
Di Depan Para CEO, Sri Mulyani Umbar Konsep Omnibus Law Pajak

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah menyusun RUU Omnibus Law mendukung akselerasi penerimaan perpajakan sesuai dengan prioritas pemerintahan dalam mentransformasi ekonomi.
Selain itu Omnibus Law Pajak juga untuk mengantisipasi perubahan terutama di digital ekonomi dan untuk membuat sistem pajak Indonesia kompetitif dengan perpajakan global.
Menurutnya, Omnibus Law di bidang perpajakan disusun dalam enam area, mulai dari menurunkan tarif pajak penghasilan (PPh) Badan hingga menggabungkan seluruh insentif pajak yang sudah ada menjadi satu bagian.
Ia memerinci, area pertama adalah menurunkan PPh Badan yang saat ini 25% menjadi 20% secara bertahap. Pada 2021 akan diturunkan menjadi 22% dan pada 2023 akan menjadi 20%.
"Kita lakukan bertahap karena perlu jaga dampak fiskal. Jadi menurunkan tax based signifikan," ujarnya dalam acara CEO Forum di Hotel Ritz Carlton, Kamis (28/11/2019).
Khusus untuk perusahaan yang melakukan pencatatan saham atau penawaran umum saham perdana (initial public offering/IPO) di Bursa Efek Indonesia (BEI), akan ditambahkan lagi penurunan PPh Badan sebesar 3% selama 5 tahun sejak perusahaan tersebut melakukan IPO.
"Kemudian on top dari itu ada pengurangan 3%, apabila perusahaan masuk bursa [go public] selama 5 tahun supaya ada additional perusahaan listing [tercatat di BEI]. Sehingga bursa makin dalam dan berkembang. Jadi kalau anda sudah 20% Anda dapet tax rate 17% dalam 5 tahun," kata dia.
Kedua, adalah menghapuskan pajak dividen. Sebelumnya, perusahaan dalam negeri yang melakukan ekspansi dan memiliki share (saham) di bawah 25% dikenakan pajak dividen, saat ini tidak dikenakan.
"Contoh, kalau misalnya Gojek buka di Pilipina dan Vietnam ada share lebih dari 25% otomatis tidak dipajakin, tapi selama ini kurang dari itu tetap dipajakin. Semua ada revenue pakai conditional atau tidak, contoh selama dividennya di-invest di Indonesia, tujuannya capital inflow di Indonesia," jelasnya.
Ketiga, pajak teritorial yakni wajib pajak Orang pribadi yang sudah di luar negeri lebih dari 183 hari akan dikenakan pajak dari negara tersebut. Dan bagi WNA yang kerja di Indonesia hanya dikenakan pajak dari RI.
Keempat, mengurangi penalti pajak dan bunga. Selama ini, kalau ada yang pajaknya kurang bayar lebih dari 2-3 tahun maka akan dikenakan denda yakni 2% per bulan. Dengan demikian maka akan ada denda pajak 48% selama 24 bulan.
![]() |
"Nah sekarang fair saja, dendanya sebesar suku bunga yang selama ini, bunga market dan sekarang rendah. Tapi kalau kriminal dia dengan sengaja kurang bayar maka akan kena top up 5%-10%. Cukup fair," jelasnya.
Kelima, mengenai pajak ecommerce terutama perusahaan digital. Sebelumnya harus memiliki Badan Usaha Tetap (BUT) agar bisa dikenakan pajak. Nantinya, tidak perlu BUT atau kantor cabang, namun selama beroperasi di RI wajib memungut dan membayar pajak.
Keenam, adalah menjadikan seluruh insentif pajak seperti tax holiday dan tax allowance menjadi satu bagian.
"Kira-kira itu yang akan difinalkan, timeline-nya berharap draf bisa selesai dan harmonisasi agar bisa segera disampaikan ke DPR sebelum reses 18 Desember. Januari sudah bisa bahas dan sudah komunikasi ke DPR," tegasnya.
Simak progres draft Omnibus Law
(tas/tas) Next Article Sekarang Bobol, Tapi Jangan Harap Netflix Bisa Hindari Pajak
