Jakarta, CNBC Indonesia - 'Hilal' kebangkitan ekonomi Indonesia belum terlihat sampai bulan lalu. Penyebabnya ditengarai adalah pengetatan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang sempat dilakukan di DKI Jakarta.
Kelesuan aktivitas ekonomi terlihat dari jumlah setoran pajak. Ya, pajak (selain kewajiban warga negara) juga mencerminkan geliat ekonomi. Pasalnya, pajak baru dibayar kala terjadi tambahan penghasilan atau transaksi. Saat setoran pajak seret, tanda 'keran' ekonomi juga mampet.
Mengutip dokumen APBN Kita edisi Oktober 2020, realisasi penerimaan pajak Januari-September 2020 adalah Rp 750,62 triliun. Jumlah ini mencerminkan 62.61% dari target yang diamanatkan Peraturan Presiden (Perpres) No 72/2020.
Dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/YoY), penerimaan pajak anjlok 16,86%. Memburuk dibandingkan Januari-Agustus yang turun 15,64%.
Mari berfokus ke dua pos penerimaan pajak terbesar yaitu Pajak Penghasilan (PPh) non-migas serta Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN-PPnBM). Keduanya mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif) yang lebih dalam pada Januari-September dibandingkan Januari-Agustus.
Untuk PPh, adalah Badan yang mengalami 'pendarahan' parah. Pada Januari-September 2020, setoran PPh Badan anjlok 30,4% YoY. Lebih dalam ketimbang Januari-Agustus yang minus 27,52%.
"PPh Badan mengalami tekanan gabungan dari perlambatan ekonomi, implementasi insentif pengurangan angsuran PPh Pasal 25, dan penurunan tarif," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Sementara PPN Dalam Negeri pada Januari-September 2020 terkontraksi 9,42% YoY. Lebih dalam ketimbang Januari-Agustus 2020 yang negatif 6,2% YoY.
"PPN Dalam Negeri mengalami tekanan karena penurunan aktivitas di sektor perdagangan dan jasa konstruksi. Ini seiring dengan PSBB yang kemarin diketatkan dalam rangka pengendalian Covid-19 (Coronavirus Disease-2019)," lanjut Sri Mulyani.
Menurut Sri Mulyani, sebenarnya penerimaan pajak menunjukkan tren perbaikan setelah kontraksi yang begitu dalam pada Juli. Artinya, laju roda perekonomian mengarah menuju pemulihan.
"Namun kita tetap mesti waspada. Setiap kali terjadinya pengetatan PSBB, itu kelihatan sekali pajak kita langsung mengalami tekanan," tuturnya.
Pada 14 September lalu, Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan memutuskan untuk menarik 'rem darurat'. Penyebaran virus corona di Ibu Kota yang semakin mengkhawatirkan membuat eks Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu mengambil langkah tegas.
"Kita akan menarik 'rem darurat' yang itu artinya kita terpaksa kembali menerapkan PSBB seperti pada masa awal pandemi dulu. Bukan lagi PSBB Transisi, tetapi kita harus melakukan PSBB sebagaimana masa awal dulu.
"Dua pekan ke depan sekolah masih tutup, pariwisata, rekreasi, dan tempat hiburan tutup. Begitu juga taman kota, RPTRA (Ruang Publik Terbuka Ramah Anak), fasilitas umum yang terkait pengumpulan orang, sarana olah raga publik, resepsi pernikahan, seminar, konferensi. Khusus pernikahan dan pemberkatan dapat dilakukan di KUA (Kantor Urusan Agama) dan Catatan Sipil," papar Anies kala itu.
 Presentasi Gubernur DKI Anies Baswedan |
PSBB ketat berlaku hingga 12 Oktober, kurang lebih sebulan lah. Bahkan pada September hanya berlaku setengah bulan. Kini Jakarta sudah kembali ke PSBB Transisi.
 Pemerintah Provinsi DKI Jakarta |
Namun pemberlakuan PSBB ketat yang yang setengah bulan pada September itu sudah cukup untuk membuat aktivitas ekonomi mundur teratur. Misalnya, nilai Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada September berada di 83,4, turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 86,9. IKK yang sebelumnya naik dalam tiga bulan beruntun harus turun pada bulan keempat.
"Pada September 2020, persepsi konsumen terhadap kondisi ekonomi saat ini melemah dari bulan sebelumnya dan masih berada pada zona pesimistis (di bawah 100) seiring kembali diberlakukannya kebijakan PSBB di beberapa wilayah yang berdampak pada menurunnya aktivitas ekonomi dan terbatasnya penghasilan masyarakat," sebut laporan Survei Konsumen Bank Indonesia (BI) edisi September 2020.
Tidak hanya konsumen, dunia usaha pun 'tiarap' gara-gara PSBB ketat. Ini tercermin dari Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur yang pada September tercatat 47,2. Turun dari bulan sebelumnya yang sebesar 50,8.
"Penerapan kembali PSBB di Jakarta pada medio September di tengah peningkatan kasus infeksi virus corona berdampak terhadap penjualan produk manufaktur dan proses produksi. Setelah kenaikan yang solid pada Agustus, permintaan baru turun drastis pada September meski tidak separah Maret," sebut keterangan tertulis IHS Markit
Saat konsumen dan dunia usaha sama-sama menahan diri akibat pemberlakuan PSBB ketat, aktivitas ekonomi pun melambat. Hasilnya, penerimaan pajak menyusut semakin dalam.
Oleh karena itu, kunci untuk memulihkan aktivitas ekonomi (dan penerimaan pajak) adalah mengendalikan penyebaran virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China itu. Jika kasus corona sampai melonjak, maka pemerintah tentu mempertimbangkan untuk kembali mengetatkan PSBB. Bahkan Gubernur Anies tidak sekadar mempertimbangkan, tetapi melaksanakannya.
Jadi, #IngatPesanIbu. Jaga jarak, pakai masker, dan rajin cuci tangan ya...
TIM RISET CNBC INDONESIA