
Newsletter
Waspadai 'Kado' Natal dari Wall Street
Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
26 December 2018 06:12

Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu dampak 'kebakaran' di Wall Street yang masih berkobar.
Bisa jadi jilatan 'api' dari Wall Street melebar ke Asia, termasuk Indonesia. Jika terjadi, maka bukan kado Natal yang diterima IHSG cs tetapi malapetaka.
Sentimen kedua adalah harga minyak dunia yang kembali anjlok. Pada pukul 02:43 WIB, harga minyak jenis brent amblas 6,07% dan light sweet ambrol 6,97%.
Hantu perlambatan ekonomi masih menjadi momok bagi si emas hitam. Tidak hanya di AS, perekonomian global pada 2019 diperkirakan melandai.
Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) memperkirakan pertumbuhan ekonomi global pada 2019 sebesar 3,5%. Melambat dibandingkan tahun ini yang diperkirakan 3,7%.
Perlambatan ekonomi berarti permintaan energi akan ikut berkurang. Akibatnya, harga minyak pun bergerak turun, dan mungkin bertahan dalam waktu yang tidak sebentar.
Koreksi harga minyak bisa berdampak buruk bagi IHSG. Saham-saham energi dan pertambangan menjadi kehilangan pesona dan kemudian membebani IHSG secara keseluruhan.
Namun bagi rupiah, penurunan harga minyak adalah berita gembira. Sebab, penurunan harga minyak akan ikut menurunkan biaya impor minyak, penyebab utama defisit transaksi berjalan (current account).
Impor minyak adalah biang kerok dari defisit transaksi berjalan. Pada kuartal III-2018, neraca minyak mencatat defisit US$5,12 miliar. Sumbangsihnya sangat terasa bagi defisit transaksi berjalan yang sebesar US$8,85 miliar.
Jika harga minyak turun, maka beban impor minyak akan berkurang. Defisit transaksi berjalan akan lebih sedikit, dan tentu menjadi sentimen positif bagi rupiah.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
(aji/aji)
Bisa jadi jilatan 'api' dari Wall Street melebar ke Asia, termasuk Indonesia. Jika terjadi, maka bukan kado Natal yang diterima IHSG cs tetapi malapetaka.
Sentimen kedua adalah harga minyak dunia yang kembali anjlok. Pada pukul 02:43 WIB, harga minyak jenis brent amblas 6,07% dan light sweet ambrol 6,97%.
Hantu perlambatan ekonomi masih menjadi momok bagi si emas hitam. Tidak hanya di AS, perekonomian global pada 2019 diperkirakan melandai.
Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) memperkirakan pertumbuhan ekonomi global pada 2019 sebesar 3,5%. Melambat dibandingkan tahun ini yang diperkirakan 3,7%.
Perlambatan ekonomi berarti permintaan energi akan ikut berkurang. Akibatnya, harga minyak pun bergerak turun, dan mungkin bertahan dalam waktu yang tidak sebentar.
Koreksi harga minyak bisa berdampak buruk bagi IHSG. Saham-saham energi dan pertambangan menjadi kehilangan pesona dan kemudian membebani IHSG secara keseluruhan.
Namun bagi rupiah, penurunan harga minyak adalah berita gembira. Sebab, penurunan harga minyak akan ikut menurunkan biaya impor minyak, penyebab utama defisit transaksi berjalan (current account).
Impor minyak adalah biang kerok dari defisit transaksi berjalan. Pada kuartal III-2018, neraca minyak mencatat defisit US$5,12 miliar. Sumbangsihnya sangat terasa bagi defisit transaksi berjalan yang sebesar US$8,85 miliar.
Jika harga minyak turun, maka beban impor minyak akan berkurang. Defisit transaksi berjalan akan lebih sedikit, dan tentu menjadi sentimen positif bagi rupiah.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular