Badai Sudah Berlalu? Kapan Bisa Hidup Normal Lagi?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
21 October 2020 06:10
Petugas Medis dengan menggunakan APD melayani pasien di RS Universitas Indonesia. (CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto)
Foto: Petugas Medis dengan menggunakan APD melayani pasien di RS Universitas Indonesia. (CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Tahun 2020 sudah hampir berlangsung 10 bulan. Tahun yang benar-benar berat, sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.

Setiap masa punya tantangan tersendiri. Namun 2020 sangat lain. Tidak ada yang bilang 2020 bakal mudah, tetapi tidak ada yang menyangka bakal seberat ini.

Kalau boleh mengutip penggalan lagu The Scientist yang dipopulerkan oleh grup musik asal Inggris, Coldplay: nobody said it was easy, but no one ever said it will be this hard...

Adalah pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) yang membuat segalanya menjadi rumit. Virus yang awalnya menyebar di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini menyebar ke lebih dari 200 negara dan teritori. Hampir tidak ada tempat yang aman, bahkan di hutan Amazon sekali pun.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan, jumlah pasien positif corona di seluruh negara per 19 Oktober 2020 adalah 39.944.882 orang. Bertambah 338.096 orang dibandingkan hari sebelumnya.

Sementara jumlah pasien meninggal dunia tercatat 1.111.998 orang. Bertambah 4.556 orang dibandingkan hari sebelumnya.

Dalam waktu kurang dari 10 bulan, puluhan juta orang jatuh sakit dan lebih dari 1 juta di antaranya kehilangan nyawa akibat virus corona. Tidak ada penyakit yang menyebar dengan kecepatan dan skala sedahsyat ini sejak wabah flu Spanyol pada awal abad ke-20.

Demi mempersempit ruang gerak penyebaran virus laknat ini, mayoritas negara di dunia menempuh kebijakan serupa yaitu pembatasan sosial (social distancing). Interaksi dan kontak antar-manusia harus dibatasi, karena virus akan lebih menular dalam jarak dekat, apalagi jika terjadi kerumunan.

Aktivitas masyarakat menjadi sangat terbatas. Jargon #stayhome atau #dirumahaja menjadi fenomena global, karena warga memang diminta untuk tidak meninggalkan rumah kecuali untuk urusan mendesak. Sebisa mungkin bekerja, belajar, dan beribadah di rumah.

Akibat kebijakan social distancing, pandemi yang awalnya adalah masalah kesehatan berubah menjadi problema sosial-ekonomi. Kegiatan produksi terganggu karena perkantoran dan pabrik tutup, atau walau buka tidak bisa dengan kapasitas penuh karena ada keharusan menjaga jarak yang membuat belum semua karyawan bisa masuk kerja.

Permintaan pun anjlok, karena masyarakat masih banyak yang menghabiskan waktu dengan gegoleran di rumah. Tidak bisa traveling, ngopi-ngopi cantik, karaoke, perawatan di salon, dan sebagainya.

Social distancing diterapkan di hampir seluruh negara, sehingga menjadi fenomena global. Hasilnya, ekonomi dunia menciut akibat perlambatan aktivitas dan mobilitas masyarakat.

Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi dunia tahun ini tumbuh negatif atau terkontraksi 4,4%. Sedangkan proyeksi Bank Dunia ada di -5,2%, kemudian Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) di -4,8%. Angka mana pun yang terwujud bakal menjadi catatan terburuk sejak Depresi Besar pada 1930-an.

Indonesia pun mengalami hal serupa. Sosial distancing diimplementasikan melalui Peraturan Pemerintah (PP) No 21/2020.

Pasal 3 PP tersebut menyatakan bahwa PSBB minimal meliputi:

  1. Peliburan sekolah dan tempat kerja.
  2. Pembatasan kegiatan keagamaan.
  3. Pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.

PSBB memang agak dilonggarkan mulai awal Juni, tetapi tetap belum bisa kembali ke kondisi pra-pandemi. Pembukaan kembali aktivitas masyarakat (reopening) masih bertahap dan wajib tunduk terhadap protokol kesehatan.

Mengutip data Covid-19 Community Mobility Report keluaran Google per 16 Oktober, sebagian masyarakat masih memilih untuk #dirumahaja. Kegiatan warga di perumahan tercatat 14% di atas hari-hari biasa.

Akibatnya, aktivitas di luar rumah masih terbatas. Kepadatan warga di lokasi perbelanjaan ritel dan rekreasi masih 20% di bawah normal. Kemudian kegiatan di taman 13% dibandingkan hari biasa.

Sementara kegiatan di tempat kerja masih terbatas, kepadatan 22% di bawah hari biasa. Namun yang paling mencolok adalah di tempat transit (stasiun, terminal, halte, dan sebagainya) yang 35% di bawah normal.

Kelesuan aktivitas masyarakat membuat ekonomi Tanah Air tidak luput dari kontraksi. Pada kuartal II-2020, Produk Domestik Indonesia (PDB) tumbuh negatif 5,32%. Ini adalah pencapaian terendah sejak 1999.

Akan tetapi, ada kabar baik yang seakan menjadi oasis di tengah Gurun Sahara. Sepertinya saat-saat terburuk sudah selesai, badai sudah berlalu. Badai itu terjadi pada kuartal II, dan pada kuartal III rasanya situasi sudah tidak bisa lebih buruk lagi. 

Social distancing di seluruh dunia mencapai puncaknya, sedang ketat-ketatnya pada kuartal II. Selepas itu terjadi tren reopening, meski berimbas kepada lonjakan kasus di berbagai negara.

Reopening membuat aktivitas ekonomi bangun dari mati suri. Salah satunya terlihat dari aktivitas manufaktur yang dicerminkan oleh Purchasing Managers' Index (PMI).

Rata-rata PMI manufaktur dunia pada kuartal III berada di 51,57, jauh membaik ketimbang kuartal sebelumnya yaitu 43,3. PMI menggunakan angka 50 sebagai titik start, kalau sudah di atas 50 berarti dunia usaha dalam mode ekspansi.

"Peningkatan aktivitas manufaktur global terus terjaga sampai September. Produksi dan permintaan meningkat selama tiga bulan berturut-turut, sementara ekspor tumbuh positif. Sentimen pelaku usaha berada di level terbaik sejak Mei 2018," sebut keterangan tertulis JPMorgan, yang bersama IHS Markit menyusun PMI untuk level global.

Peningkatan PMI manufaktur juga terjadi di Indonesia. Rerata skor PMI manufaktur pada kuartal III adalah 48,3, jauh meningkat ketimbang kuartal sebelumnya yang sebesar 31,73.

Oleh karena itu, sepertinya Indonesia pun sudah melalui saat-saat terburuk. The worst is over.

Memang pertumbuhan ekonomi Ibu Peritiwi pada kuartal III masih di zona negatif. Pemerintah melalui Kementerian Keuangan memperkirakan PDB Tanah Air tumbuh negatif 1-2,9%. Dengan demikian, bisa dipastikan Indonesia sudah masuk jurang resesi karena kontraksi PDB terjadi dalam dua kuartal beruntun.

Namun kontraksi ekonomi pada kuartal III lebih landai ketimbang kuartal II. Indonesia mungkin resesi, tetapi bukan berarti nir harapan.

"Perekonomian kita mengalami perbaikan, trennya cukup konsisten semenjak Juli, Agustus, meskipun September ada indikator yang mengalami sedikit mengalami tekanan karena PSBB yang sempat dilakukan pada minggu kedua September. Namun ini tidak menghilangkan tren positif pada kuartal III," tegas Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan.

Walau begitu, sejatinya ekonomi belum betul-betul pulih. Selama virus corona masih bergentayangan, maka masih ada kemungkinan social distancing kembali diketatkan, seperti yang terjadi di Jakarta pada pertengahan September. Kalau ketat lagi, ya ekonomi nyungsep lagi.

Oleh karena itu, virus corona harus dienyahkan dulu jika ingin hidup kembali normal dan roda ekonomi berputar lancar. Kehadiran vaksin anti-virus corona sangat dinantikan, karena ini adalah pertahanan utama dari serangan virus jahanam tersebut.

Dengan upaya percepatan, vaksinasi bisa dimulai pada tahun ini meski bertahap. Untuk mencapai ketahanan massal (herd immunity), para ilmuwan mensyaratkan setidaknya 60-70% populasi harus kebal sehingga tidak lagi terjadi penularan dalam skala luas. Ini menjadi titik awal hidup bisa normal kembali.

Indonesia adalah negara yang luas, terluas ke-15 dunia, dengan kondisi geografis kepulauan. Jumlah penduduk Indonesia pun banyak, lebih dari 260 juta jiwa dan menjadi negara berpopulasi tertinggi keempat di dunia.

Oleh karena itu, proses vaksinasi (meski kepada 60-70% populasi) akan memakan waktu. Sepanjang proses ini belum kelar, kehidupan belum bisa normal sehingga aktivitas ekonomi masih akan tertahan.

"Kami masih berpandangan bahwa aktivitas ekonomi di Indonesia akan maju-mundur dalam beberapa kuartal ke depan, tergantung dari seberapa besar kasus infeksi. Pemerintah pernah menyatakan sekitar 130 juta penduduk sudah divaksinasi pada akhir 2021, dan kemudian bertambah menjadi sekitar 160 juta pada kuartal I-2022, yang berarti sudah sekitar 60% dari total populasi," kata Helmi Arman, Ekonom Citi.

Artinya, kemungkinan herd immunity di Indonesia paling cepat baru terwujud pada semester I-2022. Jadi kehidupan rakyat negeri +62 baru akan normal lagi kira-kira 1,5-2 tahun mendatang.

Citi memang memperkirakan ekonomi Indonesia tumbuh tinggi di 5,6% pada 2021, tetapi rasanya itu lebih karena faktor perhitungan statistik di mana tahun ini PDB diperkirakan terkontraksi 1,5%. Basis yang rendah (low base) pada 2020 membuat pertumbuhan 2021 sangat mungkin melesat.

Pada 2022, Citi memperkirakan ekonomi Indonesia akan memasuki fase konsolidasi dengan pertumbuhan 4,6%. Baru pada 2023 dan 2024 ekonomi mulai stabil dengan pertumbuhan 4,5%, kembali ke masa sebelum pandemi.

Kesimpulannya, badai memang telah berlalu dan kini perlahan kehidupan mulai bisa ditata lagi. Namun untuk benar-benar normal seperti masa-masa sebelum serangan virus corona, mungkin butuh waktu hitungan tahun. Dalam kasus Indonesia, hidup normal seperti dulu rasanya baru bisa dinikmati paling cepat 2023.

Semoga kita semua diberikan kekuatan dan ketabahan...

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular