
Newsletter
Waspadai 'Kado' Natal dari Wall Street
Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
26 December 2018 06:12

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia bergerak variatif pekan lalu, sebelum libur Hari Natal. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dan pasar obligasi pemerintah masih mampu menguat, tetapi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah tipis.
Selama pekan lalu, rupiah menguat 0,2% terhadap dolar AS di perdagangan pasar spot secara point-to-point. Dalam periode yang sama, sejumlah mata uang Asia juga mencetak apresiasi melawan greenback.
Dari Asia Tenggara, ringgit Malaysia menguat 0,09%. Sementara dolar Singapura menguat 0,15%, baht Thailand menguat 0,55%, dan peso Filipina menguat 0,26%.
Kemudian dari Asia Timur, yen Jepang melesat dengan penguatan 1,9%. Sedangkan yuan China bisa dibilang stagnan karena hanya menguat 0,003%, won Korea Selatan menguat 0,32%, dan dolar Taiwan menguat 0,23%.
Lalu dari Asia Selatan, rupee India meroket dengan apresiasi 2,47%. Mata uang Negeri Bollywood sukses menjadi raja Asia.
Sementara penguatan di pasar obligasi tercermin dari penurunan imbal hasil (yield). Selama pekan lalu, yield obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun turun 8,8 basis poin (bps). Penurunan yield adalah pertanda harga instrumen ini sedang naik akibat tingginya permintaan.
Akan tetapi, nasib IHSG tidak terlalu beruntung. Selama minggu kemarin, IHSG terkoreksi tipis 0,1%.
Meski minus, IHSG masih lebih baik ketimbang bursa saham Benua Kuning yang berguguran. Indeks Nikkei 225 amblas 6,81%, Hang Seng anjlok 1,31%, Shanghai Composite ambrol 2,99%, Kospi turun 0,38%, dan Straits Times jatuh 1,01%.
Pekan lalu, sentimen utama yang mewarnai pasar keuangan global (termasuk Asia dan Indonesia) adalah pudarnya kekuatan dolar AS sebagai aset aman alias safe haven. Pertama, dolar AS sepertinya tidak akan lagi mendapat beking dari The Federal Reserve/The Fed.
Pada 20 Desember dini hari waktu Indonesia, Jerome 'Jay' Powell dan kolega memutuskan untuk menaikkan Federal Funds Rate sebesar 25 bps ke 2,25-2,5% atau median 2,375%. Memang benar suku bunga acuan Negeri Paman Sam naik, tetapi kenaikan keempat selama 2018 ini sudah diperkirakan oleh pelaku pasar. Sudah masuk hitungan, sudah terkalkulasi, sudah priced-in.
Oleh karena itu, investor memilih untuk memasang mode forward looking yaitu meneropong kemungkinan kebijakan moneter AS pada 2019. Untuk akhir 2019, The Fed memasang target median suku bunga acuan di 2,8%, turun dari target sebelumnya yaitu 3,1%.
Artinya, kemungkinan kenaikan suku bunga acuan pada 2019 tidak akan seagresif 2018 yang mencapai empat kali. Sepertinya kenaikan dua kali sudah cukup untuk membawa suku bunga acuan sesuai dengan target. Ini membuat dolar AS menjadi kurang menarik lagi.
Kedua, investor juga semakin khawatir dengan risiko resesi di AS yang terlihat dari perkembangan di pasar obligasi. Pada akhir pekan lalu, yield obligasi AS tenor 2 tahun berada di 2,681% atau berselisih 12,55 bps dengan tenor 10 tahun. Pada 19 Desember, selisih yield dua instrumen ini sempat lebih tipis lagi di 12,2 bps.
Padahal dalam kondisi normal, jarak antara keduanya begitu lebar. Misalnya pada 20 Juni, selisih yield ada di 36,6 bps. Perbandingan yield tenor 2 dan 10 tahun kerap kali menjadi indikator untuk melihat pertanda awal terjadinya resesi.
Jika yield tenor 2 tahun mempersempit jarak dengan yang 10 tahun, apalagi kalau berhasil melampaui, maka itu disebut inverted. Inverted yield merupakan tanda-tanda awal dari resesi, yang biasanya terjadi sekitar setahun sesudahnya. Sebab, investor melihat risiko jangka pendek lebih besar ketimbang jangka panjang, sehingga meminta 'jaminan' yang lebih tinggi untuk tenor jangka pendek.
Dua faktor tersebut membuat pelaku pasar memilih bermain aman. Dalam situasi penuh ketidakpastian, ada pameo cash is king. Memegang uang tunai adalah langkah paling bijak.
Namun untuk saat ini, mata uang yang diinginkan investor adalah semuanya kecuali dolar AS. Akibatnya, mata uang Asia (termasuk rupiah) menjadi incaran sehingga nilainya menguat.
Pilihan berikutnya adalah ke pasar obligasi yang menjanjikan fluktuasi minimal. Apalagi Bank Indonesia (BI) menegaskan bahwa kebijakan moneter 2019 tetap diarahkan kepada stabilitas.
Memang BI 7 Day Reverse Repo Rate pada bulan ini ditahan ke 6%, tetapi dengan posisi (stance) kebijakan moneter yang menekankan kepada stabilitas, maka kemungkinan kenaikan pada 2019 sangat terbuka.
Ini membuat imbalan investasi di Indonesia, khususnya di instrumen berpendapata tetap seperti obligasi, akan naik. Dilandasi pencarian cuan, investor kembali memburu obligasi pemerintah.
Sementara saham, yang berstatus sebagai investasi penuh risiko, bukan menjadi pilihan investor. Dalam situasi penuh gejolak, bermain api dengan masuk ke ke instrumen berisiko memang wajar untuk dihindari. Hasilnya jelas, IHSG cs di Asia berjatuhan.
Selama pekan lalu, rupiah menguat 0,2% terhadap dolar AS di perdagangan pasar spot secara point-to-point. Dalam periode yang sama, sejumlah mata uang Asia juga mencetak apresiasi melawan greenback.
Dari Asia Tenggara, ringgit Malaysia menguat 0,09%. Sementara dolar Singapura menguat 0,15%, baht Thailand menguat 0,55%, dan peso Filipina menguat 0,26%.
Kemudian dari Asia Timur, yen Jepang melesat dengan penguatan 1,9%. Sedangkan yuan China bisa dibilang stagnan karena hanya menguat 0,003%, won Korea Selatan menguat 0,32%, dan dolar Taiwan menguat 0,23%.
Lalu dari Asia Selatan, rupee India meroket dengan apresiasi 2,47%. Mata uang Negeri Bollywood sukses menjadi raja Asia.
Sementara penguatan di pasar obligasi tercermin dari penurunan imbal hasil (yield). Selama pekan lalu, yield obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun turun 8,8 basis poin (bps). Penurunan yield adalah pertanda harga instrumen ini sedang naik akibat tingginya permintaan.
Akan tetapi, nasib IHSG tidak terlalu beruntung. Selama minggu kemarin, IHSG terkoreksi tipis 0,1%.
Meski minus, IHSG masih lebih baik ketimbang bursa saham Benua Kuning yang berguguran. Indeks Nikkei 225 amblas 6,81%, Hang Seng anjlok 1,31%, Shanghai Composite ambrol 2,99%, Kospi turun 0,38%, dan Straits Times jatuh 1,01%.
Pekan lalu, sentimen utama yang mewarnai pasar keuangan global (termasuk Asia dan Indonesia) adalah pudarnya kekuatan dolar AS sebagai aset aman alias safe haven. Pertama, dolar AS sepertinya tidak akan lagi mendapat beking dari The Federal Reserve/The Fed.
Pada 20 Desember dini hari waktu Indonesia, Jerome 'Jay' Powell dan kolega memutuskan untuk menaikkan Federal Funds Rate sebesar 25 bps ke 2,25-2,5% atau median 2,375%. Memang benar suku bunga acuan Negeri Paman Sam naik, tetapi kenaikan keempat selama 2018 ini sudah diperkirakan oleh pelaku pasar. Sudah masuk hitungan, sudah terkalkulasi, sudah priced-in.
Oleh karena itu, investor memilih untuk memasang mode forward looking yaitu meneropong kemungkinan kebijakan moneter AS pada 2019. Untuk akhir 2019, The Fed memasang target median suku bunga acuan di 2,8%, turun dari target sebelumnya yaitu 3,1%.
Artinya, kemungkinan kenaikan suku bunga acuan pada 2019 tidak akan seagresif 2018 yang mencapai empat kali. Sepertinya kenaikan dua kali sudah cukup untuk membawa suku bunga acuan sesuai dengan target. Ini membuat dolar AS menjadi kurang menarik lagi.
Kedua, investor juga semakin khawatir dengan risiko resesi di AS yang terlihat dari perkembangan di pasar obligasi. Pada akhir pekan lalu, yield obligasi AS tenor 2 tahun berada di 2,681% atau berselisih 12,55 bps dengan tenor 10 tahun. Pada 19 Desember, selisih yield dua instrumen ini sempat lebih tipis lagi di 12,2 bps.
Padahal dalam kondisi normal, jarak antara keduanya begitu lebar. Misalnya pada 20 Juni, selisih yield ada di 36,6 bps. Perbandingan yield tenor 2 dan 10 tahun kerap kali menjadi indikator untuk melihat pertanda awal terjadinya resesi.
Jika yield tenor 2 tahun mempersempit jarak dengan yang 10 tahun, apalagi kalau berhasil melampaui, maka itu disebut inverted. Inverted yield merupakan tanda-tanda awal dari resesi, yang biasanya terjadi sekitar setahun sesudahnya. Sebab, investor melihat risiko jangka pendek lebih besar ketimbang jangka panjang, sehingga meminta 'jaminan' yang lebih tinggi untuk tenor jangka pendek.
Dua faktor tersebut membuat pelaku pasar memilih bermain aman. Dalam situasi penuh ketidakpastian, ada pameo cash is king. Memegang uang tunai adalah langkah paling bijak.
Namun untuk saat ini, mata uang yang diinginkan investor adalah semuanya kecuali dolar AS. Akibatnya, mata uang Asia (termasuk rupiah) menjadi incaran sehingga nilainya menguat.
Pilihan berikutnya adalah ke pasar obligasi yang menjanjikan fluktuasi minimal. Apalagi Bank Indonesia (BI) menegaskan bahwa kebijakan moneter 2019 tetap diarahkan kepada stabilitas.
Memang BI 7 Day Reverse Repo Rate pada bulan ini ditahan ke 6%, tetapi dengan posisi (stance) kebijakan moneter yang menekankan kepada stabilitas, maka kemungkinan kenaikan pada 2019 sangat terbuka.
Ini membuat imbalan investasi di Indonesia, khususnya di instrumen berpendapata tetap seperti obligasi, akan naik. Dilandasi pencarian cuan, investor kembali memburu obligasi pemerintah.
Sementara saham, yang berstatus sebagai investasi penuh risiko, bukan menjadi pilihan investor. Dalam situasi penuh gejolak, bermain api dengan masuk ke ke instrumen berisiko memang wajar untuk dihindari. Hasilnya jelas, IHSG cs di Asia berjatuhan.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Next Page
Wall Street Belum Bosan Jatuh
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular