yang membuat Wall Street terperosok ke zona merah. Sejak pembukaan hingga jelang lapak ditutup, Wall Street sebenarnya anteng di zona hijau tetapi harga minyak yang ambles ikut menyeretnya ke teritori negatif.

Rilis data di AS menyebabkan harga minyak terkoreksi lumayan dalam. America Petroleum Institute (API) memperkirakan stok minyak AS pada pekan lalu bertambah 11,9 juta barel menjadi 473,8 juta barel.

"Saya tidak bisa berpikir apa yang terjadi saat ini akan membuat harga minyak bullish. Sebab, akan ada stok minyak yang begitu banyak," kata Bob Yawger, Director of Energy Futures di Mizuho, seperti dikutip dari Reuters.

Selain itu, pelaku pasar juga grogi jelang pertemuan OPEC di Arab Saudi pada 9 April alias besok. Rencananya, pertemuan ini akan membahas seputar pemangkasan produksi sebesar 10 juta barel/hari atau sekitar 10% dari pasokan minyak di pasar dunia.

"Pasar ingin kejelasan apakah Arab Saudi dan Rusia benar-benar sudah sepakat soal pemotongan produksi," tegas Gene McGillian, Vice President of Market Research di Tradition Energy, seperti dikutip dari Reuters.


Wajar pasar harap-harap cemas dan masih ragu apakah kesepakatan bisa tercapai. Pasalnya, sudah ada catatan OPEC dan Rusia gagal mencapai kata sepakat soal penurunan produksi.

Bulan lalu, hubungan Arab Saudi-Rusia menegang. Gara-garanya, Rusia menolak proposal OPEC soal rencana pemotongan produksi minyak 1,5 juta barel/hari.

Keputusan Rusia membuat OPEC (baca: Arab Saudi) ngambek. Tidak cuma menggenjot produksi, Arab Saudi juga menaikkan produksi minyak plus memberi harga diskon.

Sepertinya Riyadh sedang menantang para rivalnya, siapa yang paling kuat bertahan dengan harga minyak rendah. Terjadilah apa yang disebut perang harga minyak.

Kehadiran AS sebagai juru damai mampu membuat hubungan Arab Saudi-Rusia membaik dan bersedia untuk berdialog di forum OPEC esok hari. Namun soal apakah rencana pemotongan produksi 10 juta barel/hari bakal gol, tidak ada yang tahu. Ini yang membuat pelaku pasar grogi.


Sentimen keempat, kali ini dari dalam negeri, adalah rilis data penjualan ritel periode Februari 2020. BI memperkirakan penjualan ritel turun -1,9% year-on-year (YoY). Kalau kejadian, maka akan menjadi catatan terendah sejak Juli 2017.



"Penurunan tersebut terutama disebabkan oleh penurunan penjualan sub-kelompok sandang peralatan komunikasi dan informasi, suku cadang dan aksesori, serta makanan, minuman, dan tembakau," sebut laporan BI.


Penurunan penjualan ritel (jika terjadi) akan semakin memberi konfirmasi bahwa ekonomi Indonesia sedang dalam tekanan. Sebelumnya, BI juga merilis Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Maret 2020 sebesar 113,8. Masih optimistis karena angkanya di atas 100, tetapi menjadi yang terendah sejak September 2016.

Perlambatan IKK dan penurunan penjualan ritel menandakan bahwa konsumsi rumah tangga bakal melambat. Pemerintah memperkirakan konsumsi rumah tangga tahun ini hanya tumbuh 2,3%, jauh melambat dibandingkan 2019 yang sebesar 5,04%.

Konsumsi rumah tangga menyumbang hampir 60% dari pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Perlambatan pertumbuhan konsumsi rumah tangga sama dengan perlambatan ekonomi. Pemerintah memperkirakan pertumbuhan ekonomi 2020 sebesar 2,3%, melambat dibandingkan pencapaian 2019 yaitu 5,02%.


Dengan prospek ekonomi Indonesia yang gloomy, ini bisa menjadi sentimen negatif yang membuat investor enggan masuk ke pasar keuangan Tanah Air. Oleh karena itu, IHSG dan rupiah masih rawan tertekan selama situasi belum membaik.


Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

1. Rilis data transaksi berjalan Jepang periode Februari 2020 (06:50 WIB).
2. Rapat pemegang saham tahunan PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul Tbk (09:00 WIB).
3. Rapat pemegang saham tahunan PT Waskita Beton Precast Tbk (09:00 WIB).
4. Rapat pemegang saham tahunan PT Astra Graphia Tbk (10:00 WIB).
5. Rapat pemegang saham tahunan PT Japfa Comfeed Tbk (10:00 WIB).
6. Rapat pemegang saham tahunan PT Astra Agro Lestari Tbk (10:00 WIB).
7. Rilis data penjualan ritel periode Februari 2020 (10:00 WIB).
8. Rapat pemegang saham tahunan PT United Tractors Tbk (14:00 WIB).
9. Rapat pemegang saham tahunan PT Delta Dunia Makmur Tbk (14:00 WIB).
10. Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT Provident Agro Tbk (14:00 WIB).
11. Rapat pemegang saham PT Multifilling Mitra Indonesa Tbk (tentatif).
12. Rapat pemegang saham PT Dharma Satya Nusantara Tbk (tenatif).
13. Rapat pemegang saham PT PP Presisi Tbk (tentatif).
14. Rilis data stok minyak AS versi US Energy Information Administration periode pekan yang berakhir 3 April (21:30 WIB).

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:


Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (2019 YoY)

5,02%

Inflasi (Maret 2020 YoY)

2,96%

BI 7 Day Reverse Repo Rate (Maret 2020)

4,5%

Surplus/defisit anggaran (APBN 2020)

-1,76% PDB

Surplus/defisit transaksi berjalan (2019)

-2,72% PDB

Surplus/defisit Neraca Pembayaran Indonesia (2019)

US$ 4,68 miliar

Cadangan devisa (Februari 2020)

US$ 130,44 miliar

 
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.


TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Corona Makin Gawat, China & Negara Barat Malah Main 'Silat'

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular