
Newsletter
Damai dengan China, AS Siap 'Perang' Lawan India!
Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & M Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
06 March 2019 05:56

Namun ada sentimen ketiga yang bisa membantu rupiah yaitu penurunan harga minyak. Pada pukul 05:01 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet terkoreksi masing-masing 0,15% dan 0,64%.
Penyebab penurunan harga si emas hitam adalah lapangan minyak El Sharara di Libya yang kembali beroperasi sejak tutup pada Desember 2018. Kapasitas produksi lapangan tersebut mencapai 315.000 barel/hari.
Kemudian, pelaku pasar juga berekspektasi cadangan minyak AS naik. Dalam konsensus pasar yang dihimpun Reuters, cadangan minyak AS diperkirakan naik 1,2 juta barel pada pekan yang berakhir 1 Maret.
Kembali berproduksinya lapangan di Libya dan peningkatan cadangan minyak AS memunculkan persepsi pasokan bakal melimpah. Sementara permintaan mungkin justru turun akibat perlambatan ekonomi di China.
Kekhawatiran terhadap oversupply pun kembali menghantui. Hasilnya, harga minyak bergerak ke selatan alias melemah.
Namun bagi rupiah, koreksi harga minyak adalah sebuah berkah. Sebab, Indonesia adalah negara net importir minyak. Mau tidak mau Indonesia harus mengimpor minyak untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, karena produksi yang tidak memadai.
Ketika harga minyak turun, maka biaya impor komoditas ini menjadi lebih murah. Tekanan ke neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account) tentu akan bekurang. Rupiah pun jadi punya fondasi yang lebih kuat, karena membaiknya pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa.
Investor juga perlu mencermati sentimen keempat yaitu hubungan AS-India yang sepertinya mengarah ke perang dagang. Presiden Trump mengancam akan mencabut fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) yang dinikmati India sejak 1970-an.
GSP adalah fasilitas bea masuk yang lebih rendah bagi impor produk-produk asal negara miskin atau berkembang. Indonesia pun mendapat fasilitas serupa dari AS.
Menurut Trump, India tidak serius membuka pasarnya bagi produk-produk AS. Oleh karena itu, eks taipan properti tersebut mencoba bernegosiasi dengan cara favoritnya yaitu menebar ancaman.
"Saya mengambil langkah ini karena selama hubungan AS dengan India, saya merasa India tidak menjamin membuka pasarnya kepada AS," sebut Trump dalam surat yang ditujukan kepada para pimpinan Kongres AS, seperti dikutip dari Reuters.
Sejauh ini India masih kalem menanggapi ancaman Trump. Anup Wadhawan, Menteri Perdagangan India, menyebutkan keuntungan GSP dari AS tidak terlalu signifikan yaitu 'hanya' US$ 190 juta per tahun. Dari sekitar 3.700 produk yang dicakup dalam GSP, lanjut Wadhawan, India hanya memanfaatkan 1.784.
"Diskusi dengan AS terus dilakukan. Kami belum mempertimbangkan untuk melakukan balasan," tutur Wadhawan, mengutip Reuters.
Seorang pejabat Kementerian Perdagangan India menyatakan keuntungan GSP dari AS sebenarnya kecil. Sebab, toh tarif bea masuk di AS sudah cukup rendah.
"GSP hanya simbolis, bukan soal hitungan angka," ujar pejabat tersebut, mengutip Reuters.
India memang masih kalem. Namun jika Trump terus melancarkan provokasi, bisa-bisa New Delhi panas juga.
Setelah damai dagang AS-China mungkin sebentar lagi tercapai, Washington bisa saja menjalani perang baru melawan India. Tentu bukan kabar gembira bagi pelaku pasar.
(BERLANJUT KE HALAMAN 5)
(aji/aji)
Penyebab penurunan harga si emas hitam adalah lapangan minyak El Sharara di Libya yang kembali beroperasi sejak tutup pada Desember 2018. Kapasitas produksi lapangan tersebut mencapai 315.000 barel/hari.
Kemudian, pelaku pasar juga berekspektasi cadangan minyak AS naik. Dalam konsensus pasar yang dihimpun Reuters, cadangan minyak AS diperkirakan naik 1,2 juta barel pada pekan yang berakhir 1 Maret.
Kembali berproduksinya lapangan di Libya dan peningkatan cadangan minyak AS memunculkan persepsi pasokan bakal melimpah. Sementara permintaan mungkin justru turun akibat perlambatan ekonomi di China.
Kekhawatiran terhadap oversupply pun kembali menghantui. Hasilnya, harga minyak bergerak ke selatan alias melemah.
Namun bagi rupiah, koreksi harga minyak adalah sebuah berkah. Sebab, Indonesia adalah negara net importir minyak. Mau tidak mau Indonesia harus mengimpor minyak untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, karena produksi yang tidak memadai.
Ketika harga minyak turun, maka biaya impor komoditas ini menjadi lebih murah. Tekanan ke neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account) tentu akan bekurang. Rupiah pun jadi punya fondasi yang lebih kuat, karena membaiknya pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa.
Investor juga perlu mencermati sentimen keempat yaitu hubungan AS-India yang sepertinya mengarah ke perang dagang. Presiden Trump mengancam akan mencabut fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) yang dinikmati India sejak 1970-an.
GSP adalah fasilitas bea masuk yang lebih rendah bagi impor produk-produk asal negara miskin atau berkembang. Indonesia pun mendapat fasilitas serupa dari AS.
Menurut Trump, India tidak serius membuka pasarnya bagi produk-produk AS. Oleh karena itu, eks taipan properti tersebut mencoba bernegosiasi dengan cara favoritnya yaitu menebar ancaman.
"Saya mengambil langkah ini karena selama hubungan AS dengan India, saya merasa India tidak menjamin membuka pasarnya kepada AS," sebut Trump dalam surat yang ditujukan kepada para pimpinan Kongres AS, seperti dikutip dari Reuters.
Sejauh ini India masih kalem menanggapi ancaman Trump. Anup Wadhawan, Menteri Perdagangan India, menyebutkan keuntungan GSP dari AS tidak terlalu signifikan yaitu 'hanya' US$ 190 juta per tahun. Dari sekitar 3.700 produk yang dicakup dalam GSP, lanjut Wadhawan, India hanya memanfaatkan 1.784.
"Diskusi dengan AS terus dilakukan. Kami belum mempertimbangkan untuk melakukan balasan," tutur Wadhawan, mengutip Reuters.
Seorang pejabat Kementerian Perdagangan India menyatakan keuntungan GSP dari AS sebenarnya kecil. Sebab, toh tarif bea masuk di AS sudah cukup rendah.
"GSP hanya simbolis, bukan soal hitungan angka," ujar pejabat tersebut, mengutip Reuters.
India memang masih kalem. Namun jika Trump terus melancarkan provokasi, bisa-bisa New Delhi panas juga.
Setelah damai dagang AS-China mungkin sebentar lagi tercapai, Washington bisa saja menjalani perang baru melawan India. Tentu bukan kabar gembira bagi pelaku pasar.
(BERLANJUT KE HALAMAN 5)
(aji/aji)
Next Page
Simak Agenda dan Data Berikut Ini
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular