
Saat Dunia Terancam, Indonesia Malah Kebal Resesi! Kok Bisa?

Inflasi yang terjaga menjadi kunci Indonesia kebal dari resesi. Inflasi menjadi faktor penting menjaga daya beli masyarakat yang merupakan tulang punggung perekomomian.
Jika inflasi meroket, maka daya beli masyarakat akan menurun, yang berdampak pada pelambatan ekonomi hingga resesi.
Hal tersebut yang dialami AS, dan beberapa negara lainnya. Inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) di AS bulan April tercatat tumbuh 8,3% year-on-year (yoy), meski melambat dari bulan sebelumnya 8,5% (yoy) tetapi masih berada di titik tertinggi dalam 4 dekade terakhir.
Guna meredam inflasi, The Fed sangat agresif menaikkan suku bunga. Di akhir tahun nanti, suku bunga The Fed diperkirakan berada di kisaran 2,75% - 3%, atau lebih tinggi 200 basis poin dari level saat ini.
Suku bunga acuan yang tinggi tentunya akan mengerek suku bunga kredit. Hal ini bisa menghambat ekspansi dunia usaha, begitu juga konsumsi rumah tangga. Ditambah dengan inflasi yang tinggi, menjadikannya "duet maut" yang membawa perekonomian ke jurang resesi.
Indonesia bisa menghindari hal tersebut, setidaknya untuk saat ini. Sebab, inflasi masih terjaga.
Inflasi Indonesia pada Mei 2022 tercatat 0,4% (month-to-month/MoM). Level tersebut jauh lebih rendah dibandingkan April (0,95%).
Secara tahunan, inflasi Mei melonjak 3,55% (yoy).Level tersebut akan menjadi yang tertinggi sejak Desember 2017 di mana pada saat itu inflasi tercatat 3,61%.
Meski melonjak, inflasi tersebut tercatat terjadi saat bulan Ramadan, yang memang secara musiman menjadi puncak kenaikan harga. Sehingga tekanan inflasi ke depannya bisa lebih ringan.
Selain itu, inflasi inti justru melandai menjadi 2,58% (yoy), dari bulan sebelumnya 2,6% (yoy).
Inflasi inti merupakan acuan Bank Indonesia dalam menetapkan kebijakan moneter, dengan mulai melandai maka tekanan untuk menaikkan suku bunga juga tidak besar. Dengan suku bunga acuan di tahan di rekor terendah 3,5%, tentunya akan membantu pertumbuhan ekonomi.
Gubernur BI Perry Warjiyo dalam pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) edisi Mei juga terlihat enggak ikut-ikutan menaikkan suku bunga seperti bank sentral lainnya.
"Kalau mengukur kebijakan moneter jangan hanya mengukur suku bunga. Kebijakan moneter Bank Indonesia yakni likuiditas, kita lakukan pengurangan, kemudian nilai tukar dan yang ketiga suku bunga," kata Perry.
Saat itu, BI memang mempercepat dan menambah kenaikan Giro Wajib Minimum (GWM) yang menyerap likuiditas di perekonomian sebesar Rp 110 triliun, tetapi tidak mengganggu kemampuan perbankan menyalurkan kredit.
"Secara keseluruhan ini memang dengan kenaikan GWM ini akan mengurangi likuiditas di perbankan sekitar Rp 110 triliun, namun rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) masih tinggi sekira 28% sampai akhir tahun ini, masih jauh di atas rasio sebelum pandemi Covid yang sebesar 21%," jelas Perry.
Untuk inflasi, BI memprediksi di tahun ini akan sedikit di atas target 4%, dan di tahun depan kembali turun ke bawahnya.
Dengan inflasi yang masih terjaga, serta suku bunga masih tetap rendah, konsumsi rumah tangga dan ekspansi dunia usaha tentunya bisa terus bertumbuh.
Konsumsi rumah tangga merupakan penyumbang terbesar PDB, di tahun 2021 persentasenya mencapai 54,42%, disusul dengan pembentukan modal tetap bruto (PMTB) yang porsinya lebih dari 30%.
Sementara itu, ekspor barang dan jasa menyumbang PDB sebesar 15% di 2021. Melihat porsi ekspor yang tidak sebesar konsumsi rumah tangga atau pun PMTB, ketika perekonomian global melambat bahkan mengalami resesi, yang membuat permintaan ekspor menurun, tekanan ke PDB cenderung tidak terlalu besar.
Hal tersebut bisa menghindarkan Indonesia dari resesi.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Harga Komoditas Yang Tinggi Untungkan RI
(pap/pap)