Ada yang Pede Rupiah Bisa di Bawah Rp 10.000/US$, Mimpi?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
10 December 2019 15:03
Ada yang Pede Rupiah Bisa di Bawah Rp 10.000/US$, Mimpi?
Ilustrasi Dolar AS dan Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak menguat sepanjang tahun ini. Tidak tanggung-tanggung, rupiah menjadi salah satu mata uang terkuat di dunia.

Mengutip data Refinitiv, rupiah menguat 2,4% secara year-to-date. Rupiah masuk ke 10 besar mata uang terbaik dunia, tepatnya berada di peringkat ketujuh.

Di Asia, hanya baht Thailand yang punya kinerja lebih baik ketimbang rupiah. Mata uang Tanah Air bahkan mampu melampaui performa yen Jepang, dolar Singapura, sampai dolar Hong Kong.

Refinitiv


Meski rupiah menguat, saat ini levelnya masih berada di sekitar Rp 14.000. Sejak tahun lalu, rupiah setia menempati level tersebut.



Namun, Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan yakin rupiah bisa jauh lebih kuat lagi. Bahkan Luhut punya semacam target rupiah bisa menguat sampai di bawah Rp 10.000/US$ pada 2023 atau empat tahun lagi.


Target Luhut sejalan dengan rencana Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang akan menuntaskan defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) dalam waktu empat tahun. Transaksi berjalan memang berkaitan erat dengan nilai tukar mata uang.

Transaksi berjalan mencerminkan arus devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Devisa dari pos ini dinilai lebih berjangka panjang sehingga mampu menjadi fondasi bagi kekuatan sebuah mata uang.


Sejak 2011, transaksi berjalan Indonesia masih terjebak di teritori defisit. Teranyar, defisit transaksi berjalan pada kuartal III-2019 adalah 2,66% dari Produk Domestik Bruto (PDB).



Jadi kalau Jokowi berhasil menuntaskan defisit transaksi berjalan, membaliknya menjadi surplus atau setidaknya impas, maka rupiah tentu akan lebih kuat. Apakah bisa sampai di bawah Rp 10.000/US$, sulit untuk mengukurnya. Namun yang jelas rupiah bakal lebih kuat dari posisi sekarang, itu adalah sebuah keniscayaan.


Akan tetapi, membenahi transaksi berjalan bukan pekerjaan gampang. Pada kuartal III-2019, kontributor terbesar yang menyebabkan transaksi berjalan defisit US$ 7,66 miliar adalah neraca pendapatan primer yang tekor US$ 8,43 miliar.

Kunci untuk membalik defisit pendapatan primer adalah mengoptimalkan potensi dalam negeri, baik di investasi langsung di sektor riil maupun portofolio. Jika pemain asing masih dominan, maka neraca pendapatan primer akan selalu 'jebol'.

Ketika investor asing mendominasi, maka arus devisa keluar akan tetap besar dalam bentuk dividen. Neraca pendapatan investasi langsung (Foreign Direct Investment/FDI) pada kuartal III-2019 negatif US$ 4,63 miliar sementara neraca pendapatan investasi portofolio defisit US$ 2,81 miliar.

Pada periode Januari-September 2019, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat Penanaman Modal Asing (PMA) berkontribusi 52,85% terhadap total investasi. Masih dominan, tetapi turun dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yaitu 54,86%.


Di pasar keuangan, contoh peningkatan peran investor asing terlihat di pasar obligasi pemerintah. Per 6 Desember 2019, porsi kepemilikan investor asing adalah 38,53%, naik dibandingkan posisi awal tahun yang sebesar 37,72%.

Untuk membuat neraca pembayaran primer tidak lagi defisit, ini kuncinya. Partisipasi investor domestik, baik di sektor riil maupun pasar keuangan, harus ditingkatkan sehingga peran investor asing tidak lagi besar dan Indonesia tidak perlu lagi membayar dividen ke luar negeri.

Di sektor riil, segala hambatan investasi harus dihilangkan. Perizinan, pajak, pasokan energi, sampai pasar tenaga kerja harus mendukung masuknya investasi.

Harapan disematkan kepada Omnibus Law, yang bakal menjadi payung aturan perundang-undangan penanaman modal. Omnibus Law akan merangkum lebih dari 70 aturan sehingga investor tidak lagi kebingungan.

Rencananya pemerintah dan DPR akan mulai membahas Omnibus Law bulan ini. Semoga bisa cepat selesa sehingga masyarakat bisa menikmati aturan yang digembar-gemborkan menjadi senjata pamungkas pemikat hati investor ini.


Sedangkan di sektor keuangan, partisipasi investor domestik salah satunya bisa ditingkatkan melalui kelas menengah yang terus tumbuh. Bank Indonesia (BI) mencatat, kelas menengah sudah mencapai 60% dari total populasi.

Keikutsertaan kelas menengah bisa difasilitasi oleh peningkatan penerbitan instrumen ritel. Namun per 6 Desember, kepemilikan investor ritel di obligasi pemerintah baru 3%. Ke depan, pangsa pasar investor ritel masih sangat besar dan harus bisa dimanfaatkan untuk mengurangi ketergantungan terhadap arus modal asing.

Apabila masalah di neraca pendapatan primer bisa diselesaikan, maka hampir pasti defisit transaksi berjalan bakal tuntas. Saat transaksi berjalan membaik, maka penguatan rupiah tinggal menunggu waktu.



Namun komplikasi yang muncul adalah mata uang yang menguat, bahkan terlalu kuat, justru merugikan. Tanyakan saja ke Thailand, yang mata uangnya menjadi nomor satu di Asia.

"Baht yang begitu kuat telah mempengaruhi ekspor, dan bank sentral akan memonitor dengan ketat. Bank sentral harus mampu mengendalikan penguatan baht," tegas Uttama Savanayana, Menteri Keuangan Thailand, seperti diwartakan Reuters.

Ketika mata uang suatu negara menguat, maka produk negara tersebut menjadi mahal di pasar global. Ekspor menjadi makin sulit, karena produk kurang kompetitif.

Pada Oktober, ekspor Thailand terkontraksi alias tumbuh negatif 4,54% year-on-year. Lebih dalam ketimbang kontraksi bulan sebelumnya yaitu 1,39%. Sudah tiga bulan beruntun ekspor Negeri Gajah Putih terbenam di zona kontraksi.

 


Tidak cuma baht, dolar AS yang dinilai terlalu kuat sampai membuat Presiden Donald Trump geram. Dalam beberapa kesempatan, Trump berkoar-koar soal greenback yang terlampau perkasa dan membuat ekspor Negeri Paman Sam terpukul. Isu ini yang menjadi pangkal perseteruan Trump dengan Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed).

"Seperti yang rasa duga, Jay Powell (Jerome Powell, Ketua The Fed) dan Federal Reserve mengizinkan dolar terlalu kuat, terutama secara relatif terhadap SEMUA mata uang. Manufaktur kita menerima dampak negatif. Suku bunga acuan terlalu tinggi. Mereka (The Fed) adalah musuh terbesar, mereka tidak tahu mau melakukan apa. Menyedihkan," tukas Trump dalam cuitan di Twitter beberapa waktu lalu.


Buat Indonesia yang masih mau membangun industri manufaktur, penguatan rupiah yang terlalu tajam bukan sesuatu yang baik. Rupiah yang terlalu kuat membuat impor menjadi lebih murah sehingga menjadi disinsentif bagi untuk menjadi industriawan. Kalau impor mudah dan murah, lebih baik jadi pedagang daripada repot-repot membangun pabrik bukan?

Kesimpulannya, rupiah menguat boleh saja. Namun hati-hati karena ketika terlalu kuat dampaknya malah merepotkan diri sendiri.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular