
Simak Nih! Menguak PP Penyelamatan Ekonomi Jokowi
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
12 May 2020 11:09

Terakhir adalah merehabilitasi dan menormalkan ekonomi yang terpukul akibat pandemi virus corona. Ini dilakukan melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang mendapat alokasi anggaran Rp 150 triliun.
Pada 9 Mei, Jokowi telah meneken Peraturan Pemerintah (PP) No 23/2020 yang menjadi landasan hukum pelaksanaan PEN. Salah satu pilar dalam PEN adalah mendorong peran perbankan dalam menyalurkan kredit.
"Dalam rangka pelaksaan Program PEN, Pemerintah dapat melakukan Penempatan Dana yang ditujukan untuk memberikan dukungan likuiditas kepada perbankan yang melakukan restrukturisasi kredit/pembiayaan dan/atau memberikan tambahan kredit/pembiayaan modal kerja," demikian disebutkan di pasal 10 ayat (1) PP No 23/2020.
Kalau ingin memulihkan perekonomian, kuncinya memang di perbankan. Per Februari 2020, total outstanding kredit bank umum adalah Rp 5.603,98 triliun. Sebagai gambaran, total perekonomian Indonesia yang diukur dari Produk Domestik Bruto (PDB) per akhir 2019 adalah Rp 15.833,9 triliun.
Artinya, kredit perbankan menyumbang lebih dari 30% pembiayaan ekonomi. Kredit perbankan adalah 'darah' yang membuat seluruh tubuh tetap berfungsi sebagaimana mestinya.
Untuk memberikan suntikan likuiditas kepada perbankan agar penyaluran kredit tetap berjalan, pemerintah mencari sumber dana dari penerbitan obligasi. Nantinya obligasi itu akan dibeli oleh Bank Indonesia (BI) dengan suku bunga khusus.
Sekilas program PEN agak mirip dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) saat krisis multi-dimensi pada 1997-1998. Kala itu, pemerintah menerbitkan obligasi rekapitalisasi untuk meningkatkan permodalan perbankan.
Namun kita semua tahu sejarah kelam dan trauma yang diakibatkan oleh BLBI. Uang ratusan triliun rupiah digelapkan oleh para pemilik bank, dibawa kabur, dan bank tetap tidak sehat. Masalah hukum dan ekonominya masih terasa sampai saat ini, pemerintah masih membayar bunga obligasi rekapitalisasi ke BI.
Oleh karena itu, PEN harus diawasi dengan ketat agar pengalaman buruk itu tidak terulang lagi. Pasal 24 ayat (1) PP No 23/2020 mengamanatkan menteri melakukan pengawasan dan evaluasi atas pelaksanaan PEN. Ayat (2) menambahkan, pengawasan dan evaluasi itu mencakup pemantauan, evaluasi, dan pengendalian.
"Hasil evaluasi atas pelaksanaan Program PEN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh Menteri kepada Presiden," sebut pasal 24 ayat (3).
Pengawasan juga dibuat berlapis dengan melibatkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebagai auditor internal pemerintah. BPKP akan melakukan pengawasan intern terhadap pelaksanaan program PEN.
Pada akhirnya, PEN adalah program yang dibutuhkan agar ekonomi nasional bisa kembali berjalan normal setelah 'kecelakaan' akibat pandemi virus corona. Akan tetapi, perlu diwaspadai pula risiko penyimpangan (moral hazard) yang bisa saja terjadi. Jangan sampai Indonesia jatuh ke lubang yang sama dua kali.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(aji/aji)
Pada 9 Mei, Jokowi telah meneken Peraturan Pemerintah (PP) No 23/2020 yang menjadi landasan hukum pelaksanaan PEN. Salah satu pilar dalam PEN adalah mendorong peran perbankan dalam menyalurkan kredit.
"Dalam rangka pelaksaan Program PEN, Pemerintah dapat melakukan Penempatan Dana yang ditujukan untuk memberikan dukungan likuiditas kepada perbankan yang melakukan restrukturisasi kredit/pembiayaan dan/atau memberikan tambahan kredit/pembiayaan modal kerja," demikian disebutkan di pasal 10 ayat (1) PP No 23/2020.
Kalau ingin memulihkan perekonomian, kuncinya memang di perbankan. Per Februari 2020, total outstanding kredit bank umum adalah Rp 5.603,98 triliun. Sebagai gambaran, total perekonomian Indonesia yang diukur dari Produk Domestik Bruto (PDB) per akhir 2019 adalah Rp 15.833,9 triliun.
Artinya, kredit perbankan menyumbang lebih dari 30% pembiayaan ekonomi. Kredit perbankan adalah 'darah' yang membuat seluruh tubuh tetap berfungsi sebagaimana mestinya.
Untuk memberikan suntikan likuiditas kepada perbankan agar penyaluran kredit tetap berjalan, pemerintah mencari sumber dana dari penerbitan obligasi. Nantinya obligasi itu akan dibeli oleh Bank Indonesia (BI) dengan suku bunga khusus.
Sekilas program PEN agak mirip dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) saat krisis multi-dimensi pada 1997-1998. Kala itu, pemerintah menerbitkan obligasi rekapitalisasi untuk meningkatkan permodalan perbankan.
Namun kita semua tahu sejarah kelam dan trauma yang diakibatkan oleh BLBI. Uang ratusan triliun rupiah digelapkan oleh para pemilik bank, dibawa kabur, dan bank tetap tidak sehat. Masalah hukum dan ekonominya masih terasa sampai saat ini, pemerintah masih membayar bunga obligasi rekapitalisasi ke BI.
Oleh karena itu, PEN harus diawasi dengan ketat agar pengalaman buruk itu tidak terulang lagi. Pasal 24 ayat (1) PP No 23/2020 mengamanatkan menteri melakukan pengawasan dan evaluasi atas pelaksanaan PEN. Ayat (2) menambahkan, pengawasan dan evaluasi itu mencakup pemantauan, evaluasi, dan pengendalian.
"Hasil evaluasi atas pelaksanaan Program PEN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh Menteri kepada Presiden," sebut pasal 24 ayat (3).
Pengawasan juga dibuat berlapis dengan melibatkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebagai auditor internal pemerintah. BPKP akan melakukan pengawasan intern terhadap pelaksanaan program PEN.
Pada akhirnya, PEN adalah program yang dibutuhkan agar ekonomi nasional bisa kembali berjalan normal setelah 'kecelakaan' akibat pandemi virus corona. Akan tetapi, perlu diwaspadai pula risiko penyimpangan (moral hazard) yang bisa saja terjadi. Jangan sampai Indonesia jatuh ke lubang yang sama dua kali.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular