Newsletter

Damai dengan China, AS Siap 'Perang' Lawan India!

Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & M Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
06 March 2019 05:56
Damai dengan China, AS Siap 'Perang' Lawan India!
Ilustrasi Perdagangan Saham (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia berakhir variatif pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah, sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) berhasil menguat. 

Kemarin, IHSG finis dengan koreksi 0,73%. Ini saja sudah lumayan, karena sebelumnya IHSG sempat anjlok di kisaran 1%. 


Sedangkan rupiah menutup perdagangan pasar spot dengan apresiasi 0,07% di hadapan greenback. Penguatan rupiah baru terjadi pada menit terakhir perdagangan setelah nyaris seharian berkutat di zona merah. 

Pasar keuangan Asia tertekan pada perdagangan kemarin karena kabar dari China. Pemerintah China memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada 2019 'hanya' 6-6,5%. Melambat dibandingkan pencapaian 2018 yaitu 6,6%. Padahal pertumbuhan 6,6% saja sudah menjadi yang terlemah sejak 1990. 

Perlambatan ekonomi di China tentu akan sangat mempengaruhi Asia karena statusnya sebagai perekonomian terbesar di Benua Kuning. Oleh karena itu, investor berpikir berulang kali untuk masuk ke pasar keuangan Asia, termasuk Indonesia. 


Namun kemudian ada perkembangan baru yang melegakan. Huang Shouhong, Kepala Kantor Riset Dewan Negara China, menyatakan Negeri Tirai Bambu hanya butuh pertumbuhan ekonomi 6,2% pada 2019 dan 2020 untuk mencapai target membuat Produk Domestik Bruto naik dua kali lipat pada 2020. 

"Pertumbuhan ekonomi yang sedikit di atas atau di bawah itu juga masih bisa diterima," ujar Huang, mengutip Reuters. 

Kabar ini membuat pelaku pasar menjadi agak tenang. Sepertinya tidak perlu ada kekhawatiran bahwa perlambatan ekonomi China akan membawa dampak yang signifikan. Memang ada dampak negatif, tetapi masih terukur sepanjang tidak terjadi hard landing. 

Selain itu, pemerintah juga berkomitmen untuk menjaga performa ekonomi Negeri Panda. Pemerintahan Presiden Xi Jinping menaikkan defisit anggaran dari 2,6% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2018 menjadi 2,8% tahun ini.  

Otoritas fiskal juga akan memangkas tarif pajak secara besar-besaran. Pemotongan tarif pajak ini diperkirakan mampu menciptakan perputaran uang senilai hampir CNY 2 triliun di sistem perekonomian. 

Kemudian, pemerintah pusat China juga menaikkan batas penerbitan obligasi oleh daerah dari CNY 1,35 triliun pada 2018 menjadi CNY 2,15 triliun tahun ini. Tujuannya agar daerah tetap mampu menjaga kinerja pembangunannya masing-masing. 


"Situasi yang dihadapi China lebih rumit dan berat. Akan lebih banyak risiko dan tantangan baik yang bisa diprediksi maupun tidak. Oleh karena itu, kita harus siap menghadapi 'peperangan' tersebut," tegas Li Keqiang, Perdana Menteri China, di hadapan parlemen, seperti dikutip dari Reuters. 

Perkembangan di China membuat pelaku pasar kembali yakin bahwa tidak akan ada hard landing. Arus modal asing pun kembali masuk ke pasar keuangan Asia, tidak terkecuali Indonesia. 

Rupiah berhasil tertolong dan akhirnya mampu terangkat ke zona hijau. Namun IHSG yang sudah terlanjur melemah dalam hanya bisa menipiskan koreksinya menjadi di bawah 1%. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Dari Wall Street,  tiga indeks utama berakhir melemah tetapi dalam rentang terbatas. Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 0,05%, S&P 500 minus 0,11%, dan Nasdaq Composite berkurang 0,02%. 

Investor di bursa saham New York sepertinya beraktivitas dengan penuh kehati-hatian. Pasalnya, ada sentimen positif dan negatif yang datang bersamaan. 

Sentimen positif datang dari rilis Purchasing Manager Index (PMI) non-manufaktur AS versi ISM yang pada Februari 2019 berada di 59,7. Lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 56,7. Angka Februari juga menjadi yang tertinggi dalam 3 bulan terakhir. 

Kemudian penjualan properti residensial baru di Negeri Paman Sam pada Desember 2018 tercatat 621.000 unit pada Desember 2018 atau naik 3,7% dibandingkan bulan sebelumnya. Angka penjualan rumah baru tersebut merupakan yang tertinggi sejak Mei 2018. 

Lalu, emiten-emiten ritel di Wall Street juga memberi kabar gembira. Target, misalnya, memperkirakan laba per saham (Earnings per Share/EPS) pada tahun fiskal 2019 di kisaran US$ 5,75-6,05. Lebih baik ketimbanga konsensus pasar yang dihimpun Refinitiv yaitu US$ 5,61. 

"Performa ini tidak hanya karena konsumen masih kuat, tetapi juga menunjukkan strategi kami berhasil. Tim kami bekerja secara agresif untuk mengejar pangsa pasar, terutama di mainan anak-anak," kata CEO Target Brian Cornell, mengutip Reuters. 

Investor memberikan apresiasi dengan memborong saham Target. Harga saham Target pun melesat dengan penguatan mencapai 4,58%. 

Sedangkan sentimen negatif yang membuat pelaku pasar enggan terlampau agresif adalah terkait hubungan AS-China. Mike Pompeo, Menteri Luar Negeri AS, menyatakan Presiden Donald Trump bisa saja membatalkan kesepakatan dagang dengan China jika hasilnya tidak menguntungkan. 

"Ya," kata Pompeo menjawab pernyataan apakah Trump bisa meninggalkan perundingan jika hasilnya tidak memuaskan. 

"Perkembangan (perundingan dengan China) memang baik, tetapi harus benar. Ini harus berguna bagi AS, jika tidak maka akan kami paksakan terus. Kami akan mencoba mendapatkan hasil yang baik, saya percaya itu bisa," lanjutnya, seperti dikutip dari Reuters. 

Selain itu, sentimen negatif juga datang dari General Electric (GE). Larry Culp, CEO GE, menyatakan arus kas perseroan dari lini usaha industrial akan negatif pada tahun ini. 

"Sepertinya kita akan melihat angka negatif yang lebih besar tahun ini, karena kami tengah melakukan restrukturisasi," ungkapnya, dikutip dari Reuters. 

Saham GE pun terkoreksi dalam, mencapai 4,72%. Anjloknya saham GE menjadi kontributor signifikan yang membuat Wall Street merah. 

Secara umum, hasil dari pertemuan 'air dan api' ini adalah pelaku pasar yang bersikap hati-hati dan penuh kegamangan. Ini terlihat dari volume perdagangan yang 'hanya' melibatkan 6,9 miliar unit saham, di bawah rata-rata 20 hari terakhir yaitu 7,3 miliar unit. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama adalah Wall Street yang berakhir di zona merah. Meski koreksi Wall Street relatif terbatas, tetapi bisa membuat mood pelaku pasar di Asia menjadi jelek dalam mengawali perdagangan. 

Sentimen kedua yang patut diwaspadai adalah berlanjutnya keperkasaan dolar AS. pada pukul 04:52 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,17%. 

Seperti yang sudah disampaikan, data-data terbaru di AS menunjukkan hasil positif. Data-data ini sedikit banyak menghapus kekhawatiran mengenai perlambatan ekonomi AS, karena ternyata dunia usaha dan rumah tangga masih terus melakukan ekspansi. 

Artinya, peluang The Federal Reserves/The Fed untuk menaikkan suku bunga acuan menjadi semakin terbuka. The Fed tentu punya kepentingan agar roda perekonomian AS tidak melaju terlalu cepat dan menimbulkan tekanan inflasi yang tidak perlu alias overheating. Cara untuk membuat roda perekonomian bergerak lebih sehat adalah mengeremnya melalui kenaikan suku bunga acuan. 

Meski mungkin tidak dilakukan dalam waktu dekat, tetapi prospek kenaikan Federal Fund Rate menjadi bekal keperkasaan dolar AS. Berinvestasi di dolar AS akan menguntungkan karena iming-iming kenaikan suku bunga acuan. Akibatnya, ada kemungkinan arus modal masih akan berkerumun di sekitar mata uang Negeri Paman Sam. 

Apabila dolar AS terus menguat, maka nasib rupiah menjadi penuh tanda tanya. Kemarin saja rupiah baru bisa menguat pada menit terakhir perdagangan, pukul 15:59 WIB. Posisi mata uang Tanah Air masih belum stabil, masih rentan terjatuh lagi, sehingga investor perlu berhati-hati. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 4)


Namun ada sentimen ketiga yang bisa membantu rupiah yaitu penurunan harga minyak. Pada pukul 05:01 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet terkoreksi masing-masing 0,15% dan 0,64%. 

Penyebab penurunan harga si emas hitam adalah lapangan minyak El Sharara di Libya yang kembali beroperasi sejak tutup pada Desember 2018. Kapasitas produksi lapangan tersebut mencapai 315.000 barel/hari. 

Kemudian, pelaku pasar juga berekspektasi cadangan minyak AS naik. Dalam konsensus pasar yang dihimpun Reuters, cadangan minyak AS diperkirakan naik 1,2 juta barel pada pekan yang berakhir 1 Maret. 

Kembali berproduksinya lapangan di Libya dan peningkatan cadangan minyak AS memunculkan persepsi pasokan bakal melimpah. Sementara permintaan mungkin justru turun akibat perlambatan ekonomi di China. 

Kekhawatiran terhadap oversupply pun kembali menghantui. Hasilnya, harga minyak bergerak ke selatan alias melemah. 


Namun bagi rupiah, koreksi harga minyak adalah sebuah berkah. Sebab, Indonesia adalah negara net importir minyak. Mau tidak mau Indonesia harus mengimpor minyak untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, karena produksi yang tidak memadai. 

Ketika harga minyak turun, maka biaya impor komoditas ini menjadi lebih murah. Tekanan ke neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account) tentu akan bekurang. Rupiah pun jadi punya fondasi yang lebih kuat, karena membaiknya pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. 


Investor juga perlu mencermati sentimen keempat yaitu hubungan AS-India yang sepertinya mengarah ke perang dagang. Presiden Trump mengancam akan mencabut fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) yang dinikmati India sejak 1970-an. 


GSP adalah fasilitas bea masuk yang lebih rendah bagi impor produk-produk asal negara miskin atau berkembang. Indonesia pun mendapat fasilitas serupa dari AS. 


Menurut Trump, India tidak serius membuka pasarnya bagi produk-produk AS. Oleh karena itu, eks taipan properti tersebut mencoba bernegosiasi dengan cara favoritnya yaitu menebar ancaman. 

"Saya mengambil langkah ini karena selama hubungan AS dengan India, saya merasa India tidak menjamin membuka pasarnya kepada AS," sebut Trump dalam surat yang ditujukan kepada para pimpinan Kongres AS, seperti dikutip dari Reuters. 

Sejauh ini India masih kalem menanggapi ancaman Trump. Anup Wadhawan, Menteri Perdagangan India, menyebutkan keuntungan GSP dari AS tidak terlalu signifikan yaitu 'hanya' US$ 190 juta per tahun. Dari sekitar 3.700 produk yang dicakup dalam GSP, lanjut Wadhawan, India hanya memanfaatkan 1.784. 

"Diskusi dengan AS terus dilakukan. Kami belum mempertimbangkan untuk melakukan balasan," tutur Wadhawan, mengutip Reuters. 

Seorang pejabat Kementerian Perdagangan India menyatakan keuntungan GSP dari AS sebenarnya kecil. Sebab, toh tarif bea masuk di AS sudah cukup rendah. 

"GSP hanya simbolis, bukan soal hitungan angka," ujar pejabat tersebut, mengutip Reuters. 

India memang masih kalem. Namun jika Trump terus melancarkan provokasi, bisa-bisa New Delhi panas juga.  

Setelah damai dagang AS-China mungkin sebentar lagi tercapai, Washington bisa saja menjalani perang baru melawan India. Tentu bukan kabar gembira bagi pelaku pasar. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 5)


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Rilis data ekspor-impor AS periode Desember 2018 (20:30 WIB).
  • Rilis data tenaga kerja non-pertanian AS versi ADP periode Februari 2019 (20:15 WIB/perkiraan).
  • Rilis data konsumsi rumah tangga Jepang periode Januari 2019 (06:00 WIB/perkiraan).
  • Rilis Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Indonesia periode Februari 2019 (tentatif).

Investor juga perlu mencermati agenda korporasi yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:

PerusahaanJenis KegiatanWaktu
PT Panorama Sentrawisata Tbk (PANR)RUPSLB09:30 WIB
PT Indosat Tbk (ISAT)Earnings Call14:00 WIB
 
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional: 

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (2018 YoY)5,17%
Inflasi (Februari 2019 YoY)2,57%
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Februari 2019)6%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (2018)-2,98% PDB
Neraca pembayaran (2018)-US$ 7,13 miliar
Cadangan devisa (Januari 2019)US$ 120,07 miliar
 
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular