Newsletter

Simak Data Inflasi, Cermati Dampak Penurunan Rangking EoDB

Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
01 November 2018 05:41
Simak Data Inflasi, Cermati Dampak Penurunan Rangking EoDB
Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Kemarin, pasar keuangan Indonesia mengakhiri perdagangan dengan ceria. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat, rupiah terapresiasi di hadapan dolar Amerika Serikat (AS), dan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah turun yang menandakan harga sedang naik.

Kemarin, IHSG mengakhiri hari dengan kenaikan 0,74%. Sementara rupiah menguat 0,14% di hadapan greenback dan yield obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun turun 2,1 basis poin (bps).

Yield obligasi pemerintah yang sudah naik tajam menjadi menarik di mata investor. Dalam sebulan terakhir, yield obligasi pemerintah tenor 10 tahun sudah melonjak 58,6 bps.

Sedangkan di pasar saham, investor asing membukukan beli bersih yang signifikan yaitu Rp 1,53 triliun. Arus modal asing ini akhirnya mampu menyokong penguatan IHSG.


Dari eksternal, sebenarnya dolar AS sedang mengamuk karena data-data ekonomi Asia kurang cemerlang. Di China, angka Purchasing Managers Index (PMI) periode Oktober tercatat 50,2, turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 50,8. Angka di atas 50 menandakan pelaku usaha masih optimistis, tetapi optimisme itu memudar.

Sepertinya China sudah mulai merasakan dampak signifikan dari perang dagang dengan AS. Maklum, AS adalah pasar ekspor utama China. Tahun lalu, nilai ekspor China ke AS tercatat US$ 431,7 miliar atau 19% dari total ekspor mereka.

Di Korea Selatan, output industri manufaktur juga turun 2,5% pada September dibandingkan bulan sebelumnya. Jauh memburuk dibandingkan Agustus yang masih tumbuh 1,3%.

Beruntungnya, kedua sentimen negatif itu tidak menghentikan nafsu beli di bursa saham regional, sehingga IHSG ikut terangkat. Menggeliatnya pasar tenaga kerja di Jepang juga membangunkan risk appetite investor. Angka pengangguran Negeri Sakura per akhir September diumumkan sebesar 2,3%, di bawah konsensus 2,4%.

Kemudian, rencana suntikan dana di bursa saham Korea Selatan masih terus direspons positif oleh pelaku pasar. Awal pekan ini, otoritas dan institusi keuangan Negeri Ginseng mengumumkan bahwa mereka akan bekerja sama untuk membangkitkan pasar saham Korea Selatan yang terus melemah dengan membentuk pendanaan senilai KRW 500 miliar (US$ 439,1 juta) dan menyuntikkannya ke pasar saham pada awal November.

Dari dalam negeri, pelaku pasar memanfaatkan momentum yang ada dengan mengoleksi saham-saham yang kinerja keuangannya kinclong seperti ASII atau BMRI. Sepanjang kuartal-III 2018, ASII membukukan pendapatan Rp 62,3 triliun, mengalahkan konsensus yang dihimpun oleh Refinitiv senilai Rp 61,99 triliun. Laba bersih tercatat Rp 6,69 triliun, juga di atas ekspektasi analis yang sebesar Rp 5,53 triliun.

Sementara itu, sepanjang kuartal-III 2018 BMRI membukukan pendapatan bunga bersih/Net Interest Income (NIM) sebesar Rp 13,9 triliun, mengalahkan konsensus yang dihimpun Refinitiv yaitu Rp 13,6 triliun. Laba bersih tercatat Rp 5,9 triliun, di atas estimasi yang sebesar Rp 5,3 triliun.

Arus modal yang mengalir deras di pasar saham dan obligasi ini akhirnya mampu menjadi energi bagi rupiah. Mata uang Tanah Air pun melesat menjadi yang terbaik kedua di Benua Kuning.



(BERLANJUT KE HALAMAN 2)


Dari Wall Street, gairah investor kembali membuncah dan membuat tiga indeks utama menguat signifikan. Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 0,97%, S&P 500 melesat 1,08%, dan Nasdaq Composite meroket 2,31%. 

Saham-saham teknologi jadi mesin penggerak penguatan Wall Street. Harga saham Facebook melonjak 3,81%, Amazon melompat 4,42%, Apple melejit 2,61%, Netflix terbang 5,59%, Alphabet (induk usaha Google) terdongkrak 3,91%, dan Microsoft menanjak 2,97%.  

Facebook menjadi pendongrak saham-saham teknologi. Investor mengapresiasi pernyataan Mark Zuckerberg, sang CEO, bahwa memang benar ke depan pengeluaran akan meningkat, tetapi dalam fase yang bertahap. 

Menurut Zuckerberg, pengguna Facebook saat ini semakin menginginkan layanan pesan pribadi, video, dan konten yang aman. Ini membutuhkan investasi besar yang membuat pengeluaran Facebook akan tumbuh lebih cepat ketimbang pendapatan. Namun, Zuckerberg berhasil meyakinkan investor bahwa hal tersebut akan terjadi secara gradual dan mulai kembali normal selepas 2019. 

Untuk 2018, Facebook memperkirakan pengeluaran akan naik 50-55% dibandingkan tahun sebelumnya. Kemudian pada 2019 akan naik dalam kisaran 40-50%. 

Kinerja keuangan Facebook pada kuartal III-2018 juga menjadi alasan kepercayaan investor. Pada kuartal III-2018, Facebook membukukan laba per saham (Earnings per Share/EPS) sebesar US$ 1,76. Tumbuh 9% dibandingkan tahun sebelumnya, dan berada di atas konsensus pasar yang memperkirakan di angka US$ 1,48. 

Selain perkembangan positif di saham-saham teknologi, lonjakan Wall Street juga menjadi semacam perayaan untuk melepas bulan Oktober. Sepertinya Oktober meninggalkan kenangan buruk di benak pelaku pasar, dan ada kelegaan saat dia pergi. 

Maklum saja, aksi jual massal atau sell off beberapa kali terjadi pada Oktober yang membuat DJIA rontok 5,1% dalam sebulan. Sedangkan S&P 500 anjlok 6,9% dan Nasdaq ambrol 9,2%. 

"Investor bahagia bahwa Oktober sudah berlalu. Segala kekhawatiran yang terjadi kini sudah pergi," ujar Peter Tuz, Presiden di Chase Investment Counsel yang berbasis di Virginia, dikutip dari Reuters. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah faktor. Pertama adalah euforia yang melanda Wall Street. Apabila gairah yang sama menular ke Asia, maka akan menjadi kabar baik bagi IHSG. 

Sentimen kedua adalah nilai tukar dolar AS. Investor perlu waspada karena dolar AS masih perkasa. Pada pukul 04:38 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,1%. 

Hari ini, doping buat dolar AS datang dari rilis data ketenagakerjaan. ADP melaporkan bahwa perekonomian Negeri Paman Sam menciptakan 227.000 lapangan kerja sepanjang Oktober, tertinggi sejak Februari. Angka ini juga di atas konsensus pasar yang memperkirakan di angka 189.000. 

Bukan hanya lapangan kerja yang bertambah, gaji dan upah pekerja di AS pun naik. Kementerian Ketenagakerjaan AS melaporkan, gaji dan upah pada kuartal III-2018 naik 2,9% secara year-on-year (YoY). Ini merupakan kenaikan tertinggi sejak 2008. 

Pasar tenaga kerja AS terus membaik, dan memuluskan langkah Negeri Adidaya untuk mencapai full employment (semua orang yang mencari pekerjaan bisa mendapatkannya). Kala semakin banyak orang yang bekerja, apalagi gajinya naik, maka konsumsi pun terkerek. 

Jika tidak dikendalikan, maka akan tercipta tekanan inflasi yang tinggi karena pertumbuhan permintaan begitu pesat dan tidak mampu diimbangi oleh pasokan. Kondisi ini disebut overheating

Cara paling ampuh untuk menghindari overheating adalah mengerem permintaan dengan menaikkan suku bunga acuan. Kebijakan ini akan membuat biaya dana menjadi mahal, sehingga dunia usaha dan masyarakat akan mengerem ekspansi. 

Oleh karena itu, sepertinya The Federal Reserve/The Fed masih akan terus dalam siklus menaikkan suku bunga acuan. Kemungkinan The Fed akan kembali menaikkan suku bunga acuan pada rapat Desember, dengan probabilitas sebesar 69,7% menurut CME Fedwatch. 

Efek samping dari kenaikan suku bunga acuan adalah imbalan investasi di AS akan naik, terutama instrumen berpendapatan tetap. Oleh karena itu, arus modal akan mengalir deras ke AS dan membuat laju greenback sulit terbendung. Investor perlu mewaspadai risiko ini. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 4)


Sentimen ketiga adalah penurunan peringkat kemudahan berusaha (Ease of Doing Business/EoDB) Indonesia. Bank Dunia menempatkan Indonesia di rangking 73, turun satu peringkat dibandingkan tahun sebelumnya. 

Sebenarnya poin Indonesia bertambah dari 66,54 menjadi 67,96. Namun sayang, negara-negara lain mampu menaikkan poin lebih tinggi dari Indonesia. Bahkan posisi Indonesia cukup jauh di bawah negara-negara Afrika seperti Rwanda (29) dan Kenya (61). 


Rilis ini bisa menjadi sentimen negatif bagi pelaku ekonomi. Indonesia bisa dipandang sebagai negara yang kurang ramah terhadap investasi. Bahkan hal ini sedikit banyak sudah terlihat dari penanaman modal asing di sektor riil (Foreign Direct Investment/FDI) yang terkontraksi atau  20,2% pada kuartal III-2018. 


Sepertinya upaya reformasi struktural dengan puluhan Paket Kebijakan Ekonomi belum menampakkan hasil yang signifikan. Pemerintah harus berpikir lebih keras dan bertindak lebih cepat untuk mengatasi masalah ini. Jika tidak, maka peringkat EoDB Indonesia bisa semakin turun sehingga investor enggan menanamkan modal. Pertumbuhan ekonomi menjadi taruhannya. 

Sentimen keempat, masih dari dalam negeri, adalah rilis data inflasi Oktober 2018. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi secara bulanan (month-to-month/MtM) sebesar 0,17%, kemudian inflasi YoY 3,04%, dan inflasi inti YoY 2,86%. 


Pada September, BPS mencatat terjadi deflasi secara MtM sebesar 0,18%. Kemudian inflasi YoY adalah 2,88% dan inflasi inti YoY sebesar 2,82%. Deflasi bulanan bahkan terjadi dalam 2 bulan beruntun. 

Apabila inflasi Oktober masih mampu terkendali di kisaran ekspektasi, maka akan menjadi kabar baik bagi pasar. Pasalnya, deflasi 2 bulan berturut-turut sempat dikhawatirkan sebagai sinyal melemahnya daya beli masyarakat. 

Namun, apabila inflasi ternyata melonjak lebih tinggi daripada ekspektasi, berarti ada kemungkinan pelemahan rupiah sudah mulai terasa. Hal ini bisa menjadi kabar buruk bagi pasar keuangan dalam negeri, karena depresiasi rupiah sudah mulai memberikan dampak negatif ke sektor riil. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 5)


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:

  • Rilis data indeks Nikkei PMI Indonesia periode Oktober 2018 (07:30 WIB).
  • Rilis data neraca perdagangan Australia periode September 2018 (07:30 WIB).
  • Rilis data PMI Caixin Manufaktur China periode Oktober 2018 (08:45 WIB).
  • Rilis data inflasi Indonesia periode Oktober 2018 (11:00 WIB)
  • Konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan/KSSK (13:00 WIB).
  • Menko Perekonomian DarminNasution, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Thomas Trikasih Lembong menggelar konferensi pers tentang EoDB (15:30 WIB).
  • Pidato Gubernur Bank Of England Mark Carney (19:30 WIB).
  • Rilis data klaim pengangguran AS dalam sepekan hingga 26 Oktober (19:30 WIB).
  • Rilis data ISM Manufaktur AS periode Oktober 2018 (21:00 WIB). 

Investor juga perlu mencermati agenda korporasi yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu: 

PerusahaanJenis KegiatanWaktu
PT XL Axiata Tbk (EXCL)Rilis Laporan Keuangan Kuartal-III 2018-
PT Asia Pacific Investama Tbk (MYTX)RUPSLB14:00
 
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:  

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q II-2018 YoY)5.27%
Inflasi (Agustus 2018 YoY)3.20%
Defisit anggaran (APBN 2018)-2.19% PDB
Transaksi berjalan (Q II-2018)-3.04% PDB
Neraca pembayaran (Q II-2018)-US$ 4.31 miliar
Cadangan devisa (September 2018)US$ 114.8 miliar
 
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular