Menguat Lagi! Rupiah 3 Besar Mata Uang Terbaik Asia

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
09 December 2019 17:21
Menguat Lagi! Rupiah 3 Besar Mata Uang Terbaik Asia
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah kembali menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin ini (9/12/2019), dan membukukan penguatan dalam 3 hari berturut-turut.

Rupiah langsung menguat 0,25% ke level Rp 14.000/US$ begitu perdagangan hari ini dibuka. Level tersebut merupakan yang terkuat sejak 7 November lalu. Mata uang Garuda tidak sekalipun menyentuh zona merah pada hari ini, meski juga belum sanggup menambah penguatan lagi.



Usai mencapai Rp 14.000/US$, penguatan rupiah terus terpangkas, dan mengakhiri perdagangan di level Rp 14.010/US$, menguat 0,1% di pasar spot, melansir data Refinitiv.



Mata uang utama Asia bergerak variatif melawan dolar AS pada perdagangan hari ini. Rupiah dengan penguatan 0,18% menjadi mata uang terbaik ketiga. Posisi tersebut menurun dibandingkan sebelumnya, pada hari Kamis pekan lalu Mata Uang Garuda menjadi raja Asia, sehari setelahnya menduduki posisi runner up.


Hingga pukul 16:10 WIB, rupee India menjadi mata uang terbaik hari ini dengan mencatat penguatan 0,23%. Posisi kedua ditempati oleh baht Thailand yang menguat 0,2%.

Won Korea Selatan menjadi mata uang dengan kinerja terburuk setelah melemah 0,55%.

Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Benua Kuning pada hari ini.



Dolar AS pada perdagangan Jumat (6/12/2019) sebenarnya mengamuk. Setelah melemah dalam lima hari beruntun dengan total 0.98%, indeks dolar AS langsung bangkit dan mencatat penguatan 0,3%.

Untungnya penguatan tersebut baru dimulai memasuki perdagangan sesi AS, saat pasar dalam negeri sudah ditutup. 

Penguatan dolar AS tersebut dipicu oleh rilis data tenaga kerja AS yang impresif.

Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan sepanjang November perekonomian AS mampu menyerap 266.000 tenaga kerja di luar sektor pertanian (non-farm payroll/NFP). Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan bulan Oktober sebanyak 156.000 tenaga kerja, dan jauh lebih tinggi dari konsensus Trading Economics sebesar 180.000 tenaga kerja.



NFP di bulan November tersebut juga merupakan yang tertinggi sejak bulan Januari lalu. 

Data tersebut terbilang impresif melihat rilis data jika melihat rilis data oleh Automatic Data Processing Inc. (ADP) pada Rabu lalu yang melaporkan sektor swasta AS menyerap tenaga kerja hanya sebanyak 67.000 orang.



Data dari ADP tersebut biasanya digunakan untuk memprediksi berapa jumlah NFP yang akan dilaporkan oleh Pemerintah AS, sehingga bisa dikatakan impresif. Belum lagi jika melihat tingkat pengangguran Negeri Paman Sam yang dilaporkan di 3,5% di bulan November.

Tingkat pengangguran tersebut turun dibandingkan bulan Oktober sebesar 3,6%, menyamai catatan di bulan September, dan merupakan yang terendah sejak tahun 1969. 



Hanya satu data yang kurang bagus yakni rata-rata upah per jam yang naik 0,2% month-on-month (MoM) lebih rendah dari konsensus Trading Economics sebesar 0,3%. Seandainya data ini juga dilaporkan lebih tinggi dari konsensus, tekanan bagi emas akan semakin hebat.

Untuk diketahui, data tenaga kerja AS merupakan salah satu acuan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) dalam menetapkan kebijakan moneter. Rilis data yang impresif ini tentunya menguatkan sikap The Fed untuk tidak lagi memangkas suku bunga.

Namun penguatan tersebut hanya berlangsung sehari, hingga sore ini indeks dolar AS kembali melemah 0,09%. 


Data ekonomi dari dalam negeri yang cukup bagus pada pekan lalu mendorong berlanjutnya penguatan rupiah. Bank Indonesia (BI) merilis indeks keyakinan konsumen (IKK) bulan November yang mengalami kenaikan menjadi 124,2 dari bulan sebelumnya 118,4. Angka indeks di bulan November juga menjadi yang tertinggi dalam empat bulan terakhir.

Kenaikan IKK tersebut mengindikasikan adanya peningkatan optimisme terhadap kondisi ekonomi saat ini serta di masa yang akan datang. Ketika konsumen semakin optimistis, maka tingkat belanja bisa meningkat dan tentunya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.

BI juga melaporkan cadangan devisa per akhir November sebesar US$ 126,6 miliar. Turun tipis dari posisi Oktober yaitu US$ 126,7 miliar. Penurunan tersebut masih lebih baik dari prediksi Trading Economics sebesar US$ 126,3 miliar.



"Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 7,5 bulan impor atau 7,2 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Bank Indonesia menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan," sebut keterangan tertulis BI yang diterbitkan Jumat (6/12/2019).

Sementara itu, perhatian utama pelaku pasar masih tertuju pada perundingan dagang AS dengan China. 

Presiden AS Donald Trump mengatakan bahwa sesuatu bisa terjadi terkait dengan bea masuk tambahan yang dibebankan Washington terhadap produk impor asal China. 

Pernyataan tersebut menjadi indikasi bea masuk tambahan importasi produk China yang mulai berlaku pada 15 Desember akan batal diterapkan. 

Penghapusan bea masuk tambahan merupakan syarat dari China jika AS ingin meneken kesepakatan dagang tahap satu. Namun China juga meminta menghapus bea masuk produknya senilai US$ 375 miliar dari US$ 550 miliar yang selama ini sudah dikenakan. 



Sementara itu China juga memberikan kabar bagus. China memutuskan untuk memberi kelonggaran bea masuk atas sejumlah impor produk pangan asal AS seperti kedelai dan daging babi.

Kabar tersebut menunjukkan perundingan dagang berada pada jalur yang tepat, dan kesepakatan dagang kemungkinan akan diteken dalam waktu dekat. Meski demikian pelaku pasar tetap berhati-hati mengingat tenggat waktu yang semakin sempit. 

AS sampai saat ini masih berencana menaikkan lagi bea masuk importasi produk dari China pada 15 Desember nanti jika kedua negara belum menandatangani kesepakatan dagang. 

Kurang dari sepekan ke depan merupakan penentuan kesepakatan dagang kedua negara, sehingga pelaku pasar cenderung wait and see, rupiah pun masih malu-malu untuk bisa menguat ke bawah level Rp 14.000/US$. 


TIM RISET CNBC INDONESIA 
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular