Lagi dan Lagi, China dan Eropa Buat Harga Batu Bara Ambruk

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara ambruk pada awal pekan ini. Proyeksi pertumbuhan ekonomi China yang lebih rendah serta anjloknya permintaan membuat harga pasir hitam tertekan.
Pada perdagangan Senin (6/3/2023), harga batu bara kontrak April di pasar ICE Newcastle ditutup di posisi US$ 188,75 per ton. Harganya ambruk 3,40%. Harga tersebut adalah yang terendah sejak 20 Februari 2023 atau 10 perdagangan terakhir.
Pelemahan kemarin juga memperpanjang tren negatif harga batu bara yang melemah pada akhir pekan lalu. Dalam dua hari tersebut, harga batu bara ambruk 4,7%.
Secara keseluruhan, harga batu bara sudah ambruk 2,8% sepanjang Maret tahun ini.
Harga batu bara ambruk setelah pemerintah China mengumumkan target pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan ekspektasi pasar. Lemahnya permintaan dari Eropa juga membuat harga batu bara terus tertekan.
China dan Eropa terus berperan besar dalam menentukan harga batu bara sejak tahun lalu karena besarnya permintaan dari kedua kawasan. Namun, kedua kawasan tersebut juga kerap membuat harga batu bara tertekan jika ada sentimen negatif dari mereka.
Di antaranya adalah lesunya permintaan ataupun rendahnya penggunaan listrik.
Seperti diketahui, pemerintah Tiongkok memperkirakan pertumbuhan ekonomi mereka hanya akan nada di kisaran 5% pada tahun ini. Padahal, sejumlah analis dan lembaga memproyeksi ekonomi bisa tumbuh di atas 5% setelah hanya tumbuh 3% pada 2022.
Pelonggaran mobilitas serta pembukaan perbatasan internasional semula diyakini bisa mendongkrak ekonomi Beijing. Namun, China justru lebih pesimis dibandingkan pasar.
China merupakan konsumen terbesar batu bara di dunia sehingga pertumbuhan Negara Tirai Bambu akan sangat menentukan permintaan dan harga batu bara global.
Melemahnya permintaan global, terutama dari Eropa, juga membuat harga batu bara lesu.
S&P Global juga melaporkan ledakan tambang di wilayah China Inner Mongolia pada dua pekan lalu bisa menekan harga batu bara.
"Pembeli batu bara China akan menurunkan permintaan dan harga karena insiden (ledakan) pada akhir Februari membuat banyak pembeli ragu dan enggan untuk melakukan penawaran," tulis S&P dalam laporannya Market Movers Asia.
Pelaku pasar kini menunggu akan seketat apa pemerintah China setelah insiden ledakan dalam melakukan pengawasan tambang.