Amit-amit Jabang Bayi, Tapi Ini Bisa Menimpa Anda Saat Resesi

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
29 September 2020 06:45
Cover topik PHK Besar
CNBC IndonesiaAristya Rahadian Krisabella

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia tengah bersiap menghadapi resesi ekonomi. Resesi bukan sekadar angka, tetapi merangkum derita yang ada di baliknya.

Secara awam, definisi resesi adalah kontraksi atau pertumbuhan negatif Produk Domestik Bruto (PDB) dalam dua kuartal berturut-turut. Indonesia sudah mengalami kontraksi PDB pada kuartal II-2020 sebesar -5,32%. Kemungkinan besar kontraksi kembali akan terjadi pada kuartal berikutnya.

"Kementerian Keuangan awalnya memperkirakan -1,1% hingga 0,2%. Terbaru, (proyeksi) September memperkirakan -1,7% sampai -0,6%, negative teritory pada kuartal III. Mungkin akan berlanjut pada kuartal IV, tetapi kita usahakan mendekati 0%," ungkap Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan, belum lama ini.

Resesi kali ini bukan disebabkan oleh krisis keuangan seperti pada 1997-1998 yang akrab disebut krisis moneter alias krismon. Sekarang yang membuat gara-gara adalah virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19).

Virus yang awalnya menyebar di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini menjadi pandemi global. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, jumlah pasien positif corona di seluruh negara per 28 September 2020 pukul 15:52 CEST (20:52 WIB) adalah 33.034.598 orang. Dari jumlah tersebut, 996.342 orang meninggal dunia.

coronaWHO

Di Indonesia, Kementerian Kesehatan melaporkan jumlah pasien positif corona per 28 September adalah 278.722 orang. Bertambah 3.509 orang (1,28%) dibandingkan sehari sebelumnya.

Dalam 14 hari terakhir (15-28 September), rata-rata penambahan pasien baru mencapai 4.086 orang per hari. Melonjak dibandingkan 14 hari sebelumnya yakni 3.338 orang.

Sedangkan jumlah pasien meninggal per 28 September adalah 10.473 orang. Bertambah 87 orang (0,84%) dibandingkan sehari sebelumnya.

Dalam 14 hari terakhir, rata-rata mereka yang tutup usia bertambah 117 orang per hari. Naik dibandingkan 14 hari sebelumnya yaitu 102 orang.

Seperti di negara-negara lain, pemerintah Indonesia menempuh kebijakan pembatasan sosial (social distancing) untuk meredam penyebaran virus corona. Kebijakan ini diterjemahkan dalam Pembatasan Sosial Berskala Besar yang tertuang dalam PP No 21/2020.

Pasal 3 PP tersebut menyatakan bahwa PSBB minimal meliputi:

  1. Peliburan sekolah dan tempat kerja.
  2. Pembatasan kegiatan keagamaan.
  3. Pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.

Oleh karena itu, masyarakat diimbau untuk bekerja, belajar, dan beribadah di rumah sebisa mungkin. PSBB memang agak dilonggarkan mulai awal Juni, tetapi tetap belum bisa kembali ke kondisi pra-pandemi. Pembukaan kembali aktivitas masyarakat (reopening) masih bertahap dan wajib tunduk terhadap protokol kesehatan.

Misalnya, pusat perbelanjaan alias mal boleh beroperasi tetapi hanya bisa menerima pengunjung maksimal 50% dari kapasitas. Pegawai juga sudah bisa kembali ke kantor, tetapi sebagian masih harus bekerja dari rumah (Work from Home/WfH).

Menariknya, pelonggaran PSBB tidak serta-merta membuat warga menyebu tempat pertokoan dan tempat rekreasi. Pada Agustus, Badan Pusar Statistik (BPS) mencatat kunjungan ke lokasi ini masih 12,8% di bawah normal.

Di tempat transit transportasi umum (stasiun, terminal, halte, bandara, pelabuhan, dan sebagainya), mobilitas warga juga masih tertahan. Per Agustus, kunjungan warga ke lokasi transit masih 32,3% di bawah hari biasa. Bahkan kalau hari kerja (weekdays), bisa sampai 37% di bawah normal.

Sepertinya ini ada hubungan dengan mobilitas masyarakat di tempat kerja. Meski sudah ada pelonggaran PSBB, sebagian masyarakat belum kembali ke kantor. Pada Agustus, aktivitas di tempat kerja masih 21,6% di bawah normal. Bahkan lebih sepi ketimbang bulan sebelumnya yaitu 20% di bawah hari biasa.

Data tersebut menggambarkan mobilitas warga masih belum seperti sedia kala. Padahal mobilitas masyarakat mencerminkan seberapa cepat laju roda perekonomian. Saat mobilitas terbatas, maka ruang pertumbuhan ekonomi menjadi sempit.

Makanya kemudian ekonomi Tanah Air menyusut pada kuartal II-2020. Kemungkinan besar penyusutan ekonomi akan kembali terjadi pada kuartal III-2020 sehingga Indonesia resmi masuk jurang resesi.

So, kalau resesi memangnya apa yang terjadi? Ada dampak resesi terhadap keseharian kita?

Resesi adalah hasil, resultansi dari ekonomi yang menciut. Ekonomi bisa menciut karena penurunan aktivitas dunia usaha dan rumah tangga.

Dari sisi dunia usaha, PSBB membuat proses produksi terganggu karena belum semua karyawan bisa pergi ke kantor. Apalagi kalau ada kasus positif, kantor atau pabrik wajib ditutup sementara. Sementara aktivitas masyarakat yang terbatas dan bahkan sebagian masih #dirumahaja membuat penjualan menurun.

Berdasarkan ;aporan Analisis Hasil Survei Dampak Covid-19 terhadap Pelaku Usaha keluaran BPS, dari 34.559 unit usaha yang disurvei nyaris 83% mengaku mengalami penurunan pendapatan. Artinya, delapan dari 10 perusahaan boncos selama masa pandemi. Luar biasa...

Sedihnya lagi, Unit Usaha Kecil (UMK) ternyata lebih terpukul ketimbang yang pengusaha besar. Sebanyak 84,2% pelaku UMK mengaku mengalami penurunan pendapatan, sementara di Unit Usaha Besar (UMB) adalah 92,29%.

Ini membuat dunia usaha kelimpungan untuk mempertahankan bisnisnya. Salah satu upaya yang ditempuh agar perusahaan tetap hidup adalah efisiensi dengan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

"Sekarang jumlah pengangguran tambah hari tambah naik. Kita punya pengangguran sekarang 7 juta existing, angkatan kerja 2,5 juta, dan sekarang korban PHK ada 7 juta. Jadi sekarang ada 16,5 juta," ungkap Bahlil Lahadalia, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), awal bulan ini.

Nah, kondisi ini yang kemudian mempengaruhi rumah tangga. Di tengah ancaman tsunami PHK, rumah tangga memilih untuk meningkatkan tabungan untuk jaga-jaga menghadapi situasi terburuk. Konsumsi pun dikurangi, yang kemudian semakin menurunkan permintaan yang sudah rendah.

Bank Indonesia mencatat, pada Agustus 2020 konsumen mengalokasikan 20,42% pendapatan mereka untuk ditabung. Angka ini menjadi yang tertinggi sejak Desember 2018.


Peningkatan porsi pendapatan yang dialokasikan untuk tabungan membuat pos lain menjadi berkurang. Contoh paling nyata adalah konsumsi.

Per Agustus 2020, konsumen Indonesia mengalokasikan 67,35% pendapatan untuk konsumsi. Memang masih dominan, tetapi angka tersebut adalah yang terendah sejak Januari 2019.

Dalam situasi ekonomi yang tidak pasti, seperti resesi, masyarakat tentu berpandangan bahwa langkah terbaik adalah menabung. Ya itu tadi, Selamatkan Diri Masing-masing (SDM), harus berjaga-jaga kalau sampai terjadi sesuatu yang tidak diinginkan seperti PHK.

Namun kalau uang masyarakat terkumpul di bank, maka tinggal sedikit yang tersisa untuk berputar di sektor riil. Pada akhirnya peningkatan jumlah tabungan menciptakan paradoks, yaitu membuat resesi menjadi semakin dalam. Semakin banyak pengusaha yang tumbang, semakin banyak pekerja yang menjadi korban PHK.

Well, itulah yang kemungkinan terjadi kepada kita. PHK, pengangguran, dan sebagainya yang ngeri-ngeri akan menjadi pemandangan di depan mata.

Bagi yang masih punya pekerjaan, bersyukurlah. Pertahankan sebaik-baiknya, karena jutaan orang tidak seberuntung Anda. Berikan yang terbaik di tempat Anda bekerja, jangan sampai kursi Anda dianggap beban sehingga berujung kepada PHK.

Walau mungkin perusahaan harus melakukan efisiensi dengan memangkas gaji, bertahanlah. Di luar sana adalah 'hutan rimba', akan sulit bertahan hidup jika tanpa penghasilan.

Jika ada kesempatan untuk menambah penghasilan dengan kerja sampingan atau lembur, maka sebaiknya perlu dipertimbangkan. Dalam situasi seperti ini, tambahan penghasilan akan sangat membantu.

Bagi yang memiliki usaha, saat ini memang situasi yang berat. Anda ditekan dari dua sisi sekaligus, produksi dan permintaan.

Kalau dimungkinkan, Anda harus 'jemput bola'. Kemajuan teknologi informasi bisa menjadi solusi, pemasaran dan penjualan secara daring (online) mungkin mampu membantu.

Bagi yang bergerak di bidang penjualan makanan-minuman, Anda bisa mengikuti cara baru perusahaan-perusahaan besar yaitu turun ke jalan. Bukan demonstrasi, tetapi menjual produk langsung ke konsumen di jalanan. Berat memang, tetapi mau bagaimana lagi.

Sedangkan bagi yang baru mau mencari pekerjaan, sepertinya sekarang adalah periode yang menantang. Anda akan bersaing dengan jutaan pencari kerja, baik yang masih fresh from the oven atau yang sudah berpengalaman dan menjadi korban PHK. Persaingan akan sengit.

Membuka usaha juga bukan perkara gampang. Ya itu tadi, konsumen sedang 'tiarap'. Menjual produk yang bagus sekalipun kalau tidak ada yang beli ya sama saja bohong.

Oleh karena itu, ada baiknya kita bersiaga. Jika memungkinkan, masuki resesi dengan pijakan yang kokoh, misalnya tanpa utang yang memberatkan seperti kartu kredit. Kalau ada kesempatan untuk melunasi, lunasi saja dulu. Tentu sakit kepala kalau sampai penghasilan berkurang atau bahkan hilang (amit-amit) tetapi tagihan kartu kredit bergentayangan.

Kalau ada uang lebih, ada baiknya mulai berinvestasi. Misalnya membeli emas, mumpung harganya sedang dalam tren turun.

Dalam sebulan terakhir, harga emas dunia di pasar spot anjlok lebih dari 4%. Ini kesempatan untuk membeli dan menyimpan emas sebagai bantalan bertahan hidup pada masa prihatin.

Hingga vaksin anti-virus corona hadir dan didistribusikan secara luas, sepertinya masa prihatin belum akan berakhir. Semoga kita semua bisa melalui saat-saat yang berat ini. Amin...

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular