
Newsletter
Rupiah & IHSG Sudah Lama Sakit, Kapan Bisa Bangkit?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
27 February 2020 06:04

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia masih menjalani masa prihatin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), nilai tukar rupiah, sampai harga obligasi pemerintah terkoreksi.
Kemarin, IHSG ditutup melemah 1,7%. Ini adalah koreksi harian terdalam sejak 31 Januari sekaligus membawa IHSG ke posisi terlemah sejak September 2018. Oh iya, IHSG sudah melemah empat hari beruntun.
Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) berakhir dengan depresiasi 0,4% di perdagangan pasar spot. Penderitaan rupiah lebih panjang dibandingkan IHSG karena sudah melemah tujuh hari berturut-turut. Dalam tujuh hari tersebut, pelemahan mata uang Tanah Air mencapai 2,01%.
Kemudian imbal hasil (yield) obligasi pemerintah di hampir seluruh tenor membukukan kenaikan. Terkereknya yield menandakan harga instrumen ini sedang turun akibat tekanan jual.
'Horor' di pasar keuangan Ibu Pertiwi, dan pasar pasar keuangan Asia pada umumnya, adalah hasil dari kecemasan investor terhadap penyebaran virus corona yang semakin luas. Mengutip data satelit pemetaan ArcGis pada Kamis (27/2/2020) pukul 02:03 WIB, jumlah kasus virus corona di seluruh dunia mencapai 81.279. Korban jiwa semakin banyak yaitu 2.770 orang.
Penyebaran virus corona di China memang menurun. Kemarin, hanya ada lima kasus corona baru di China (di luar Provinsi Hubei), laju terendah sejak 20 Januari.
Namun yang sekarang membuat khawatir adalah penyebaran di luar China. Di Korea Selatan, misalnya, kasus corona bertambah 253 dalam sehari. Sedangkan di Iran, yang relatif baru menjadi korban serangan corona, jumlah korban meninggal mencapai 19 orang.
Sebelumnya, sejumlah ahli di China menyebutkan penyebaran virus corona di Negeri Tirai Bambu akan mulai melambat dan hilang ketika memasuki musim panas yang jatuh pada April. Masalahnya, di negara-negara lain ada perbedaan waktu.
"Korea Selatan dan Jepang di Asia Timur, Iran di Timur Tengah, dan Italia di Eropa, masing-masing memiliki jenis penyebaran virus COVID-19 yang berbeda. Musim gugur baru saja dimulai, dan virus corona punya banyak waktu sebelum iklim berubah menjadi lebih panas. Situasinya tidak optimistis," cuit Hu Xijin, Pemimpin redaksi Global Times, media yang terafilisasi dengan pemerintah China.
Virus corona membuat aktivitas masyarakat menjadi terbatas. Pabrik-pabrik tidak berproduksi normal, ekspor-impor tidak berjalan lancar, pariwisata tidak bergairah. Siapa yang berani keluar rumah saat ada virus mematikan sedang mengintai?
Oleh karena itu, virus corona adalah risiko terbesar bagi perekonomian dunia saat ini. Berbagai institusi sudah menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global untuk 2020 karena serangan virus corona.
Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan pertumbuhan ekonomi China tahun ini 'hanya' sebesar 5,6%. Perlambatan ekonomi China kemudian akan memangkas pertumbuhan ekonomi global sebesar 0,1 poin persentase.
"Pemulihan ekonomi sangat rapuh. COVID-19 sudah mengganggu aktivitas ekonomi China dan membuat ekonomi global dalam risiko," kata Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva, seperti dikutip dari keterangan tertulis.
Situasi ini tentu membuat investor tidak nyaman. Arus modal pun menjauh dari aset-aset berisiko di negara berkembang, termasuk Indonesia.
Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) berakhir dengan depresiasi 0,4% di perdagangan pasar spot. Penderitaan rupiah lebih panjang dibandingkan IHSG karena sudah melemah tujuh hari berturut-turut. Dalam tujuh hari tersebut, pelemahan mata uang Tanah Air mencapai 2,01%.
Kemudian imbal hasil (yield) obligasi pemerintah di hampir seluruh tenor membukukan kenaikan. Terkereknya yield menandakan harga instrumen ini sedang turun akibat tekanan jual.
'Horor' di pasar keuangan Ibu Pertiwi, dan pasar pasar keuangan Asia pada umumnya, adalah hasil dari kecemasan investor terhadap penyebaran virus corona yang semakin luas. Mengutip data satelit pemetaan ArcGis pada Kamis (27/2/2020) pukul 02:03 WIB, jumlah kasus virus corona di seluruh dunia mencapai 81.279. Korban jiwa semakin banyak yaitu 2.770 orang.
Penyebaran virus corona di China memang menurun. Kemarin, hanya ada lima kasus corona baru di China (di luar Provinsi Hubei), laju terendah sejak 20 Januari.
Namun yang sekarang membuat khawatir adalah penyebaran di luar China. Di Korea Selatan, misalnya, kasus corona bertambah 253 dalam sehari. Sedangkan di Iran, yang relatif baru menjadi korban serangan corona, jumlah korban meninggal mencapai 19 orang.
Sebelumnya, sejumlah ahli di China menyebutkan penyebaran virus corona di Negeri Tirai Bambu akan mulai melambat dan hilang ketika memasuki musim panas yang jatuh pada April. Masalahnya, di negara-negara lain ada perbedaan waktu.
"Korea Selatan dan Jepang di Asia Timur, Iran di Timur Tengah, dan Italia di Eropa, masing-masing memiliki jenis penyebaran virus COVID-19 yang berbeda. Musim gugur baru saja dimulai, dan virus corona punya banyak waktu sebelum iklim berubah menjadi lebih panas. Situasinya tidak optimistis," cuit Hu Xijin, Pemimpin redaksi Global Times, media yang terafilisasi dengan pemerintah China.
Virus corona membuat aktivitas masyarakat menjadi terbatas. Pabrik-pabrik tidak berproduksi normal, ekspor-impor tidak berjalan lancar, pariwisata tidak bergairah. Siapa yang berani keluar rumah saat ada virus mematikan sedang mengintai?
Oleh karena itu, virus corona adalah risiko terbesar bagi perekonomian dunia saat ini. Berbagai institusi sudah menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global untuk 2020 karena serangan virus corona.
Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan pertumbuhan ekonomi China tahun ini 'hanya' sebesar 5,6%. Perlambatan ekonomi China kemudian akan memangkas pertumbuhan ekonomi global sebesar 0,1 poin persentase.
"Pemulihan ekonomi sangat rapuh. COVID-19 sudah mengganggu aktivitas ekonomi China dan membuat ekonomi global dalam risiko," kata Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva, seperti dikutip dari keterangan tertulis.
Situasi ini tentu membuat investor tidak nyaman. Arus modal pun menjauh dari aset-aset berisiko di negara berkembang, termasuk Indonesia.
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular