Kembali panasnya batu bara pada tahun ini juga mengukuhkan posisi bahan bakar fosil dalam pasokan energi global.
Batu bara kembali dicari pada tahun ini dengan alasan dan faktor yang berbeda. Berikut sejumlah faktor yang membuat harga batu bara melejit pada tahun ini:
1. Indonesia melarang ekspor batu bara
Pada 1 Januari 2022, Indonesia sudah membuat pasar komoditas panik dengan kebijakan larangan ekspor batu bara. Larangan tersebut diumumkan secara mendadak sehingga membuat banyak negara protes, terutama Jepang dan Korea Selatan.
Larangan ekspor dilakukan karena menipisnya pasokan batu bara untuk PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Produsen batu bara banyak yang memilih untuk ekspor ke luar negeri daripada memasok ke PLN karena harga di pasar internasional sedang melambung.
Indonesia adalah negara eksportir terbesar untuk batu bara thermal sehingga kebijakan Indonesia berdampak besar kepada pasar komoditas dunia.
Harga batu bara langsung melejit dari kisaran US$ 150 pada akhir 2021 menjadi US$ 170 bahkan US$ 200 per ton begitu larangan ekspor keluar.
Larangan ekspor dicabut akhirnya dicabut pada 1 Februari 2022.
Kebijakan larangan tersebut memang hanya bertahan sebulan. Banyaknya prrotes dari negara importir, mulai membaiknya pasokan ke, serta tingginya harga batu bara membuat Indonesia mau tidak mau membuka kran ekspor batu bara.
2. Perang Rusia-Ukraina dan banjir Australia
Perang Rusia-Ukraina yang meletus pada 24 Februari 2022 tidak hanya melambungkan harga batu bara tetapi juga mengubah peta perdagangan komoditas tersebut.
Rusia merupakan eksportir terbesar ketiga batu bara dunia setelah Indonesia dan Australia. Rusia juga memasok sumber energi lain dalam jumlah besar mulai dari minyak mentah hingga gas.
Perang pun membuat pelaku pasar khawatir akan pasokan energi, terutama pasir hitam.
Harga batu bara langsung terbang dari kisaran US$ 237 per ton pada 23 Februari menjadi US$ 300 bahkan mencetak rekor pada 2 Maret di posisi US$ 446.
Tak tanggung-tanggung, harga batu bara meloncat 21,45% sehari pada 1 Maret dan terbang 46% sehari pada 2 Maret.
Kekhawatiran pasokan batu bara semakin meningkat karena banjir bandang yang melanda Australia.
Australia merupakan eksportir terbesar untuk batu bara metalurgi dan terbesar kedua untuk batu bara thermal. Banjir bandang terburuk selama satu dekade terakhir pada Maret membuat produksi dan distribusi batu bara terganggu.
3. Krisis energi India hingga pengumuman larangan impor Eropa
Pada April dan Mei 2022, harga batu bara kembali melonjak dan menembus level US$ 400 per ton kembali setelah sempat melandai.
Pada awal April, Uni Eropa mengumumkan jika mereka akan melarang impor batu bara dari Rusia mulai 10 Agustus. Keputusan ini membuat pelaku pasar khawatir jika persaingan untuk mendapatkan pasokan dari non-Rusia meningkat.
Kondisi ini diperparah dengan krisis energi di India. Pada pertengahan Mei, India menghadapi krisis energi karena pasokan batu bara di pembangkit listrik India dalam kondisi kritis.
Menipisnya pasokan disebabkan lonjakan penggunaan listrik setelah gelombang panas melanda India. Di sejumlah negara bagian India, suhu meningkat menjadi 39-45 derajat Celcius yang mengakibatkan penggunaan listrik untuk pendingin ruangan melonjak.
India pun mewajibkan pembangkit listrik batu bara impor untuk impor secepatnya demi meningkatkan pasokan.
5. Pemangkasan pasokan gas Rusia
Setelah sempat melandai pada Juni, harga batu bara kembali terbang pada pertengahan Juli.
Harga batu bara kembali menembus US$ 400 per ton imbas dari keputusan Rusia memangkas pasokan gas melalui jaringan pipa Nord Stream 1.
Perusahaan gas Rusia, Gazprom, sebelumnya sudah memangkas kapasitas Nord Stream 1 menjadi 40% dengan alasan perawatan. Gazprom juga sempat menghentikan aliran gas melalui Nord Stream 1 selama 10 hari pada 11-21 Juli 2022 dengan alasan pemeliharaan.
Rusia memang sempat membuka jaringan tersebut tetapi kemudian menutup secara sepenuhnya. Mereka hanya akan membuka jaringan tersebut jika Eropa menghentikan sanksi ekonominya,
6. Kekeringan di China dan sanksi embargo Rusia
Harga batu bara kembali melesat pada pertengahan Agustus karena kekeringan di China. Uni Eropa juga mulai melarang impor batu bara dari Rusia sejak 10 Agustus.
Gelombang panas di China membuat suhu menembus hingga 37 derajat Celcius. Gelombang panas tidak hanya menimbulkan kekeringan tetapi juga melambungkan penggunaan listrik untuk pendingin ruangan.
Kekeringan juga membuat kapasitas pembangkit listrik tenaga air menurun drastis. Padahal, pembangkit tersebut menjadi sumber utama penopang energi bagi sektor pertanian dan beberapa industri.
Batu bara pun kemudian menjadi alternatif untuk pembangkit.
7.Rusia hentikan pasokan gas
Harga batu bara mencetak rekor pada 5 September di posisi US$ 463,75 per ton setelah Rusia menegaskan sikapnya jika mereka tidak akan memasok gas ke Eropa secara penuh jika sanksi kepada mereka belum dicabut.
Pernyataan Kremlin tersebut langsung melambungkan harga gas Eropa. Harga gas Eropa langsung melambung 30% sehari dan 400% setahun kemarin menjadi sekitar 272 euro per megawatt hour (MWh). Batu bara yang menjadi alternatif gas alam pun ikut terbang.
Batu bara sempat ditinggalkan banyak negara, terutama Eropa, karena dianggap sebagai salah satu penyumbang polutan tertinggi di dunia.
Namun, perang Rusia-Ukraina mengubah segalanya. Negara-negara Eropa justru kini 'menyerah' dan beralih ke pembangkit listrik batu bara karena aksi Rusia yang memangkas pasokan gas ke Benua Biru.
Pada 2021, Uni Eropa menggantungkan pasokan 45% batu bara dan 45% gas dari Rusia. Uni Eropa mengimpor sekitar 45 juta ton batu bara dan 155 miliar kubik meter gas dari Negara Beruang Merah.
Besarnya ketergantungan energi pada Rusia ini yang membuat Eropa, terutama Uni Eropa, kalang kabut. Eropa harus mencari pemasok batu bara baru untuk mengganti kekosongan pasokan dari Rusia.
Keputusan Presiden Vladimir Putin untuk menghentikan pasokan gas ke Eropa juga membuat derita Benua Biru bertambah. Kebijakan Putin membuat harga gas melonjak sehingga Eropa pun mau tak mau mengganti sebagian pasokan gasnya ke batu bara.
Jerman, Inggris, Austria, Belanda, Belgia adalah beberapa negara yang kembali membangkitkan pembangkit listrik batu bara. Padahal, negara tersebut selama ini relatif "anti" terhadap batu bara dan memilih menggunakan gas atau sumber energi terbarukan lainnya.
Jerman bahkan menyebut kebijakan kembali ke batu bara sebagai "langkah yang menyakitkan tetapi harus dilakukan".
EIA memperkirakan Uni Eropa bakal mengimpor batu bara sebanyak 176 juta ton pada tahun ini, naik 14,2% dibandingkan pada 2021 dan 28% dibandingkan 2020.
Sekitar 121 juta ton atau 69% impor batu bara Eropa adalah batu bara thermal yang biasa digunakan untuk pembangkit listrik.
Jerman diperkirakan mengimpor batu bara sebanyak 38 juta ton pada tahun ini, terbesar di antara negara Eropa. Sepertiga kapasitas listrik Jerman kini juga disokong oleh pembangkit batu bara.
Bila negara Eropa dibuat menderita oleh lonjakan harga batu bara, cerita sebaliknya dialami Indonesia. EIA memperkirakan produksi batu bara Indonesia akan menjadi raja eksportir tahun ini.
China memang masih akan menempati posisi pertama dalam hal produksi yakni 4,24 miliar ton disusul dengan India dengan 893 juta ton. Indonesia berada di urutan ketiga dengan produksi 622 ton.
Namun, Indonesia akan menjadi eksportir terbesar karena konsumsi dalam negeri tidak sebesar China dan India.
Indonesia diperkirakan akan mengekspor batu bara sebanyak dengan total ekspor menembus 473 juta ton. Di bawa Indonesia ada Australia dengan perkiraan volume ekspor mencapai 350 juta ton.
Perkiraan EIA lebih rendah dari proyeksi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Kementerian ESDM memperkirakan produksi batu bara akan mencapai 663 juta ton.
Hingga 6 Desember 2022 ini, produksi batu bara Indonesia sudah menembus 627,17 juta ton itu dengan ekspor menembus 268,1 juta ton.
Eropa menjadi salah satu lumbung ekspor baru. Sampai dengan Desember 2022, ekspor batu bara Indonesia ke Eropa diperkirakan akan mencapai 6,6 juta ton. Jumlah ini bahkan melebihi rekor ekspor ke Eropa tertinggi pada 2012 di mana sekitar 6,2 juta ton.
Lonjakan ekspor juga berperan besar dalam mendongkrak surplus neraca perdagangan.
Nilai ekspor bahan bakar mineral yang didominasi batu bara mencapai US$ 50,34 miliar pada Januari-November 2022. Nilai tersebut melonjak 70,2% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Dengan nilai sebesar itu, bahan bakar mineral menyumbang 19,9% dari total ekspor sepanjang tahun ini.
Lonjakan volume dan nilai ekspor batu bara juga ikut menopang pundi-pundi penerimaan negara melalui royalti hingga pajak penghasilan negara (PPh).
Berdasarkan data MODI, penerimaan negara dari sektor tambang, termasuk batu bara, sudah menembus Rp 173,51 triliun atau 170,4 dari target. Penerimaan tersebut juga jauh lebih besar dibandingkan pada 2021 yang tercatat Rp 114,6 triliun.
Dengan besarnya peran ekspor dan sumbangan penerimaan negara sektor batu bara bisa dimaklumi jika pemerintah pada Januari lalu hanya melarang ekspor hanya dalam periode singkat saja yakni satu bulan.
TIM RISET CNBC INDONESIA