Harga Minyak Anjlok Terus Capai 12% Dalam Seminggu

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
21 December 2018 20:10
Harga minyak mentah dunia berbalik arah menuju zona merah, setelah sempat bergerak menguat di perdagangan pagi ini.
Foto: Ilustrasi produksi minyak (REUTERS/Nick Oxford)
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak mentah dunia berbalik arah menuju zona merah, setelah sempat bergerak menguat di perdagangan pagi ini.

Pada hari Jumat (21/12/2018) hingga pukul 19:35 WIB, harga minyak mentah jenis Brent anjlok sebesar 2,59% ke level US$ 52,94/barel. Sedangkan harga minyak mentah jenis Light Sweet (WTI) amblas 1,44% ke angka US$ 45,22/barel.

Dalam sepekan terakhir, harga minyak mentah jenis Brent kini menuju pelemahan sebesar 12,18 secara point-to-point. Senada dengan itu, harga minyak jenis WTI juga terperosok sejauh 11,68% secara mingguan.
 

Jatuhnya harga minyak kemarin menghantarkan harga minyak jenis Brent ke level harga terendah sejak September 2017, dan jenis WTI ke harga terendahnya sejak Juli 2017.



Pada awalnya, harga minyak mendapatkan energi dari adanya pernyataan Menteri Energi Arab Saudi, Khalid al-Falih, yang kemarin menyatakan stok minyak global akan jatuh pada akhir kuartal I-2019, seperti dilansir dari Reuters. 

"Kami akan tetap fokus pada hal fundamental. Saya dapat mengatakan kita akan mencapai keseimbangan supply-demand pada akhir 2019," ujar al-Falih.

BACA: Setelah Drop Dalam, Harga Minyak Mulai Berbalik Arah


Terlebih, kemarin Reuters melansir bahwa Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dilaporkan berencana merilis tabel yang berisi rincian kuota pemotongan pasokan sukarela di antara anggota dan sekutunya.
Kemudian, Sekretaris Jenderal OPEC, Mohammad Barkindo memuji Arab Saudi yang yang akan memotong produksinya jauh di atas kesepakan output yang disepakati awal bulan. 

Barkindo mengatakan, untuk mencapai pemotongan yang diusulkan 1,2 juta barel/hari, pengurangan efektif untuk negara-negara anggota akan berkisar 3,02%, naik dari yang semula 2,5%.

Namun demikian, sentimen negatif ternyata masih amat dominan. Bayang-bayang perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia diprediksi masih akan terus menghantui hingga akhir 2019 mendatang. 

Kemarin, The Federal Reserve/The Fed memprediksi ekonomi Amerika Serikat (AS) hanya akan tumbuh 2,3% pada 2019, melambat cukup jauh dari pertumbuhan tahun ini yang berada di kisaran 3%.

AS adalah perekonomian nomor 1 dunia. Kala ekonomi Negeri Paman Sam melambat, maka dampaknya akan meluas ke seluruh negara dan menjadi perlambatan ekonomi global. 

Apalagi, hari ini juga muncul risiko yang lebih besar bagi perekonomian AS. Muncul potensi pemerintahan AS ditutup (government shutdown) mulai esok hari (22/12/2018).

Pada pagi hari ini waktu Indonesia, House of Representative telah meloloskan anggaran sementara versi terbaru, yang akan membuat pemerintahan AS tetap beroperasi hingga 8 Februari 2019. Kali ini, anggaran senilai lebih dari US$ 5 miliar untuk pembangunan tembok perbatasan dimasukkan ke dalamnya.

Namun, anggaran ini diproyeksikan tak akan lolos ketika para senator melakukan pemungutan suara. Pasalnya, sebanyak 60 suara dibutuhkan untuk meloloskan anggaran sementara. Kini, partai Republik hanya menguasai sebanyak 51 kursi di Senat. Pada akhirnya, shutdown akan sulit terelakkan.
 

Proyeksi perlambatan ekonomi global juga diamini oleh Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). Pada laporan bulan lalu, OECD memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia akan melambat di tahun depan, yaitu sebesar 3,5% dari 3,7% pada tahun ini.

Perlambatan ekonomi dapat berdampak pada berkurangnya permintaan minyak yang merupakan salah satu sumber energi terbesar saat ini. Saat permintaan tertekan, harga pun dipastikan ikut merosot.

Di saat permintaan diekspektasikan akan jeblok, pasokan justru membanjir. AS kini muncul sebagai produsen minyak terbesar dunia, dengan memproduksi minyak mentah hingga 11,6 juta barel/hari.

Capaian ini tidak lepas dari kemajuan produksi minyak serpih (shale oil) yang amat masif. Pemerintah AS mengatakan pada akhir Desember mendatang, produksi shale oil akan naik menjadi lebih dari 8 juta barel per hari.

Sedangkan Rusia, produsen minyak terbesar kedua di dunia, mencatatkan produksi minyak mentah sebesar 11,42 juta barel ber hari pada bulan ini. Capaian tersebut merupakan rekor tertinggi dalam sejarah Negeri Beruang Merah.

(TIM RISET CNBC INDONESIA)

(RHG/RHG) Next Article Tak Bisa Tahan, Harga Minyak Turun karena Perlambatan Global

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular