Jakarta, CNBC Indonesia - China adalah salah satu investor asing terbesar di Indonesia. Penanaman Modal Asing (PMA) dari Negeri Tirai Bambu meningkat pesat beberapa tahun belakangan.
Pada Januari-September-2020, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat nilai PMA dari China sebesar US$ 3,51 miliar. China adalah negara asal PMA terbesar kedua setelah Singapura.
Akan tetapi, investasi dari China juga mengundang tanda tanya. Laode M Syaruf, mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mengingatkan bahwa China adalah investor yang agak bermasalah.
Berdasarkan US Foreign Corrupt Practice Act, China adalah salah satu negara yang melakukan pendanaan dengan tidak layak (improper). "Oleh karena itu, saya takut sekali ketika China menjadi investor terbesar di Indonesia," kata Laode.
Laode tidak salah. Berdasarkan pengalaman, PMA dari China tinggi di komitmen tetapi rendah dalam realisasi.
Pada masa-masa awal pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), tepatnya sekitar 2015, rasio komitmen investasi terhadap realisasi China hanya 7-10%. Jauh lebih rendah ketimbang Korea Selatan (70%), Jepang (65%), atau Taiwan (34%).
Oleh karena itu, susah juga kalau hanya berpegang pada omongan China. Kepercayaan baru bisa datang ketika investasi itu terealisasi.
Selain itu, ada pula kekhawtiran bahwa investasi dari China bakal berdampak buruk terhadap ekonomi secara keseluruhan. Terutama jika investasi itu berbentuk pembangunan infrastruktur.
China dengan program Belt and Road Initiative begitu ambisius untuk membangun jalur sutrea modern. Caranya adalah menanamkan modal untuk membangun proyek-proyek infrastruktur di negara-negara lain untuk menciptakan rantai pasok.
Namun ini berujung nestapa di sejumlah negara. Pakistan pada 2013 menyepakati proyek China-Pakistan Economic Corridor (CPEC). Mega proyek ini ditaksir bernilai total US$ 62 miliar yang dibiayai oleh China Development Bank, Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) yang diinisiasi oleh China, Silk Road Fund, dan Industrial and Commercial Bank of China.
Meski nilai total proyek CPEC adalah US$ 62 miliar, tetapi TopLine Securities (perusahaan sekuritas di Pakistan) memperkirakan bahwa total utang yang harus dibayar mencapai US$ 90 miliar. Setiap tahun, pembayaran utang untuk proyek CPEC diperkirakan rata-rata US$ 3,7 miliar hingga 2030.
Kedua adalah negara tetangga Pakistan yaitu Srilanka. Salah satu proyek China di sana yang mendapat sorotan adalah Pelabuhan Magampura Mahinda Rajapaksa.
Pelabuhan ini mulai beroperasi pada November 2010, dan 85% pembangunannya dibiayai oleh Exim Bank of China. Pada 2016, Pelabuhan Magampura Mahinda Rajapaksa hanya mampu memperoleh laba operasional US$ 1,81 juta, tidak cukup untuk membayar utang kepada pihak China.
Akhirnya pemerintah memutuskan untuk mengalihkan hak operasional pelabuhan kepada China Merchant Port Holdings selama 99 tahun. Kesepakatan ini membuat pemerintah menerima dana US$ 1,4 miliar tetapi harus digunakan untuk membayar utang kepada China.
Ketiga adalah Laos. China memang punya kepentingan di wilayah Indo-China. Negeri Tirai Bambu ingin menghubungkan negaranya dengan wilayah tersebut melalui jalur kereta api dan membangun kawasan-kawasan ekonomi khusus di sekitarnya.
Di Laos, China mendanai pembangunan jalur kereta api Vientiane-Boten sepanjang 414 km yang rencananya rampung pada 2021. Nantinya jalur ini akan tersambung dengan Yuxi-Mohan di China. Proyek ini diperkirakan menelan dana US$ 5,95 miliar dan hanya 12% yang datang dari Laos. Sisanya? Ya China...
Nilai hampir US$ 6 miliar itu adalah separuh dari Produk Domestik Bruto (PDB) Laos. Oleh karena itu, Bank Dunia mempertanyakan kesanggupan Laos.
"Defisit anggaran Laos melebar signifikan pada 2016 dan membuat utang pemerintah mendekati 70% PDB. Defisit transaksi berjalan diperkirakan melebar seiring proyek infrastruktur besar, sementara cadangan devisa masih rendah," demikian tulis laporan Bank Dunia.
TIM RISET CNBC INDONESIA