
Malam Natal, Harga Minyak Melemah Semakin Dalam
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
24 December 2018 19:37

Jakarta, CNBC Indonesia - Awal pekan ini, harga minyak mentah dunia masih belum bisa lepas dari tekanan. Meski demikian, pergerakan harga menunjukkan adanya sedikit perbaikan.
Pada hari Jumat (21/12/2018) hingga pukul 19:04 WIB, harga minyak mentah jenis Brent turun tipis 0,02% ke level US$ 53,81/barel. Sedangkan harga minyak mentah jenis lightsweet (WTI) terkoreksi 0,5% ke angka US$ 45,36/barel.
Dalam sepekan lalu, harga minyak Brent amblas 10,72 % secara point-to-point. Senada dengan itu, harga minyak jenis WTI juga terperosok sejauh 10,96% secara mingguan.
BACA: Harga Minyak Anjlok Terus Capai 12% Dalam Seminggu
Dengan pergerakan hari ini, harga minyak Brent masih berada di level terendah sejak September 2017. Sementara itu, jenis WTI juga tenggelam semakin dalam ke titik terendahnya sejak Juli 2017.
Sentimen negatif ternyata masih amat dominan. Bayang-bayang perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia diprediksi masih akan terus menghantui hingga akhir 2019 mendatang.
Pekan lalu, The Federal Reserve/The Fed memprediksi ekonomi Amerika Serikat (AS) hanya akan tumbuh 2,3% pada 2019, melambat cukup jauh dari pertumbuhan tahun ini yang berada di kisaran 3%.
AS adalah perekonomian nomor 1 dunia. Kala ekonomi Negeri Paman Sam melambat, maka dampaknya akan meluas ke seluruh negara dan menjadi perlambatan ekonomi global.
Proyeksi perlambatan ekonomi dunia juga diamini oleh Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). Pada laporan bulan lalu, OECD memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia akan melambat di tahun depan, yaitu sebesar 3,5% dari 3,7% pada tahun ini.
Perlambatan ekonomi dapat berdampak pada berkurangnya permintaan minyak yang merupakan salah satu sumber energi terbesar saat ini. Saat permintaan tertekan, harga pun dipastikan ikut merosot. Di saat permintaan diekspektasikan akan jeblok, pasokan justru membanjir. AS kini muncul sebagai produsen minyak terbesar dunia, dengan memproduksi minyak mentah hingga 11,6 juta barel/hari.
Capaian ini tidak lepas dari kemajuan produksi minyak serpih (shale oil) yang amat masif. Pemerintah AS mengatakan pada akhir Desember mendatang, produksi shale oil akan naik menjadi lebih dari 8 juta barel per hari.
Sedangkan Rusia, produsen minyak terbesar kedua di dunia, mencatatkan produksi minyak mentah sebesar 11,42 juta barel ber hari pada bulan ini. Capaian tersebut merupakan rekor tertinggi dalam sejarah Negeri Beruang Merah.
Meski demikian, pelemahan hari ini sebenarnya relatif terbatas, dibandingkan kehancuran di sepanjang pekan lalu. Ada dua sentimen positif yang mampu menyokong harga minyak di malam natal ini.
Pertama, rendahnya harga minyak membuat produsen shale oil di Negeri Paman Sam membatasi rencana pengeboran di tahun depan.
Pada hari Kamis pekan lalu, produsen Centennial Resource Development beserta dua rivalnya Diamondback Energy dan Parsley Energy, sepakat untuk menyetop rencana penambahan sumur pengeboran di tahun depan.
Seperti dilansir dari Reuters, Centennial merombak target produksinya di tahun 2020, sekaligus mencabut rencana penambahan sumur pengeboran sebanyak 2,5 unit.
Sedangkan Parsley Energy berencana untuk memangkas anggaran belanja modal di tahun 2019 sekitar 15% dari anggaran tahun 2018.
Situasi tersebut lantas memberikan persepsi bahwa produksi minyak mentah di Negeri Adidaya nampaknya akan sedikit "direm" di tahun depan. Kekhawatiran akan semakin banjirnya pasokan kini agak reda.
Kedua, OPEC dan mitra produsen non-OPEC dikabarkan siap untuk melakukan pertemuan khusus, dan akan melakukan apapun yang diperlukan, jika pemangkasan sebesar 1,2 juta barel/hari tidak mampu menyeimbangkan pasar di tahun depan.
Hal tersebut disampaikan oleh Menteri Energi Uni Emirat Arab Suhail al-Mazrouei pada pertemuan Organisasi Negara-Negara Arab Pengekspor Minyak di Kuwait kemarin, seperti dilansir dari Reuters.
"Bagaimana jika pemangkasan 1,2 juta barel tidak cukup? Saya memberitahu anda bahwa jika (pemangkasan) itu tidak cukup, kita akan bertemu dan melihat apa yang cukup, dan kita akan melakukannya," tegas Mazrouei.
"Rencana (pemangkasan produksi) dikaji dengan baik, tetapi jika itu tidak ampuh, kita selalu punya kekuatan di OPEC untuk mengadakan pertemuan luar biasa," tambah Mazrouei.
Hal ini juga lumayan membuat pasar lega. Muncul persepsi bahwa OPEC masih mempunyai ruang untuk melakukan pemangkasan produksi lebih lanjut. Artinya masih ada peluang terciptanya keseimbangan di pasar minyak global.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(RHG/dru) Next Article Tak Bisa Tahan, Harga Minyak Turun karena Perlambatan Global
Pada hari Jumat (21/12/2018) hingga pukul 19:04 WIB, harga minyak mentah jenis Brent turun tipis 0,02% ke level US$ 53,81/barel. Sedangkan harga minyak mentah jenis lightsweet (WTI) terkoreksi 0,5% ke angka US$ 45,36/barel.
Dalam sepekan lalu, harga minyak Brent amblas 10,72 % secara point-to-point. Senada dengan itu, harga minyak jenis WTI juga terperosok sejauh 10,96% secara mingguan.
BACA: Harga Minyak Anjlok Terus Capai 12% Dalam Seminggu
Sentimen negatif ternyata masih amat dominan. Bayang-bayang perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia diprediksi masih akan terus menghantui hingga akhir 2019 mendatang.
Pekan lalu, The Federal Reserve/The Fed memprediksi ekonomi Amerika Serikat (AS) hanya akan tumbuh 2,3% pada 2019, melambat cukup jauh dari pertumbuhan tahun ini yang berada di kisaran 3%.
AS adalah perekonomian nomor 1 dunia. Kala ekonomi Negeri Paman Sam melambat, maka dampaknya akan meluas ke seluruh negara dan menjadi perlambatan ekonomi global.
Proyeksi perlambatan ekonomi dunia juga diamini oleh Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). Pada laporan bulan lalu, OECD memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia akan melambat di tahun depan, yaitu sebesar 3,5% dari 3,7% pada tahun ini.
Perlambatan ekonomi dapat berdampak pada berkurangnya permintaan minyak yang merupakan salah satu sumber energi terbesar saat ini. Saat permintaan tertekan, harga pun dipastikan ikut merosot. Di saat permintaan diekspektasikan akan jeblok, pasokan justru membanjir. AS kini muncul sebagai produsen minyak terbesar dunia, dengan memproduksi minyak mentah hingga 11,6 juta barel/hari.
Capaian ini tidak lepas dari kemajuan produksi minyak serpih (shale oil) yang amat masif. Pemerintah AS mengatakan pada akhir Desember mendatang, produksi shale oil akan naik menjadi lebih dari 8 juta barel per hari.
Sedangkan Rusia, produsen minyak terbesar kedua di dunia, mencatatkan produksi minyak mentah sebesar 11,42 juta barel ber hari pada bulan ini. Capaian tersebut merupakan rekor tertinggi dalam sejarah Negeri Beruang Merah.
Meski demikian, pelemahan hari ini sebenarnya relatif terbatas, dibandingkan kehancuran di sepanjang pekan lalu. Ada dua sentimen positif yang mampu menyokong harga minyak di malam natal ini.
Pertama, rendahnya harga minyak membuat produsen shale oil di Negeri Paman Sam membatasi rencana pengeboran di tahun depan.
Pada hari Kamis pekan lalu, produsen Centennial Resource Development beserta dua rivalnya Diamondback Energy dan Parsley Energy, sepakat untuk menyetop rencana penambahan sumur pengeboran di tahun depan.
Seperti dilansir dari Reuters, Centennial merombak target produksinya di tahun 2020, sekaligus mencabut rencana penambahan sumur pengeboran sebanyak 2,5 unit.
Sedangkan Parsley Energy berencana untuk memangkas anggaran belanja modal di tahun 2019 sekitar 15% dari anggaran tahun 2018.
Situasi tersebut lantas memberikan persepsi bahwa produksi minyak mentah di Negeri Adidaya nampaknya akan sedikit "direm" di tahun depan. Kekhawatiran akan semakin banjirnya pasokan kini agak reda.
Kedua, OPEC dan mitra produsen non-OPEC dikabarkan siap untuk melakukan pertemuan khusus, dan akan melakukan apapun yang diperlukan, jika pemangkasan sebesar 1,2 juta barel/hari tidak mampu menyeimbangkan pasar di tahun depan.
Hal tersebut disampaikan oleh Menteri Energi Uni Emirat Arab Suhail al-Mazrouei pada pertemuan Organisasi Negara-Negara Arab Pengekspor Minyak di Kuwait kemarin, seperti dilansir dari Reuters.
"Bagaimana jika pemangkasan 1,2 juta barel tidak cukup? Saya memberitahu anda bahwa jika (pemangkasan) itu tidak cukup, kita akan bertemu dan melihat apa yang cukup, dan kita akan melakukannya," tegas Mazrouei.
"Rencana (pemangkasan produksi) dikaji dengan baik, tetapi jika itu tidak ampuh, kita selalu punya kekuatan di OPEC untuk mengadakan pertemuan luar biasa," tambah Mazrouei.
Hal ini juga lumayan membuat pasar lega. Muncul persepsi bahwa OPEC masih mempunyai ruang untuk melakukan pemangkasan produksi lebih lanjut. Artinya masih ada peluang terciptanya keseimbangan di pasar minyak global.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(RHG/dru) Next Article Tak Bisa Tahan, Harga Minyak Turun karena Perlambatan Global
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular