Cerita Darmin Soal Impor Beras dan Salah Data Kementan
Chandra Gian Asmara & Ratu Rina, CNBC Indonesia
19 September 2018 21:52

Jakarta, CNBC Indonesia- Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution angkat bicara terkait polemik impor beras. Polemik itu belakangan semakin meruncing lantaran melibatkan Dirut Bulog Budi Waseso (Buwas) dan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita.
Berbicara kepada wartawan di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Rabu (19/9/2018), Darmin menceritakan, harga beras mulai mengalami kenaikan sejak kuartai III 2017. Stok Bulog ketika itu hanya 978 ribu ton atau jauh dari jumlah ideal dua juta ton.
Namun, perdebatan menghangat dalam rapat karena ada klaim surplus produksi. Darmin pun menggelar rapat pada 15 Januari 2018. Waktu itu, stok berkurang menjadi 903 ribu ton.
Itu artinya, dalam 10 hari, stok beras berkurang 75 ribu ton. Mengapa demikian? Sebab, pemerintah harus menggelar operasi pasar untuk menekan kenaikan harga.
"Harga waktu itu adalah Rp 11.300/kg. Jangan lupa ini medium loh, medium itu harganya Rp 9.450. Jadi sudah ada jauh di atas sementara masih 15 Januari. Artinya panen masih Maret. Panen raya biasanya Maret, bisa-bisa April," kata Darmin.
Menurut dia, ada yang pihak yang mengklaim produksi beras selama tiga bulan mencapai 17,7 juta ton. Jumlah itu banyak, namun stok Bulog hanya 903 ribu ton.
Oleh karena itu, pemerintah memutuskan mengimpor 500 ribu ton beras.
"Karena apa? Kalau makin turun digoreng sama pedagang, kita enggak akan kuat. Jangan mengira 903 ribu ton itu banyak. Konsumsi kita sebulan itu 2,3-2,4 juta ton. Artinya 903 ribu ton itu lebih sedikit dari 10 hari," ujar Darmin.
Pemerintah kemudian kembali menggelar rapat pada 19 Maret 2018. Saat itu, stok Bulog tinggal 590 ribu ton. Stok tidak bertambah karena impor 500 ribu ton pada Januari tidak masuk.
Alasannya, negara eksportir juga melakukan panen pada Maret. Persiapan ekspor pun membutuhkan waktu lama. Bulog memiliki standar tersendiri.
Kemudian, lanjut Darmin, pada 28 Maret, pemerintah kembali menggelar rapat. Waktu panen raya sudah hampir berakhir. Stok Bulog sedikit meningkat menjadi 649 ribu ton.
"Tapi tidak ada apa-apanya. Panen raya sudah mau habis, siapa yang percaya ini akan beres-beres aja, baik-baik saja ke depan?," ujarnya.
Oleh karena itu, pemerintah memutuskan mengimpor 1 juta ton lagi. Harga beras medium pun turun menjadi Rp 11.036/kg. Kemudian pada rapat terbaru pekan ketiga Agustus lalu, stok Bulog 2,2 juta ton. Namun, menurut Darmin, jumlah itu sudah termasuk impor meski belum semuanya masuk.
"Tapi sudah bulan Agustus, kita anggap 2,2 juta ton masih akan ada nambah sedikit pengadaan dalam negeri dan katanya sekarang bisa mendekati 2,4 juta, berarti naik sedikit bisa 3 juta, maka kita tidak tambah lagi," kata Darmin.
Oleh karena itu, dia mengaku heran apabila impor dihubungkan dengan kapasitas gudang yang penuh. Menurut Darmin, gudang penuh lantaran ada impor.
"Kalau enggak ada impornya, isinya 800 ribu ton. Ngerti gak? Menurut saya, Ini gak perlu digaduh ini. Gudang penuh karena impor. Kalau tidak impor waktu itu, repot kita. Jadi itu sudah dengan pertimbangan matang, walaupun kementerian terkait bilang oh 3 bulan produksinya 13,7 juta ton. Kalau 13,7 juta ton ya beli dong. Kita minta hanya 2,2 juta ton," katanya.
Masalah data
Dalam kesempatan itu, Darmin juga menyinggung soal data beras yang berbeda. Pegangan pemerintah hanya dua, yaitu Kementerian Pertanian dan BPS. BPS, menurut dia, sudah mengeluarkan angka perkiran yang sudah disempurnakan. Akan tetapi belum ada diumumkan.
"Saya sudah tahu angkanya, tapi kita bisa gak bikin data? yang punya instrumen untuk itu adalah Kementerian Pertanian. Kita biikin, tapi dengan satelit. Tapi tetep bisa dibilang beliau-beliau itu ini yang benar," ujarnya.
Saat ditanya, apakah data Kementan selalu meleset, Darmin menjawab tegas. "Setiap tahun!".
Ia mengaku sudah meminta agar Kementan membenarkan data beras. Namun, datanya tidak berubah. Apa kendala Kementan? Darmin mengatakan, "Tanya mereka, jangan tanya saya. Segala macam sudah diomongin ya sudahlah," katanya.
(miq/gus) Next Article Ribuan Hektar Sawah Terendam Banjir, Buwas Akan Impor Beras?
Berbicara kepada wartawan di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Rabu (19/9/2018), Darmin menceritakan, harga beras mulai mengalami kenaikan sejak kuartai III 2017. Stok Bulog ketika itu hanya 978 ribu ton atau jauh dari jumlah ideal dua juta ton.
Namun, perdebatan menghangat dalam rapat karena ada klaim surplus produksi. Darmin pun menggelar rapat pada 15 Januari 2018. Waktu itu, stok berkurang menjadi 903 ribu ton.
Itu artinya, dalam 10 hari, stok beras berkurang 75 ribu ton. Mengapa demikian? Sebab, pemerintah harus menggelar operasi pasar untuk menekan kenaikan harga.
"Harga waktu itu adalah Rp 11.300/kg. Jangan lupa ini medium loh, medium itu harganya Rp 9.450. Jadi sudah ada jauh di atas sementara masih 15 Januari. Artinya panen masih Maret. Panen raya biasanya Maret, bisa-bisa April," kata Darmin.
Menurut dia, ada yang pihak yang mengklaim produksi beras selama tiga bulan mencapai 17,7 juta ton. Jumlah itu banyak, namun stok Bulog hanya 903 ribu ton.
Oleh karena itu, pemerintah memutuskan mengimpor 500 ribu ton beras.
"Karena apa? Kalau makin turun digoreng sama pedagang, kita enggak akan kuat. Jangan mengira 903 ribu ton itu banyak. Konsumsi kita sebulan itu 2,3-2,4 juta ton. Artinya 903 ribu ton itu lebih sedikit dari 10 hari," ujar Darmin.
Pemerintah kemudian kembali menggelar rapat pada 19 Maret 2018. Saat itu, stok Bulog tinggal 590 ribu ton. Stok tidak bertambah karena impor 500 ribu ton pada Januari tidak masuk.
Alasannya, negara eksportir juga melakukan panen pada Maret. Persiapan ekspor pun membutuhkan waktu lama. Bulog memiliki standar tersendiri.
Kemudian, lanjut Darmin, pada 28 Maret, pemerintah kembali menggelar rapat. Waktu panen raya sudah hampir berakhir. Stok Bulog sedikit meningkat menjadi 649 ribu ton.
"Tapi tidak ada apa-apanya. Panen raya sudah mau habis, siapa yang percaya ini akan beres-beres aja, baik-baik saja ke depan?," ujarnya.
Oleh karena itu, pemerintah memutuskan mengimpor 1 juta ton lagi. Harga beras medium pun turun menjadi Rp 11.036/kg. Kemudian pada rapat terbaru pekan ketiga Agustus lalu, stok Bulog 2,2 juta ton. Namun, menurut Darmin, jumlah itu sudah termasuk impor meski belum semuanya masuk.
"Tapi sudah bulan Agustus, kita anggap 2,2 juta ton masih akan ada nambah sedikit pengadaan dalam negeri dan katanya sekarang bisa mendekati 2,4 juta, berarti naik sedikit bisa 3 juta, maka kita tidak tambah lagi," kata Darmin.
Oleh karena itu, dia mengaku heran apabila impor dihubungkan dengan kapasitas gudang yang penuh. Menurut Darmin, gudang penuh lantaran ada impor.
"Kalau enggak ada impornya, isinya 800 ribu ton. Ngerti gak? Menurut saya, Ini gak perlu digaduh ini. Gudang penuh karena impor. Kalau tidak impor waktu itu, repot kita. Jadi itu sudah dengan pertimbangan matang, walaupun kementerian terkait bilang oh 3 bulan produksinya 13,7 juta ton. Kalau 13,7 juta ton ya beli dong. Kita minta hanya 2,2 juta ton," katanya.
Masalah data
Dalam kesempatan itu, Darmin juga menyinggung soal data beras yang berbeda. Pegangan pemerintah hanya dua, yaitu Kementerian Pertanian dan BPS. BPS, menurut dia, sudah mengeluarkan angka perkiran yang sudah disempurnakan. Akan tetapi belum ada diumumkan.
"Saya sudah tahu angkanya, tapi kita bisa gak bikin data? yang punya instrumen untuk itu adalah Kementerian Pertanian. Kita biikin, tapi dengan satelit. Tapi tetep bisa dibilang beliau-beliau itu ini yang benar," ujarnya.
Saat ditanya, apakah data Kementan selalu meleset, Darmin menjawab tegas. "Setiap tahun!".
Ia mengaku sudah meminta agar Kementan membenarkan data beras. Namun, datanya tidak berubah. Apa kendala Kementan? Darmin mengatakan, "Tanya mereka, jangan tanya saya. Segala macam sudah diomongin ya sudahlah," katanya.
(miq/gus) Next Article Ribuan Hektar Sawah Terendam Banjir, Buwas Akan Impor Beras?
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular