Simak Nih! Menguak PP Penyelamatan Ekonomi Jokowi

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
12 May 2020 11:09
Sarana Kereta Api Disemprot Disinfektan Untuk Mencegah Penyebaran Virus Corona. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Sarana Kereta Api Disemprot Disinfektan Untuk Mencegah Penyebaran Virus Corona. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) memukul dunia secara tiba-tiba, seakan tanpa peringatan. Akibatnya, pemerintah di berbagai negara harus mengeluarkan dana dengan jumlah besar untuk memerangi virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China tersebut.

Kata unprecedented kerap kali disematkan bersama pandemi virus corona. Unprecedented artinya belum pernah dialami atau diketahui sebelumnya.

Pandemi virus corona boleh dibilang adalah krisis kesehatan terbesar dalam satu abad terakhir. Tidak ada pejabat pemerintah yang lahir 100 tahun lalu, sehingga memang belum ada pengalaman menangani virus dengan penyebaran secepat dan semasif corona.


Bayangkan saja, dalam waktu kurang dari lima bulan John Hopkins University mencatat pasien positif corona di seluruh dunia sudah mencapai 4,17 juta orang. Dari jumlah tersebut, nyaris 290.000 orang tutup usia.

Virus corona kini telah menyebar di lebih dari 200 negara dan teritori. Hampir tidak ada tempat yang aman.

Indonesia pun tidak imun dari serangan virus corona. Sejak kasus pertama dilaporkan pada awal Maret, per 11 Mei jumlah pasien positif corona sudah mencapai 14.265 orang dan 991 orang di antaranya meninggal dunia.


Seperti pemerintah di negara lain, pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun merespons dengan memberikan stimulus fiskal. Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No 1/2020, jumlah stimulus fiskal yang diberikan adalah Rp 405,1 triliun. Jumlah ini sekira 2,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.


[Gambas:Video CNBC]



Serangan virus corona ibarat orang yang mengalami kecelakaan lalu lintas. Tidak bisa diperkirakan, terjadi tiba-tiba, dan mungkin belum pernah dialami sebelumnya. Unprecedented.

Untuk menangani korban kecelakaan, dilakukan tiga pendekatan. Pertama adalah mengobati luka dan cederanya agar bisa sembuh. Ini adalah yang paling utama, karena kalau masih ada luka dan cedera maka artinya belum sembuh.

Kedua adalah membantu si korban agar bisa berdiri. Setidaknya jangan sampai ada bagian tubuh yang diamputasi.

Ketiga adalah membantu korban agar bisa berjalan kembali dan perlahan menjalani hidup seperti sebelumnya. Proses normalisasi dan rehabilitasi.

Nah, pendekatan ini yang digunakan oleh pemerintah dalam menanggulangi pandemi virus corona. Pertama adalah dengan menyediakan dukungan di aspek kesehatan melalui pengadaan alat-alat kesehatan, peningkatan kapasitas rumah sakit dan membangun rumah sakit sementara, memberikan insentif bagi tenaga medis, dan sebagainya.

Ini adalah upaya utama, menanggulangi pandemi dari sisi kesehatan karena pandemi ini memang krisis kesehatan. Anggaran untuk bidang kesehatan adalah Rp 75 triliun.


Lalu ada pula membantu korban agar bisa berdiri melalui bantuan sosial (bansos). Pandemi virus corona berdampak ke aspek sosial-ekonomi, banyak yang kehilangan mata pencarian karena kebijakan pembatasan sosial (social distancing). Ketika orang-orang diimbau untuk #dirumahaja, maka aktivitas ekonomi menjadi mati suri sehingga mengancam dapur jutaan rakyat Indonesia.

Alokasi untuk program bansos adalah Rp 110 triliun yang mencakup penambahan anggaran Kartu Sembako, Kartu Pra-Kerja, dan subsidi listrik. Memang tidak akan menutup seluruh kebutuhan masyarakat, tetapi setidaknya bisa memperpanjang nafas. Setidaknya jangan sampai ada amputasi...



Terakhir adalah merehabilitasi dan menormalkan ekonomi yang terpukul akibat pandemi virus corona. Ini dilakukan melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang mendapat alokasi anggaran Rp 150 triliun.

Pada 9 Mei, Jokowi telah meneken Peraturan Pemerintah (PP) No 23/2020 yang menjadi landasan hukum pelaksanaan PEN. Salah satu pilar dalam PEN adalah mendorong peran perbankan dalam menyalurkan kredit.

"Dalam rangka pelaksaan Program PEN, Pemerintah dapat melakukan Penempatan Dana yang ditujukan untuk memberikan dukungan likuiditas kepada perbankan yang melakukan restrukturisasi kredit/pembiayaan dan/atau memberikan tambahan kredit/pembiayaan modal kerja," demikian disebutkan di pasal 10 ayat (1) PP No 23/2020.


Kalau ingin memulihkan perekonomian, kuncinya memang di perbankan. Per Februari 2020, total outstanding kredit bank umum adalah Rp 5.603,98 triliun. Sebagai gambaran, total perekonomian Indonesia yang diukur dari Produk Domestik Bruto (PDB) per akhir 2019 adalah Rp 15.833,9 triliun.

Artinya, kredit perbankan menyumbang lebih dari 30% pembiayaan ekonomi. Kredit perbankan adalah 'darah' yang membuat seluruh tubuh tetap berfungsi sebagaimana mestinya.

Untuk memberikan suntikan likuiditas kepada perbankan agar penyaluran kredit tetap berjalan, pemerintah mencari sumber dana dari penerbitan obligasi. Nantinya obligasi itu akan dibeli oleh Bank Indonesia (BI) dengan suku bunga khusus.

Sekilas program PEN agak mirip dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) saat krisis multi-dimensi pada 1997-1998. Kala itu, pemerintah menerbitkan obligasi rekapitalisasi untuk meningkatkan permodalan perbankan.


Namun kita semua tahu sejarah kelam dan trauma yang diakibatkan oleh BLBI. Uang ratusan triliun rupiah digelapkan oleh para pemilik bank, dibawa kabur, dan bank tetap tidak sehat. Masalah hukum dan ekonominya masih terasa sampai saat ini, pemerintah masih membayar bunga obligasi rekapitalisasi ke BI.

Oleh karena itu, PEN harus diawasi dengan ketat agar pengalaman buruk itu tidak terulang lagi. Pasal 24 ayat (1) PP No 23/2020 mengamanatkan menteri melakukan pengawasan dan evaluasi atas pelaksanaan PEN. Ayat (2) menambahkan, pengawasan dan evaluasi itu mencakup pemantauan, evaluasi, dan pengendalian.

"Hasil evaluasi atas pelaksanaan Program PEN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh Menteri kepada Presiden," sebut pasal 24 ayat (3).

Pengawasan juga dibuat berlapis dengan melibatkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebagai auditor internal pemerintah. BPKP akan melakukan pengawasan intern terhadap pelaksanaan program PEN.

Pada akhirnya, PEN adalah program yang dibutuhkan agar ekonomi nasional bisa kembali berjalan normal setelah 'kecelakaan' akibat pandemi virus corona. Akan tetapi, perlu diwaspadai pula risiko penyimpangan (moral hazard) yang bisa saja terjadi. Jangan sampai Indonesia jatuh ke lubang yang sama dua kali.



TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular