Menguat 0,2% Sepekan, Rupiah Masih Kerdil di Asia

Muhamad Taufan, CNBC Indonesia
23 December 2018 20:08
Penguatan rupiah hanya 0,2%, kalah dibanding mayoritas mata uang di Asia
Foto: Seorang karyawan menghitung uang kertas Rupiah di kantor penukaran mata uang di Jakarta, Indonesia 23 Oktober 2018. Gambar diambil 23 Oktober 2018. REUTERS / Beawiharta
Jakarta, CNBC Indonesia- Hingga penutupan pasar spot pekan ini (21/12/2018), Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terapresiasi 0,21% ke level IDR 14.550/US$ (point-to-point). Dibuka pada posisi IDR 14.580/US$, rupiah mengalami naik turun selama sepekan yang berhujung naik sebanyak 30 poin dalam sepekan.

Mayoritas mata uang Asia pun sebenarnya cukup kuat dihadapan greenback pada pekan ini. rupee India merupakan mata uang yang naik paling dalam yaitu sebesar 2,48%, disusul yen Jepang yang menanjak sebesar 1,91%.Adapun mata uang dolar Hongkong malah menunjukan pelemahan sebesar 0,25% terhadap dolar AS. Lain hal dengan yuan China yang tak bergeming dari posisinya sejak awal pekan.

Sepekan, Penguatan Rupiah Tak Ada Apa-Apanya di Asia Foto: muhamad taufan


Menguat pada awal pekan

Pada awalnya, rupiah sempat menguat ke level Rp 14.435 semenjak awal pekan hingga penutupan pasar spot pada hari rabu (19/12/2018). Penguatan ini agak sedikit aneh mengingat pada periode ini investor menantikan rapat bulanan The Federal Reserve/The Fed yang hasilnya akan diumumkan pada 19 Desember waktu setempat atau 20 Desember dini hari waktu Indonesia.

Biasanya, dollar AS menguat jelang rapat The Fed, apalagi Jerome 'Jay' Powell dan kawan-kawan diperkirakan kembali menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) ke 2,25-2,5%. Kenaikan suku bunga acuan normalnya menjadi energi positif untuk AS.

Namun kali ini dolar AS justru melempem. Pada Rabu pukul 16:20 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) melemah 0,3%. Indeks ini melemah sepanjang hari.

Tidak hanya di Asia, mata uang Negeri Paman Sam juga tertekan secara global. Kenaikan suku bunga AS ini akan menyebabkan perlambatan ekonomi AS. The Fed memperkirakan ada perlambatan ekonomi di Negeri Paman Sam. Untuk tahun ini, ekonomi AS diperkirakan tumbuh 3% dan tahun depan melambat ke 2,3%.  Sebagai raksasa perekonomian nomor 1 dunia, dampak perlambatan ekonomi AS akan meluas ke seluruh negara dan menjadi perlambatan ekonomi global.

Perlambatan ekonomi dunia semakin terkonfirmasi kala Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi global tumbuh 3,7% tahun depan, melambat dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu 3,9%. 

Selain itu, ada pula kekhawatiran resesi di perekonomian AS karena imbal hasil (yield) obligasi pemerintah yang bergerak anomali. Dalam jajak pendapat terpisah, konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan yield obligasi pemerintah AS masih akan mengalami inversi, yaitu yield tenor jangka panjang lebih rendah ketimbang jangka pendek. 

Inverted yield berarti investor melihat resiko jangka pendek lebih besar daripada risiko jangka panjang. Diketahui bahwa Inverted yield merupakan indikator awal dari kondisi resesi suatu negara, yang biasanya terjadi setahun setelahnya.

Hal ini sukses membuat mata uang Asia, termasuk rupiah, mampu ramai-ramai menguat karena Arus modal berhamburan keluar dari AS ke berbagai negara termasuk Indonesia . 

Sepekan, Penguatan Rupiah Tak Ada Apa-Apanya di Asia Foto: Muhamad Taufan


Berbalik arah hingga akhir pekan
Namun penguatan rupiah ternyata tidak dapat bertahan lama. Faktor domestik diprediksi menjadi faktor yang membuat rupiah tertekan hingga akhir pekan.
Pada Kamis (20/12/2018) Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menahan suku bunga acuan di 6%. Artinya, tidak ada insentif lebih bagi investor, khususnya asing, untuk berinvestasi di Indonesia. Hal ini membuat investor akan berpikir lebih panjang untuk berinvestasi pada aset -aset yang berbasis rupiah.

Sentimen negatif ini disusul oleh kekhawatiran investor soal prospek transaksi berjalan (current account) kuartal IV-2018. Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan defisit transaksi berjalan pada kuartal IV-2018 masih akan berada di atas 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada hari Kamis.
Impor minyak adalah biang kerok dari defisit transaksi berjalan. Pada kuartal III-2018, neraca impor minyak mencatat defisit US$ 5,12 miliar, naik dari kuartal sebelumnya yaitu US$ 4,36 miliar. 

Tanpa sokongan devisa yang memadai dari ekspor-impor barang dan jasa, rupiah kekurangan tenaga untuk menguat. Investor yang khawatir dengan risiko pelemahan rupiah ke depan memilih melepas mata uang ini.


(gus) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular