Newsletter

Terima Kasih, Mister Trump!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
14 August 2019 05:15
Terima Kasih, Mister Trump!
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia masih belum berhenti terkoreksi pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sama-sama melemah. 

Kemarin, IHSG ditutup turun 0,63%. Indeks saham utama Asia pun bernasib serupa, seperti Nikkei 225 (-1,11%), Hang Seng (-2,1%), Shanghai Composite (-0,63%), Kospi (-0,85%), dan Straits Times (-0,7%). 


Sementara rupiah mengakhiri perdagangan pasar spot dengan depresiasi 0,49% di hadapan dolar AS. Mayoritas mata uang utama Asia juga melemah, tetapi tidak ada yang separah rupiah. 


Banjir sentimen negatif masih melanda pasar keuangan Asia. Perang dagang AS-China yang bertransformasi menjadi perang mata uang belum juga reda. 

Kemarin, Bank Sentral China (PBoC) menetapkan nilai tengah yuan di CNY 7,0326/US$. Ini adalah posisi terlemah sejak Maret 2008 atau lebih dari 11 tahun lalu. 

Posisi PBoC menyiratkan bahwa mereka 'merelakan' yuan melemah. Oleh karena itu, wajar jika AS meradang karena China dituding menggunakan mata uang sebagai 'senjata' dalam perang dagang. 

Ketika yuan melemah, maka produk made in China menjadi lebih murah di pasar ekspor. Ini membuat produk China tetap bisa leluasa berpenetrasi di berbagai negara, termasuk AS.  


Isu ini hanya bisa diredakan jika sudah ada kabar delegasi AS dan China akan bertemu di Washington awal September, seperti yang sudah dijadwalkan. Jika pertemuan ini sampai batal dan AS-China semakin panas, maka sentimen perang dagang dan perang mata uang akan terus menjadi momok di pasar keuangan global. 

Bahkan kini pelaku pasar mulai bicara soal risiko resesi akibat perang dagang AS-China. Goldman Sach dalam risetnya menyebut AS-China sepertinya akan sulit mencapai kesepakatan dagang sebelum Pemilu AS 2020. Perang dagang kemungkinan masih akan berkecamuk sampai tahun depan, yang bisa berujung kepada resesi. 

Belum lagi ada kabar buruk dari Amerika Latin. Mata uang peso Argentina terdepresiasi sampai menyentuh titik terlemah sepanjang sejarah.  

Kejatuhan peso disebabkan oleh kekalahan calon petahana (incumbent) di Pemilu 2019, Presiden Mauricio Macri, yang tampaknya sudah di depan mata. Dalam perhitungan suara awal, Macri hanya memperoleh sekitar 32%. Jauh di belakang kandidat oposisi Alberto Fernandez yang meraih 47%. 

Macri adalah pemimpin yang pro pasar. Di bawah kepemimpinannya, Argentina dibawa keluar dari krisis pada tahun lalu meski dibayar dengan harga yang lumayan mahal.  
Macri meminta bantuan Dana Moneter Internasional (IMF). Selain utangan, IMF juga menyarankan Macri untuk melakukan pengetatan anggaran. Pos-pos seperti subsidi dipangkas agar fiskal lebih sehat. 

Namun dengan kemungkinan Macri tidak terpilih lagi, Argentina bisa kembali ke rezim populis yang mengabaikan reformasi fiskal. Investor cemas pengganti Fernandez tidak terlalu ramah terhadap pasar sehingga bisa kembali membuat Negeri Lionel Messi terjerembab dalam krisis. 

Ya, kira-kira setahun lalu (Agustus 2018) Argentina membuat geger dunia. Mata uang peso melemah begitu dalam, yang kemudian menjadi sentimen negatif bagi mata uang negara berkembang lain, termasuk rupiah. 


Apalagi fundamental rupiah bisa dibilang kurang oke. Akhir pekan lalu Bank Indonesia (BI) melaporkan data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kuartal II-2019 yang membukukan defisit US$ 1,98 miliar. Padahal pada kuartal sebelumnya terjadi surplus US$ 2,42 miliar. 

Sementara di pos yang menjadi sorotan utama, yaitu transaksi berjalan (current account), terjadi defisit US$ 8,44 miliar atau 3,04% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Lebih dalam ketimbang kuartal sebelumnya yaitu minus US$ 6,97 miliar (2,6% PDB). 

Defisit NPI menandakan arus devisa di perekonomian nasional seret, lebih banyak yang keluar ketimbang yang masuk. Apalagi kemudian devisa jangka panjang dari ekspor barang dan jasa, yang dicerminkan dari transaksi berjalan, mengalami defisit yang lebih parah. 

Oleh karena itu, pasar semakin menemukan alasan untuk 'menghukum' rupiah. Selama transaksi berjalan masih defisit, rupiah memang rentan 'digoyang' ketika ada sentimen negatif dari luar. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Beralih ke Wall Street, tiga indeks utama ditutup menguat tajam setelah kemarin terkoreksi dalam. Dow Jones Industrial Average (DJIA) melesat 1,45%, S&P 500 melejit 1,48%, dan Nasdaq Composite meroket 1,95%. 

Apa yang dinantikan pelaku pasar (bahkan seluruh dunia) terjadi juga. Presiden AS Donald Trump akhirnya menunda rencana pemberlakuan bea masuk baru sebesar 10% untuk importasi produk China senilai US$ 300 miliar seperti telepon seluler, laptop, mainan anak, sepatu, pakaian, dan lain-lain. Awalnya bea masuk ini dijadwalkan mulai berlaku pada 1 September mendatang. 

"Kami melakukan ini (menunda pemberlakuan bea masuk) untuk mengantisipasi Hari Natal, berjaga-jaga kalau ada dampak ke konsumen. Jadi kami menundanya sehingga tidak mempengaruhi musim belanja Natal," kata Trump, seperti dikutip Reuters. 

Namun sebenarnya bukan berarti bea masuk ini dibatalkan sama sekali. Hanya ditunda sampai 15 Desember. 

Trump mengambil keputusan ini tidak lama setelah mendapat laporan bahwa Kepala Perwakilan Dagang AS Robert 'Bob' Lighthizer melakukan pembicaraan via telepon dengan Wakil Perdana Menteri China Liu He, Menteri Perdagangan China Zhong Shan, dan Gubernur PBoC Yi Gang.  

"Kedua pihak sepakat untuk melanjutkan pembicaraan melalui telepon dua minggu lagi," sebut pernyataan tertulis kantor Perwakilan Dagang AS. 

Pelaku pasar mengendus harapan. Jika AS dan China sepakat untuk saling menelepon lagi, maka dialog dagang di Washington awal bulan depan sangat mungkin terjadi. Apabila dialog itu membuahkan hasil positif, maka bisa jadi rencana pengenaan bea masuk 10% dibatalkan dan AS-China kembali menempuh jalan menuju damai dagang. 

"Dalam situasi yang tegang seperti sekarang, perkembangan ini tentu membawa optimisme. Kita akan segera mengakhiri musim laporan keuangan (earnings season) sehingga berita-berita ekonomi dan geopolitik memang menentukan arah pergerakan pasar dalam beberapa pekan ke depan," tutur Joseph Sroka, Chief Investment Officer di NovaPoint yang berbasis di Atlanta, seperti diwartakan Reuters. 

Penundaan bea masuk ini langsung berdampak signifikan ke sejumlah emiten di Wall Street. Misalnya Apple, yang harga sahamnya melesat 4,23%. 

Selain kabar baik dari relasi AS-China, rilis data ekonomi terbaru juga memberikan angin segar. Personal Consumption Expenditure (PCE) inti, yang digunakan oleh The Federal Reserve/The Fed sebagai indikator pengukuran inflasi, naik 2,2% year-on-year. Laju ini sudah di atas target 2% yang ditetapkan The Fed. 

Angka itu menggambarkan konsumsi di AS tidak jatuh, masih kencang. Artinya masih ada harapan pertumbuhan ekonomi tidak jatuh terlalu dalam. 

Meski inflasi sudah di atas target 2%, tetapi belum ada jaminan itu akan berkelanjutan. Oleh karena itu, pelaku pasar masih memperkirakan The Fed akan kembali menurunkan suku bunga acuan pada September. Mengutip CME Fedwatch, probabilitas penurunan Federal Funds Rate sebesar 25 basis poin (bps) pada rapat The Fed 18 September adalah 99,6%. 

"Isu perdagangan sangat bisa mengganggu pertumbuhan ekonomi. Jadi kalau The Fed menurunkan suku bunga pada September, maka itu akan menjadi semacam langkah proaktif sebelum semuanya terlambat," tambah Sroka. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu perkembangan di Wall Street yang positif. Semoga euforia di New York bisa terasa di Asia, termasuk Indonesia. 

Kedua, investor juga bisa lega karena AS menunda pemberlakuan bea masuk baru bagi produk-produk made in China. Bahkan ada harapan bea masuk tersebut bisa dibatalkan. 

Hubungan AS-China juga bisa membaik jika Negeri Tirai Bambu membeli lebih banyak produk pertanian Negeri Paman Sam. Trump menyebut China kembali mengulangi janji tersebut, dan dia berharap akan ditepati. 

"China mengatakan mereka akan membeli banyak dari para petani kita. Sejauh ini mereka belum melakukannya. Mungkin kali ini berbeda!" cuit Trump di Twitter. 

Semoga relasi AS-China terus membaik sampai membuahkan kesepakatan damai dagang. Sebab, perang dagang AS-China adalah risiko besar yang bahkan bisa menyebabkan perekonomian dunia terjebak dalam resesi. 


Sentimen ketiga, pelaku pasar juga sepertinya masih perlu mencermati dinamika di Hong Kong. Awal pekan ini, aksi massa sudah merambah ke bandara internasional Hong Kong yang berdampak pada pembatalan seluruh penerbangan. 

Bara di Hong Kong belum reda, bahkan mungkin semakin panas. Sebab, China dikabarkan sudah mengirim pasukan militer ke wilayah otonomnya tersebut. 

"Intelijen kami menginformasikan bahwa pemerintah China menggerakkan pasukan ke perbatasan Hong Kong. Seluruh pihak diharapkan tetap tenang dan selamat!" ungkap Trump melalui cuitan di Twitter. 


Hong Kong adalah salalah satu pusat keuangan Asia, bahkan dunia. Jika situasi di sana belum kondusif, maka bisa mengganggu proses bisnis dan investasi. Oleh karena itu, investor masih perlu waspada mengingat bara di Hong Kong sepertinya belum reda. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 4)


Sentimen keempat adalah mata uang peso Argentina yang masih melemah, meski tidak sedalam kemarin. Pada pukul 04:33 WIB, peso melemah 6,56% terhadap dolar AS dan membuat rekor terlemah baru sepanjang sejarah. 

"Pelaku pasar memperkirakan Fernandez akan membuat Argentina gagal bayar (default), menerapkan kontrol devisa, dan mempertimbangkan ulang kehadiran IMF. Intinya, Fernandez akan mengembalikan kebijakan populis," sebut Claudio Irigoyen, Direktur Pelaksana Bank of America Merrill Lynch, seperti dikutip dari Reuters. 

Ada kekhawatiran mata uang negara berkembang lainnya (termasuk rupiah) akan terkena getahnya. Pasar menjadi lebih hati-hati dan enggan berinvestasi di mata uang negara berkembang, apalagi di negara yang satu kelompok (peer) dengan Argentina. Ini sudah dialami rupiah kemarin dan bukan tidak mungkin bisa terulang hari ini. 


Namun, semoga harapan damai dagang lebih kuat sehingga bisa menutup kekhawatiran pasar terhadap Argentina. Kalau asa damai dagang lebih kuat, maka rupiah punya harapan untuk bangkit. 

Sentimen kelima, yang juga bisa mendatangkan risiko bagi rupiah, adalah lonjakan harga minyak. Pada pukul 04:46 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet meroket masing-masing 4,06% dan 3,46%. 

Optimisme bahwa AS-China bisa mencapai damai dagang menjadi alasan utama kenaikan harga si emas hitam. Jika AS-China baikan, maka rantai pasok global akan pulih, perdagangan dan investasi meningkat, yang berujung pada percepatan pertumbuhan ekonomi.  

Saat ekonomi membaik, permintaan energi tentu meningkat. Ini alasan utama kenaikan harga minyak. 

Bagi rupiah, kenaikan harga minyak bisa menjadi bencana. Dengan posisi Indonesia sebagai negara net importir minyak, biaya impor komoditas ini akan semakin mahal jika harganya naik. Akibatnya, kena lagi transaksi berjalan yang membuat fundamental rupiah semakin rapuh. 

Namun lagi-lagi, semoga hubungan AS-China yang membaik bisa membuat investor melupakan hal ini. Semoga pasar terlarut dalam euforia dan melupakan masalah fundamental di perekonomian Indonesia. 

Terima kasih, Mister Trump! 


(BERLANJUT KE HALAMAN 5)


Berikut adalah rilis data dan agenda yang terjadwal untuk hari ini:
  • Rilis data investasi tetap China periode Juli (09:00 WIB).
  • Rilis data produksi industri China periode Juli (09:00 WIB).
  • Rilis data penjualan ritel China periode Juli (09:00 WIB).
  • Paparan kinerja PT Bank Rakyat Indonesia Tbk semester I-2019 (09:30 WIB).
  • Rilis data pembacaan awal pertumbuhan ekonomi Jerman kuartal II-2019 (13:00 WIB).
  • Rilis data inflasi Inggris periode Juli (15:30 WIB).
  • Rilis data pembacaan kedua pertumbuhan ekonomi Zona Euro kuartal II-2019 (16:00 WIB).
  • Rilis data penjualan mobil Indonesia periode Juli (tentatif). 

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional: 

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q II-2019 YoY)5,05%
Inflasi (Juli 2019 YoY)3,32%
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Juli 2019)5,75%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (Q II-2019)-3,04% PDB
Neraca pembayaran (Q II-2019)-US$ 1,98 miliar
Cadangan devisa (Juli 2019)US$ 125,9 miliar
 
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular