Newsletter

Demo 22 Mei Ricuh, Apa Kabar Pasar Keuangan Indonesia?

Taufan Adharsyah & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
23 May 2019 07:39
Demo 22 Mei Ricuh, Apa Kabar Pasar Keuangan Indonesia?
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia menjalani hari yang berat pada perdagangan kemarin (22/5/2019): Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) jatuh 0,2% ke level 5.939,64 dan rupiah melemah 0,31% melawan dolar AS di pasar spot.

Sementara itu, imbal hasil (yield) obligasi seri acuan tenor 5, 15, dan 20 tahun naik masing-masing sebesar 2,7 bps, 0,7 bps, 1,8 bps. Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.


Kinerja IHSG berbanding terbalik dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang mengakhiri hari di zona hijau: indeks Nikkei naik 0,05%, indeks Hang Seng naik 0,18%, dan indeks Kospi naik 0,18%.

Sementara itu, walau mayoritas mata uang negara-negara Asia lainnya juga melemah kemarin, depresiasi rupiah menjadi yang paling dalam. Tak hanya itu, rupiah juga ditutup di level terlemahnya sepanjang tahun 2019.

Sentimen domestik yakni kericuhan yang mewarnai jalannya demo 22 Mei membuat investor cemas dan melepas instrumen keuangan di Indonesia. Sejak Rabu dini hari, massa menggelar demo di berbagai titik di Jakarta yang berujung menjadi kericuhan. Salah satu lokasi yang menjadi titik kericuhan adalah Tanah Abang.

Demo ini berkaitan dengan penolakan sejumlah kelompok masyarakat terhadap hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) yang memenangkan pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin.


Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyebutkan bahwa terdapat 200 orang luka-luka karena kericuhan demo tersebut. Anies bahkan menyebut ada 6 orang yang tewas.

Hingga akhir perdagangan di pasar keuangan kemarin, situasi masih juga panas. Bahkan, pemerintah memutuskan untuk membatasi aktivitas di media sosial untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, terutama peredaran informasi hoax.

"Sementara untuk hindari provokasi kita melakukan pembatasan akses di media tertentu agar tidak diaktifkan. Akses media sosial untuk jaga hal-hal negatif yang disebarkan masyarakat," kata Menkopolhukam Wiranto di Jakarta, Rabu sore (22/5/2019).

Ricuhnya gelaran demo 22 Mei membuat transaksi di pasar saham berlangsung sangat sepi. Sepanjang hari, nilai transaksi hanya tercatat senilai Rp 6,94 triliun, jauh di bawah rata-rata nilai transaksi harian yang senilai Rp 10 triliun.


Investor asing memegang peranan besar dalam mendorong IHSG melemah. Per akhir perdagangan, investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 143,7 miliar di pasar saham (pasar reguler), menandai jual bersih selama 14 hari beruntun (dimulai dari tanggal 3 Mei). Jika ditotal, dalam 14 hari tersebut, total jual bersih investor asing di pasar reguler mencapai Rp 10 triliun.

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Beralih ke AS, Wall Street mengakhiri perdagangan hari Rabu dengan catatan negatif: indeks Dow Jones melemah 0,39%, indeks S&P 500 turun 0,28%, dan indeks Nasdaq Composite terkoreksi 0,45%.

Rilis risalah rapat (minutes of meeting) oleh The Federal Reserve selaku bank sentral AS menjadi faktor yang membebani kinerja bursa saham Negeri Paman Sam.

Melalui risalah rapat edisi 30 April-1 Mei, terungkap indikasi bahwa Jerome Powell (Gubernur The Fed) dan kolega tak akan mengubah tingkat suku bunga acuan dalam beberapa waktu ke depan, dilansir dari CNBC International. Tak mengerek naik, namun juga tak memangkasnya.

“Para anggota melihat bahwa pendekatan yang sabar… kemungkinan akan tetap layak diadopsi untuk beberapa waktu,” tulis risalah The Fed yang dirilis pada hari Rabu, dilansir dari Reuters.



Wajar jika pelaku pasar saham AS kecewa dengan risalah The Fed tersebut. Pasalnya, di tengah perang dagang AS-China yang terus saja tereskalasi, belum lagi ditambah potensi meletusnya perang dagang AS-Uni Eropa, tentu pemangkasan tingkat suku bunga acuan dianggap menjadi hal yang paling bijak.

Ketika tingkat suku bunga acuan dipangkas, tingkat suku bunga kredit yang ditawarkan oleh perbankan juga akan turun dan menstimulasi rumah tangga serta dunia usaha untuk menarik kredit, yang pada akhirnya akan mendorong perekonomian tumbuh lebih tinggi. Penjualan dari perusahaan-perusahaan yang melantai di AS akan terkerek naik yang tentunya membuat sahamnya lebih menarik untuk dikoleksi.



Seiring dengan rilis risalah rapat The Fed yang ternyata mengecewakan bagi instrumen saham, pasar obligasi menjadi sasaran investor untuk mengalihkan dananya.

Pada tanggal 22 Mei, melansir data Refinitiv, yield obligasi AS seri acuan tenor 10 tahun jatuh sebesar 4,6 bps. Sekali lagi, penurunan yield menunjukkan bahwa harga sedang mengalami kenaikan.


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Untuk perdagangan hari ini, ada sejumlah sentimen yang perlu diperhatikan oleh pelaku pasar. Pertama, tentu kinerja Wall Street pada perdagangan kemarin yang tak menggembirakan. Dikhawatirkan, pelaku pasar keuangan Asia sudah lemas sebelum memulai hari pasetelahsca melihat kinerja Wall Street.

Kedua, perkembangan perang dagang AS-China yang masih panas.

Seperti yang diketahui, pada pekan lalu Presiden AS Donald Trump mendeklarasikan kondisi darurat nasional di sektor teknologi melalui sebuah perintah eksekutif. Dengan aturan itu, Menteri Perdagangan Wilbur Ross menjadi memiliki wewenang untuk memblokir transaksi dalam bidang teknologi informasi atau komunikasi yang menimbulkan risiko bagi keamanan nasional AS.

Bersamaan kebijakan ini, Huawei Technologies dan 70 entitas terafiliasi dimasukkan ke dalam daftar perusahaan yang dilarang membeli perangkat dan komponen dari perusahaan AS tanpa persetujuan pemerintah.



Perkembangan terbaru, Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin mengungkapkan bahwa hingga saat ini, AS belum memiliki rencana untuk bertandang ke Beijing guna menggelar negosiasi dagang, dilansir dari CNBC International. Komentar tersebut diberikannya menjelang dengar pendapat dengan para anggota legislatif di AS.

Di sisi lain, Mnuchin memang memberikan pernyataan yang cukup melegakan. Dirinya tetap optimistis kedua negara bisa kembali ke meja negosiasi.

“Saya masih berharap bahwa kami dapat kembali ke meja negosiasi. Kedua presiden (Donald Trump dan Xi Jinping) kemungkinan besar akan bertemu pada akhir Juni (di sela-sela KTT G20),” kata Mnuchin dalam dengar pendapat dengan para anggota legislatif, dilansir dari CNBC International.

Namun, hal tersebut nampaknya belum akan bisa meredakan kekhawatiran pelaku pasar. Pasalnya, hingga saat ini belum ada rencana konkret dari AS untuk berkunjung ke China. Selain itu, China sudah mempertimbangkan kebijakan balasan yang akan diluncurkan terhadap AS.

Menurut sebuah laporan dari South China Morning Post, restriksi yang diberikan AS kepada Huawei telah mendorong China untuk memikirkan ulang seluruh hubungan ekonomi yang dijalin dengan AS, dilansir dari CNBC International.



Laporan tersebut kemudian menyebut bahwa China sedang mempertimbangkan untuk menghentikan pembelian gas alam dari AS. Pada tahun 2017, China diketahui membeli minyak mentah dan gas alam cair senilai US$ 6,3 miliar dari AS.

(BERLANJUT KE HALAMAN 4) Sentimen ketiga yang harus dicermati pelaku pasar adalah keperkasaan dolar AS. Hingga pukul 07:05 WIB, indeks dolar AS membukukan penguatan sebesar 0,02%.

Rilis risalah The Fed memberikan suntikan energi bagi greenback. Dengan memudarnya ekspektasi bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan pada tahun ini, praktis dolar AS menjadi lebih dihargai oleh pelaku pasar.



Apalagi, perkembangan terbaru juga menunjukkan bahwa anggota The Fed masih nyaman dengan kebijakan yang sudah diambilnya sejauh ini.

Dalam wawancara pada hari Rabu dengan Fox Business, Dallas Federal Reserve president Robert Kaplan mengatakan bahwa untuk menggerakkan tingkat suku bunga acuan (baik naik maupun turun), dirinya perlu melihat suatu hal yang meyakinkan.

“Pada dasarnya, kami berada dalam pengaturan kebijakan yang tepat,” kata Kaplan, dilansir dari Reuters.

Jika dolar AS terus perkasa, rupiah akan sulit untuk bangkit. Bisa jadi rupiah akan melemah selama 3 hari beruntun. Jika benar rupiah melemah lagi, pasar saham dan obligasi Indonesia bisa kembali merasakan pahitnya zona merah.

Sentimen keempat yang perlu dicermati adalah terkait perkembangan demo 22 Mei. Aksi yang digadang-gadang sebagai aksi damai tersebut ternyata jauh sekali dari kata damai. Seperti sudah dipaparkan di halaman 1, setidaknya ada 6 orang yang meninggal akibat kericuhan pada Rabu dini hari, dengan ratusan orang menderita luka-luka.

Kemarin sore (selepas perdagangan di pasar keuangan Indonesia ditutup), massa kembali menyemut di depan Gedung Bawaslu. Aksi yang sempat berlangsung damai pun berbalik menjadi ricuh (lagi). Salah satu area di Gedung Bawaslu bahkan diketahui sempat terbakar saat kericuhan terjadi. Api diduga berasal dari molotov yang dilempar para pericuh.

Tak jauh dari kantor Bawaslu, tepatnya di depan Djakarta Theater, nampak sebuah bangkai mobil truk polisi yang dirusak massa yang berkumpul di Jalan Wahid Hasyim menuju arah Gondangdia, dilansir dari CNN Indonesia.



Masih dilansir dari CNN Indonesia, hingga pukul 05.45 WIB aparat masih berusaha menghalau massa yang berpusat di dua titik. Pertama, di Jalan Wahid Hasyim arah Tanah Abang. Kedua, jalan Wahid Hasyim arah Gondangdia.

Kemarin, kita sudah melihat dampak dari kericuhan demo terhadap pasar keuangan Indonesia. Pada hari ini, terutama jika tensi belum bisa diredam, hal yang sama sangat mungkin kita lihat kembali.


(BERLANJUT KE HALAMAN 5)


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Rilis pembacaan awal Purchasing Manager’s Index (PMI) Manufaktur Jepang periode Mei versi Nikkei (07:30 WIB)
  • Rilis pembacaan awal PMI Manufaktur Zona Euro periode Mei versi Markit (15:00 WIB)
  • Rilis data klaim tunjangan pengangguran AS untuk minggu yang berakhir pada 18 Mei (19:30 WIB)
  • Rilis pembacaan awal PMI Manufaktur AS periode Mei versi Markit (20:45 WIB)
  • Rilis data penjualan rumah baru AS periode April (21:00 WIB)

Berikut sejumlah indikator perekonomian:


IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q I-2019 YoY)5,17%
Inflasi (April 2019 YoY)2,83%
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Mei 2019)6%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (QI-2019)-2,6% PDB
Neraca pembayaran (QI-2019)US$ 2,4 miliar
Cadangan devisa (April 2019)US$ 124,29 miliar
 
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular