Kasus Covid-19 RI Naik Tajam, Tapi Negara Ini Lebih Parah Sih

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
31 July 2022 13:30
Warga berjalan di jembatan Tebet Eco Park di Jakarta, Rabu (18/5/2022) Presiden Joko Widodo melonggarkan kebijakan terkait aturan pemakaian masker dengan memperbolehkan warga tidak mengenakan masker di luar ruangan apabila tidak dalam kondisi kerumunan menyusul kondisi pandemi COVID-19 di Indonesia saat ini terkendali. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Warga berjalan di jembatan Tebet Eco Park di Jakarta, Rabu (18/5/2022) Presiden Joko Widodo melonggarkan kebijakan terkait aturan pemakaian masker dengan memperbolehkan warga tidak mengenakan masker di luar ruangan apabila tidak dalam kondisi kerumunan menyusul kondisi pandemi COVID-19 di Indonesia saat ini terkendali. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) belum usai. Bahkan pekan ini terjadi peningkatan jumlah kasus positif harian yang signifikan.

Sepanjang pekan ini (24-30 Juli 2022), total ada tambahan 38.622 kasus baru. Rata-rata per hari adalah 5.517,43.

Angka ini melonjak tajam dibandingkan pekan sebelumnya. Pada 17-23 Juli 2022, total kasus baru tercatat 32.858 orang. Jadi pada pekan ini terjadi kenaikan 17,54%.

Sementara rerata kasus harian pada 17-23 Juli 2022 adalah 4.694 orang. Juga ada kenaikan 17,54%.

Bagaimana dengan negara-negara tetangga? Apakah juga terjadi peningkatan signifikan?

Coba kita lihat Singapura. Mengutip data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), total kasus baru di Negeri Singa pada 23-29 Juli 2022 adalah 58.345 orang. Per hari, rata-rata ada 8.335 kasus baru. So, perkembangan pandemi Covid-19 di Singapura jauh lebih parah ketimbang Indonesia.

Sementara di Malaysia, total kasus baru pada 23-29 Juli 2022 adalah 27.904. Rata-rata ada 3.96=86,29 kasus baru. Malaysia lebih beruntung ketimbang Indonesia atau Singapura.

Halaman Selanjutnya --> China Menderita Karena Corona

Sejauh ini, pemerintah di Indonesia, Singapura, dan Malaysia belum memperketat kebijakan pembatasan sosial (social distancing) secara agresif. Memang ada sejumlah pengetatan, tetapi tidak sampai terjadi penguncian.

Ini membuat aktivitas ekonomi masih bisa bergerak. Lain halnya kalau pemerintah menerapkan pembatasan yang ketat, seperti China yang dikenal dengan kebijakan tanpa toleransi (zero tolerance) terhadap Covid-19.

Kebijakan seperti ini membuat perekonomian China seakan maju-mundur. Saat aktivitas ekonomi mulai bergeliat, tidak jarang harus kembali terhenti akibat karantina wilayah (lockdown).

Ini terlihat dari aktivitas manufaktur. Pada Juli 2022, aktivitas manufaktur yang dicerminkan oleh Purchasing Managers' Index (PMI) beraa di 49. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 50,2 sekaligus jadi yang terendah dalam tiga bulan terakhir.

PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Kalau di bawah 50, artinya dunia usaha sedang dalam fase kontraksi.

"Tingkat kesejahteraan ekonomi di China telah menurun. Fondasi pemulihan masih perlu konsolidasi," sebut Zhao Qinghe, Statistikawan Senior Biro Statistik Nasional China, seperti dikutip dari keterangan tertulis.

Kontraksi, lanjut Zhao, terjadi di berbagai sector usaha. Mulai dari minyak, batu bara, hingga pemurnian logam (smelting).

Jika situasi tidak kunjung membaik, aktivitas terus dibuka-tutup, maka prospek ekonomi Negeri Tirai Bambu jadi penuh ketidakpastian. "Pertumbuhan ekonomi kuartal III sepertinya akan lebih menantang karena pemulihan berjalan lambat dan rapuh," tegas Bruce Pang, Kepala Ekonom Jones Lang Lasalle Inc, dalam risetnya.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular