Jakarta, CNBC Indonesia - Kerumitan dalam berbisnis di Indonesia sudah 'melegenda'. Kalau tidak ada upaya perbaikan, maka Indonesia akan semakin jauh dari radar investor global.
World Investment Report 2020 keluaran United Nations on Trade and Development (UNCTAD), Indonesia disebut menikmati investasi asing di sektor riil (Foreign Direct Investment/FDI) sebesar US$ 23,4 miliar pada 2019. Naik 13,9% dibandingkan 2018. Namun peringkat Indonesia turun dari 17 dunia pada 2018 menjadi 18 pada 2019.
Laporan TMF Group bahkan menempatkan Indonesia di posisi teratas dari 77 negara dalam hal iklim bisnis paling kompleks, paling rumit, paling ruwet. Walau nomor satu, tetapi tentu bukan sesuatu yang pantas dibanggakan.
Menurut TMG Group, kerumitan berinvestasi di Indonesia terutama disebabkan oleh kebijakan perburuhan yang sangat kaku. Dengan semangat melindungi pekerja dari eksploitasi, sulit bagi pengusaha untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena wajib membayar pesangon dalam jumlah besar.
"Sulit untuk melakukan upaya pendisiplinan atau memecat pegawai yang kinerjanya kurang. Regulasi semacam ini yang dinilai oleh pihak luar sebagai penghambat investasi asing," sebut laporan TMF Group.
Selain itu, TMF Group juga menyoroti keberadaan Daftar Negatif Investasi (DNI) yang membatasi peranan investor asing. Saat ini, DNI melingkupi 22 sektor usaha yang memiliki 200 sub-sektor turunan.
Namun, TMF Group memandang sudah ada upaya untuk menyederhanakan iklim usaha dan kebijakan perburuhan. Misalnya dengan mengubah pendekatan DNI menjadi Daftar Positif Investasi dan 16 dari 20 sektor usaha yang saat ini tertutup bagi investasi asing akan segera dibuka. Upaya semacam ini dapat memperbaiki peringkat Indonesia ke depan.
"Presiden Joko Widodo (Jokowi) sangat ingin mendorong masuknya investasi asing dan berencana menyederhanakan berbagai hal semaksimal mungkin. Indonesia adalah lokasi investasi yang menarik dengan pasar yang besar. Dengan kemudahan dalam berusaha yang membaik, Indonesia akan semakin menarik," kata Alvin Christian dari TMF Group Indonesia.
Lebih lanjut, TMF Group juga menyoroti soal proses mendirikan usaha di Tanah Air. Prosesnya kudu melibatkan 30 atau bahkan lebih instansi pemerintahan baik di pusat maupun daerah.
"Di Indonesia, kalau sebuah perusahaan mau beroperasi saja butuh sampai 11 jenis perizinan. Ada 22 sektor industri dengan sekitar 200 sub-sektor turunan, masing-masing membutuhkan jenis perizinan yang berbeda," tulis laporan TMF Group.
Investasi memegang peran penting dalam perekonomian Indonesia. Saat ini investasi alias Penanaman Modal Tetap Bruto (PMTB) adalah kontributor terbesar kedua dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, hanya kalah dari konsumsi rumah tangga.
Oleh karena itu, dibutuhkan upaya yang serius untuk membenahi investasi. Kebutuhan ini yang pada akhirnya menghadirkan Undang-undang Cipta Kerja (UU Ciptaker). UU Ciptaker disusun dengan prinsip omnibus law, mengubah berbagai UU yang ada dan menampungnya jadi satu.
Kerumitan dalam proses berbisnis coba disederhanakan melalui UU Ciptaker. Misalnya dalam hal izin lokasi yang dikelola oleh pemerintah daerah. Selama ini tidak ada batas waktu pengurusan izin sehingga pengusaha harus bersabar mengurus dalam waktu lama, bahkan bisa dalam hitungan tahun.
Namun dalam UU Ciptaker, pemerintah pusat bisa memberikan jangka waktu. Jika izin dari daerah tidak keluar sampai batas waktu yang ditetapkan, maka kewenangan akan diambil alih oleh pemerintah pusat. Satu risiko ketidakpastian dalam berinvestasi bisa dicoret dari daftar.
Kemudian soal ketersediaan lahan. Urusan tanah kerap kali menjadi penghambat masuknya investasi. Di sini UU Ciptaker menawarkan terobosan yaitu pembentukan bank tanah. Pemerintah akan melakukan pendataan terhadap ketersediaan tanah sesuai dengan fungsinya, kemudian didistribusikan menurut berbagai peruntukan yaitu kepentingan umum, kepentingan sosial, kepentingan pembangunan nasional, pemerataan ekonomi, konsolidasi lahan, dan reforma agraria.
Hal lain yang tidak kalah penting, UU Ciptaker berupaya mewujudkan iklim investasi yang bebas pungutan liar (pungli). Sebab, berbagai urusan kini bisa diselesaikan secara daring (online).
"Dulu untuk mengurus listrik perlu hampir 400 jenis izin, sekarang dipangkas. Kemudian dulu misalnya izin di pusat, izin di daerah, izin macam-macam harus ketemu dengan semua orang. Sekarang disatukan dengan sistem elektronik dan atau jika ada wewenang pemerintah daerah ada standar norma dan prosedur yang cukup jelas. Intinya nanti kalau masyarakat bikin usaha tidak akan mengalami kesulitan lagi, tidak akan dipungli lagi, apa lagi dipingpong," jelas Sofyan Djalil, Menteri Agraria dan Tata Ruang, belum lama ini.
Jadi kalau bicara soal kebutuhan untuk meningkatkan investasi di Tanah Air, maka UU Ciptaker adalah upaya nyata menuju ke arah sana. Namun pengesahan UU Ciptaker baru langkah awal, masih harus disusun 35 Peraturan Pemerintah (PP) dan lima Peraturan Presiden (Perpres) sebagai regulasi pelaksanaan di lapangan.
Apakah UU Ciptaker berhasil mencapai tujuan awalnya yaitu mendongrak investasi dan penciptaan lapangan kerja? Hanya waktu yang bisa memberikan jawaban.
TIM RISET CNBC INDONESIA