Saat Dunia Terancam, Indonesia Malah Kebal Resesi! Kok Bisa?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
10 June 2022 17:30
Presiden Jokowi dan rombongan menggunakan mobil listrik dalam rangkaian kendaraan yang membawanya ke Kawasan Industri Terpadu Batang (KITB) di Kabupaten Batang. (Dok: Biro Pers Sekretariat Presiden)
Foto: Presiden Jokowi dan rombongan menggunakan mobil listrik dalam rangkaian kendaraan yang membawanya ke Kawasan Industri Terpadu Batang (KITB) di Kabupaten Batang. (Dok: Biro Pers Sekretariat Presiden)

Jakarta, CNBC Indonesia - Perekonomian dunia baru saja bakal lepas landas pascadihantam pandemi penyakit Covid-19. Namun, baru mulai menanjak produk domestik bruto (PDB) kini terancam menukik lagi, bahkan beberapa negara termasuk Amerika Serikat (AS) terancam resesi. Yang menarik, Indonesia justru diperkirakan akan kebal resesi atau kontraksi pertumbuhan PDB tersebut.

Bank Dunia dalam laporannya Global Economic Prospects memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global di tahun ini menjadi 2,9%. Pertumbuhan tersebut jauh lebih rendah ketimbang yang diberikan pada Januari lalu sebesar 4,1%.

Untuk AS, proyeksi PDB-nya juga dipangkas menjadi sebesar 1,2% menjadi 2,5% saja. Begitu juga dengan China, proyeksi PDB 2022 dipangkas sebesar 0,8% menjadi 4,3%.

Presiden Bank Dunia David Malpass memperingatkan pertumbuhan ekonomi dunia bisa lebih rendah lagi menjadi 2,1% tahun ini dan 1,5% tahun depan. Risiko yang membayangi perekonomian dunia di antaranya pandemi Covid-19, perang Rusia-Ukraina, gangguan rantai pasok, serta stagflasi.

idrFoto: Statista

AS, negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia, bahkan diprediksi akan mengalami resesi. Berdasarkan survei Bloomberg Markets Live pada periode 29 Maret hingga 1 April lalu, sebanyak 48% pelaku pasar melihat Negeri Paman Sam akan mengalami resesi di 2023, sebagaimana dikutip Statista.

Hal senada juga diungkapkan Jan Hatzius, ekonom dari bank investasi Goldman Sachs yang melihat probabilitas Amerika Serikat mengalami resesi sebesar 35% tahun depan.

Wells Fargo Investment Institute bahkan memprediksi AS akan mengalami resesi di akhir tahun ini dan awal 2023.

Sementara itu mantan ketua bank sentral AS (The Fed) Ben Bernanke memperingatkan kemungkinan terjadinya stagflasi, yakni penurunan pertumbuhan ekonomi disertai inflasi yang tinggi.

Yang menarik, Indonesia diperkirakan kebal terhadap ancaman resesi. Hal ini terlihat dari proyeksi pertumbuhan ekonomi 2022 sebesar 5,1%, hanya dipangkas 0,1% saja oleh Bank Dunia.

Tahun depan, proyeksi PDB Indonesia bahkan direvisi naik menjadi 5,3% dari sebelumnya 5,1%.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Ini Kunci Indonesia Kebal Resesi

Inflasi yang terjaga menjadi kunci Indonesia kebal dari resesi. Inflasi menjadi faktor penting menjaga daya beli masyarakat yang merupakan tulang punggung perekomomian.

Jika inflasi meroket, maka daya beli masyarakat akan menurun, yang berdampak pada pelambatan ekonomi hingga resesi.

Hal tersebut yang dialami AS, dan beberapa negara lainnya. Inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) di AS bulan April tercatat tumbuh 8,3% year-on-year (yoy), meski melambat dari bulan sebelumnya 8,5% (yoy) tetapi masih berada di titik tertinggi dalam 4 dekade terakhir.

Guna meredam inflasi, The Fed sangat agresif menaikkan suku bunga. Di akhir tahun nanti, suku bunga The Fed diperkirakan berada di kisaran 2,75% - 3%, atau lebih tinggi 200 basis poin dari level saat ini.

Suku bunga acuan yang tinggi tentunya akan mengerek suku bunga kredit. Hal ini bisa menghambat ekspansi dunia usaha, begitu juga konsumsi rumah tangga. Ditambah dengan inflasi yang tinggi, menjadikannya "duet maut" yang membawa perekonomian ke jurang resesi.

Indonesia bisa menghindari hal tersebut, setidaknya untuk saat ini. Sebab, inflasi masih terjaga.

Inflasi Indonesia pada Mei 2022 tercatat 0,4% (month-to-month/MoM). Level tersebut jauh lebih rendah dibandingkan April (0,95%).

Secara tahunan, inflasi Mei melonjak 3,55% (yoy).Level tersebut akan menjadi yang tertinggi sejak Desember 2017 di mana pada saat itu inflasi tercatat 3,61%.

Meski melonjak, inflasi tersebut tercatat terjadi saat bulan Ramadan, yang memang secara musiman menjadi puncak kenaikan harga. Sehingga tekanan inflasi ke depannya bisa lebih ringan.

Selain itu, inflasi inti justru melandai menjadi 2,58% (yoy), dari bulan sebelumnya 2,6% (yoy).

Inflasi inti merupakan acuan Bank Indonesia dalam menetapkan kebijakan moneter, dengan mulai melandai maka tekanan untuk menaikkan suku bunga juga tidak besar. Dengan suku bunga acuan di tahan di rekor terendah 3,5%, tentunya akan membantu pertumbuhan ekonomi.

Gubernur BI Perry Warjiyo dalam pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) edisi Mei juga terlihat enggak ikut-ikutan menaikkan suku bunga seperti bank sentral lainnya.

"Kalau mengukur kebijakan moneter jangan hanya mengukur suku bunga. Kebijakan moneter Bank Indonesia yakni likuiditas, kita lakukan pengurangan, kemudian nilai tukar dan yang ketiga suku bunga," kata Perry.

Saat itu, BI memang mempercepat dan menambah kenaikan Giro Wajib Minimum (GWM) yang menyerap likuiditas di perekonomian sebesar Rp 110 triliun, tetapi tidak mengganggu kemampuan perbankan menyalurkan kredit.

"Secara keseluruhan ini memang dengan kenaikan GWM ini akan mengurangi likuiditas di perbankan sekitar Rp 110 triliun, namun rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) masih tinggi sekira 28% sampai akhir tahun ini, masih jauh di atas rasio sebelum pandemi Covid yang sebesar 21%," jelas Perry.

Untuk inflasi, BI memprediksi di tahun ini akan sedikit di atas target 4%, dan di tahun depan kembali turun ke bawahnya.

Dengan inflasi yang masih terjaga, serta suku bunga masih tetap rendah, konsumsi rumah tangga dan ekspansi dunia usaha tentunya bisa terus bertumbuh.

Konsumsi rumah tangga merupakan penyumbang terbesar PDB, di tahun 2021 persentasenya mencapai 54,42%, disusul dengan pembentukan modal tetap bruto (PMTB) yang porsinya lebih dari 30%.

Sementara itu, ekspor barang dan jasa menyumbang PDB sebesar 15% di 2021. Melihat porsi ekspor yang tidak sebesar konsumsi rumah tangga atau pun PMTB, ketika perekonomian global melambat bahkan mengalami resesi, yang membuat permintaan ekspor menurun, tekanan ke PDB cenderung tidak terlalu besar.

Hal tersebut bisa menghindarkan Indonesia dari resesi.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Harga Komoditas Yang Tinggi Untungkan RI

Perang Rusia Vs Ukraina menjadi salah satu pemicu lonjakan harga komoditas dunia yang memicu "tsunami inflasi. Namun, Indonesia justru diuntungkan, ditandai peningkatan pendapatan negara.

Bank Dunia juga mengatakan negara eksportir komoditas seperti Indonesia dan Malaysia akan mencatatkan performa ekonomi yang sangat baik tahun ini. Pertumbuhan Indonesia dan Malaysia akan melampaui negara-negara tetangga yang berstatus net importir seperti Thailand.

"Penerimaan negara yang melimpah di tengah kenaikan harga komoditas akan membuat Indonesia bisa melakukan pengetatan fiskal secara moderat dalam jangka menengah," tutur Bank Dunia.

Menteri Keuangan Sri Mulyani bulan lalu mengatakan pemerintah akan mendapatkan tambahan penerimaan negara sebesar Rp 420 triliun sebagai dampak lonjakan harga komoditas. Melimpahnya penerimaan membuat pemerintah memutuskan untuk tidak menaikkan harga BBM dan tarif dasar listrik untuk kalangan tidak mampu.

Kondisi tersebut tentu saja berbanding terbalik dengan sejumlah negara yang tengah dipusingkan dengan kenaikan harga energi.

Harga BBM yang tidak naik akan sangat berperan besar dalam meredam inflasi Indonesia, sehingga konsumsi rumah tangga bisa terjaga untuk memutar roda perekonomian, dan menghindarkan dari resesi.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular