Surplus Tapi RI Impor Jagung & Beras, Data Kementan Kenapa?

Tim CNBC Indonesia, CNBC Indonesia
10 November 2018 13:53
Surplus Tapi RI Impor Jagung & Beras, Data Kementan Kenapa?
Foto: Ilustrasi Petani Jagung (REUTERS/Stringer)
Jakarta, CNBC Indonesia - Selama sepekan ini, kementerian pertanian kembali jadi sorotan. Pangkal masalahnya, terbitnya izin untuk mengimpor jagung maksimal 100.000 ton tahun ini melalui Perum Bulog.

Keputusan ini diambil setelah rapat koordinasi terbatas  menteri koordinator (menko) perekonomian, menteri pertanian, menteri perdagangan, menteri badan usaha milik negara (BUMN) dan Perum Bulog. Jagung yang diimpor untuk pakan ternak bukan konsumsi masyarakat.

Impor jagung ini dimintakan langsung oleh kementerian pertanian (Kementan). Padahal data kementan menunjukkan Indonesia mengalami surplus jagung sebesar 13 juta ton.

"Siapa yang bilang surplus? Siapa yang minta impor? Dari kalau impor ada [rekomendasi dari Mentan] dan ada di rakortas [rapat koordinasi terbatas di bawah Kementerian Koordinator Perekonomian]," ujar Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita usai rapat terbatas persiapan kunjungan Presiden ke Papua Nugini dan Singapura di Kantor Presiden, Kamis (8/11/2018).

Senada dengan Mendag, Menko Perekonomian Darmin Nasution juga menyatakan heran dengan impor jagung yang diminta Kementan.

"Mereka [Kementan] yang paling tahu. Kalau mereka usulkan ini perlu impor, kita juga tanya, 'katanya surplus?' Akhirnya kita tanya dan jawaban mereka harganya naik. Ini ada surat-surat dari peternak, macam-macam. Oke kalau begitu," jelas Darmin pada Rabu (7/11/2018).

Kementan, kata Darmin, menyatakan bahwa harga jagung naik dan memicu adanya demonstrasi sehingga perlu adanya impor.

"Begini, yang melakukan impor itu Menteri Perdagangan, tapi rekomendasinya itu dari Menteri Pertanian. Walaupun Kementan bilang produksi jagung surplus 13 juta ton, [faktanya] harganya naik, lalu banyak yang marah, mau demo segala macam. Kemudian Menteri Pertanian bilang, minta diimpor deh. Berapa? 100 ribu ton. [Saya minta] buat surat dong, jangan nanti tiba-tiba nggak mengaku," ujarnya.

Menteri Pertanian, Amran Sulaiman, di sisi lain mengatakan jagung yang telah diimpor itu nantinya akan masuk gudang Bulog dan tidak akan dikeluarkan jika harga sudah turun. 

"Kemudian yang dipertanyakan, kalau 50.000 atau 100.000 impor. [Itu] artinya masih surplus kan. Masih berprestasi petani kita, tolong hargai petani Indonesia. Kalau tidak mau hargai saya, enggak masalah. Itu saudara kita sendiri yang berproduksi."

"Nah [impor] 50.000 ton ini tidak ada artinya. Sangat kecil. Dan ini sebagai alat kontrol saja. Untuk stabilitas harga. Nanti disimpan Bulog. Kalau harga turun tidak akan keluar. Dan sebentar lagi kita panen raya," jelas Amran.

Bukan kali ini saja data kementan dipertanyakan. Sebelumnya muncul polemik soal impor beras. Pemerintah memutuskan untuk melakukan impor beras sebesar 2 juta ton tahun ini saat data kementan menunjukkan surplus.

Darmin bercerita harga beras mulai mengalami kenaikan sejak kuartai III 2017. Stok Bulog ketika itu hanya 978 ribu ton atau jauh dari jumlah ideal dua juta ton. 

Namun, perdebatan menghangat dalam rapat karena ada klaim surplus produksi. Darmin pun menggelar rapat pada 15 Januari 2018. Waktu itu, stok berkurang menjadi 903 ribu ton.

Itu artinya, dalam 10 hari, stok beras berkurang 75 ribu ton. Mengapa demikian? Sebab, pemerintah harus menggelar operasi pasar untuk menekan kenaikan harga. 

"Harga waktu itu adalah Rp 11.300/kg. Jangan lupa ini medium loh, medium itu harganya Rp 9.450. Jadi sudah ada jauh di atas sementara masih 15 Januari. Artinya panen masih Maret. Panen raya biasanya Maret, bisa-bisa April," kata Darmin.

Menurut dia, ada yang pihak yang mengklaim produksi beras selama tiga bulan mencapai 17,7 juta ton. Jumlah itu banyak, namun stok Bulog hanya 903 ribu ton. 

leh karena itu, pemerintah memutuskan mengimpor 500 ribu ton beras. 

"Karena apa? Kalau makin turun digoreng sama pedagang, kita enggak akan kuat. Jangan mengira 903 ribu ton itu banyak. Konsumsi kita sebulan itu 2,3-2,4 juta ton. Artinya 903 ribu ton itu lebih sedikit dari 10 hari," ujar Darmin.

Pemerintah kemudian kembali menggelar rapat pada 19 Maret 2018. Saat itu, stok Bulog tinggal 590 ribu ton. Stok tidak bertambah karena impor 500 ribu ton pada Januari tidak masuk. 

Alasannya, negara eksportir juga melakukan panen pada Maret. Persiapan ekspor pun membutuhkan waktu lama. Bulog memiliki standar tersendiri. 

Kemudian, lanjut Darmin, pada 28 Maret, pemerintah kembali menggelar rapat. Waktu panen raya sudah hampir berakhir. Stok Bulog sedikit meningkat menjadi 649 ribu ton. 

"Tapi tidak ada apa-apanya. Panen raya sudah mau habis, siapa yang percaya ini akan beres-beres aja, baik-baik saja ke depan?," ujarnya.

Oleh karena itu, pemerintah memutuskan mengimpor 1 juta ton lagi. Harga beras medium pun turun menjadi Rp 11.036/kg. 

Kemudian pada rapat terbaru pekan ketiga Agustus lalu, stok Bulog 2,2 juta ton. Namun, menurut Darmin, jumlah itu sudah termasuk impor meski belum semuanya masuk. 

"Tapi sudah bulan Agustus, kita anggap 2,2 juta ton masih akan ada nambah sedikit pengadaan dalam negeri dan katanya sekarang bisa mendekati 2,4 juta, berarti naik sedikit bisa 3 juta, maka kita tidak tambah lagi," kata Darmin.

Oleh karena itu, dia mengaku heran apabila impor dihubungkan dengan kapasitas gudang yang penuh. Menurut Darmin, gudang penuh lantaran ada impor. 

"Kalau enggak ada impornya, isinya 800 ribu ton. Ngerti gak? Menurut saya, Ini gak perlu digaduh ini. Gudang penuh karena impor. Kalau tidak impor waktu itu, repot kita. Jadi itu sudah dengan pertimbangan matang, walaupun kementerian terkait bilang oh 3 bulan produksinya 13,7 juta ton. Kalau 13,7 juta ton ya beli dong. Kita minta hanya 2,2 juta ton," katanya.



Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular