Review

Fakta-fakta Krisis Evergrande, 'Bom Waktu' yang Siap Meledak!

Feri Sandria, CNBC Indonesia
19 October 2021 06:50
CHINA EVERGRANDE-DEBT/RATINGS
Foto: REUTERS/DAVID KIRTON

Jakarta, CNBC Indonesia - Di tengah krisis energi yang sedang dihadapi, kondisi likuiditas bisnis di pasar properti yang masih belum stabil membuat pemerintah China harus berpikir lebih keras lagi untuk menyelamatkan perekonomian negara ekonomi terbesar kedua di dunia tersebut.

Pada Agustus lalu, dunia dihebohkan oleh fakta bahwa pengembang raksasa asal China, Evergrande, memiliki utang yang nyaris mencapai 2 triliun yuan (US$ 309 miliar) atau setara dengan Rp 4.418 triliun (kurs Rp 14.300/US$) yang tercatat dalam neraca keuangan perusahaan.

Sementara itu kas atau setara kas Evergrande hanya sepersepuluh dari jumlah tersebut, menyebabkan likuiditas perusahaan benar-benar seret dan tidak bisa melunasi pembayaran kepada investor atas surat utang yang diterbitkan.

Hingga saat ini perusahaan telah melewatkan tiga kali kewajiban pembayaran atas obligasi berdenominasi dolar kepada investor di luar China daratan, dengan total mencapai US$ 281 juta atau setara Rp 4 triliun terhadap surat utang luar negerinya.

Utang jatuh tempo ini memiliki masa tenggang (grace period) 30 hari untuk terlewatkan pembayaran pertama yang akan segera jatuh tempo pada akhir pekan ini.

Kondisi yang dirasakan Evergrande tidak eksklusif disebabkan oleh buruknya manajemen perusahaan, akan tetapi diperparah juga oleh sistem yang bobrok yang telah lama dianut demi mengejar profit dan dibiarkan oleh pemerintah negeri Xi Jinping untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi dari sektor tersebut.

Berikut sejumlah fakta krisis yang dialami Evergrande dan dampak turunannya, dirangkum Tim Riset CNBC Indonesia.

Aturan baru dan nasib sama pengembang lain

Buruknya sistem yang telah sekian lama telah menjadi pakem bisnis yang dijalankan, di mana perusahaan memanfaatkan utang sebesar-besarnya sebagai modal kerja usaha menyebabkan pemerintah China menerapkan aturan baru yang disebut 'three red lines.'

Secara umum aturan ini dibuat untuk menekan pertumbuhan utang perusahaan dengan mengatur batasan tiga rasio kredit utama untuk menjaga likuiditas perusahaan tetap di zona yang aman.

Aturan yang relatif baru diperkenalkan tersebut ternyata tidak mampu menyelamatkan perusahaan-perusahaan pengembang lain yang satu persatu mulai merasakan efek domino dari gagal bayar yang dialami Evergrande.

Investor domestik dan internasional tidak lagi hanya menghindari obligasi Evergrande yang hancur lebur, melainkan surat utang yang dikeluarkan oleh pengembang lain juga ikut merosot. Sementara itu bank-bank dengan eksposur ke sektor properti China saat ini berada di bawah pengawasan.

Pengembang properti kelas menengah Fantasia Holdings melewatkan pembayaran obligasi senilai US$ 205,7 juta, ditambah dengan unit bisnis perusahaan yang secara terpisah juga gagal membayar pinjaman sebesar US$ 108 juta.

Sedangkan pengembang properti lain seperti Modern Land dan Sinic Holdings mencoba untuk menunda tenggat waktu pembayaran.

Dilansir Nikkei Asia, pengembang Sinic Holdings yang berbasis di Shanghai mengatakan pada Senin (11/10) malam, bahwa kemungkinan mereka tidak sanggup untuk membayar pokok atau bunga yang jatuh tempo pada Senin (18/10) kemarin untuk obligasi US$ 250 juta atau setara Rp 3,58 triliun, membuat kemungkinan gagal bayar semakin nyata.

Hingga Senin tadi mala, belum ada kabar dari pengembang properti itu, CNBC International telah menghubungi perusahaan tersebut.

Pada hari yang sama, Modern Land (China) meminta investor untuk perpanjangan 3 bulan pada obligasi US$ 250 juta yang akan jatuh tempo 25 Oktober.

Xinyuan Real Estate, perusahaan properti lainnya mengharapkan 90% dari pemegang obligasi untuk menerima tawaran penukaran obligasi dua tahun baru menggantikan obligasi US$ 229 juta yang jatuh tempo Jumat ini.

NEXT: Simak Fakta Lainnya

Jumlah Obligasi Jatuh Tempo

Data Refinitiv menunjukkan setidaknya terdapat senilai US$ 92,3 miliar atau setara Rp 1.319 triliun obligasi pengembang properti China yang akan jatuh tempo tahun depan.

Analis Kredit Korporat Emerging Market di Seaport Global, Himanshu Porwal mengatakan tanggal dan pembayaran utama yang harus diperhatikan tahun ini adalah:

15 Oktober - Shimao (0813.HK) $820 juta

15 Oktober - Xinyuan (XIN.N) $229 juta

18 Oktober - Sinic (2103.HK) $244 juta

27 Oktober - Seazen Holdings (601155.SS) $100 juta

8 November - Real Estat China Tengah (0832.HK) $400 juta

18 November - Agile (3383.HK) $200 juta

18 November - Zhenro (6158.HK) $200 juta

3 Desember - Ronshine China (3301.HK) $150 juta

7 Desember - Kaisa (1638.HK) $400 juta

17 Desember - Fantasia (1777.HK) $249 juta

Sektor properti China yang bernilai US$ 5 triliun, menyumbang sekitar seperempat dari total ekonomi China sering menjadi faktor utama dalam pembuatan kebijakan Beijing.

"Kami melihat (akan ada) lebih banyak default ke depan jika masalah likuiditas tidak membaik secara nyata," kata pialang CGS-CIMB dalam sebuah catatan dikutip Reuters, menambahkan pengembang dengan peringkat kredit yang lebih lemah akan merasa sangat sulit untuk membiayai kembali utang saat ini.

Apakah Evergrande Too Big Too Fail?

Evergrande merupakan salah satu dari tiga pengembang terbesar di China, dengan jejak yang cukup signifikan.

Liabilitas perusahaan setara dengan sekitar 2% dari PDB China dengan lebih dari 200.000 karyawan yang mana mereka beserta anggota keluarga lain telah menginvestasikan miliaran yuan pada WMP (wealth management programme, produk manajemen kekayaan Evergrande).

Perusahaan memiliki lebih dari 800 proyek yang sedang dibangun, lebih dari setengahnya dihentikan karena kas yang tidak mencukupi. Ada ribuan perusahaan dari hulu ke hilir yang mengandalkan Evergrande untuk bisnis, menciptakan lebih dari 3,8 juta pekerjaan setiap tahun.

Krisis Evergrande telah memicu spekulasi apakah pemerintah akan turun tangan untuk menyelamatkan.

Beberapa perusahaan milik negara, termasuk Shenzhen Talents Housing Group Co. Ltd. dan Shenzhen Investment Ltd, yang dikendalikan oleh Komisi Pengawasan dan Administrasi Aset Shenzhen (SASAC), sedang dalam pembicaraan dengan Evergrande mengenai proyek-proyeknya di Shenzhen, menurut orang-orang yang dekat dengan masalah tersebut, dikutip Reuters. Tapi sejauh ini, belum ada kesepakatan yang tercapai.

Perusahaan juga sudah mempekerjakan penasihat keuangan untuk mengeksplorasi "semua solusi yang layak" untuk meredakan krisis ini, tapi seperti jalan keluar terbaik masih belum terlihat.

NEXT: Dampak Terhadap Ekonomi

Properti menjadi aset yang kian spekulatif

Ekonomis yang juga profesor Harvard Kenneth S. Rogoff  dalam risetnya 'PEAK CHINA HOUSING' bersama Yuanchen Yang Ekonom di IMF menilai banyaknya properti bernilai tinggi di China menyebabkan rasio harga rumah terhadap pendapatan di tiga kota besar China - Beijing, Shanghai dan Shenzhen - jauh lebih tinggi daripada di kota-kota besar lainnya di seluruh dunia.

Kekayaan dari perumahan menyumbang 78 persen dari semua aset China pada tahun 2017, dibandingkan dengan 35 persen di AS. Selain itu tingkat hunian rendah serta kepemilikan rumah telah cukup memadai menjadikan properti menjadi aset yang kian spekulatif.

Ditambah lagi pertumbuhan populasi yang rendah, di mana populasi China kian menua dan 60 persennya sudah tinggal di perkotaan, memberikan sinyal bahwa booming properti harus segera berakhir.

Lanskap pembelian properti China (sumber: FT)Foto: Lanskap pembelian properti China (sumber: FT)
Lanskap pembelian properti China (sumber: FT)

Runtuhnya investasi di sektor properti merupakan ancaman yang sangat mungkin terjadi dan akan berdampak sangat negatif terhadap keuangan pemerintah daerah.

Rogoff dan Yang berpendapat bahwa "penurunan 20 persen dalam aktivitas real estat dapat menyebabkan penurunan 5-10 persen dalam PDB, bahkan tanpa amplifikasi dari krisis perbankan, atau memperhitungkan pentingnya real estat sebagai jaminan."

Dampak terhadap pemerintah provinsi dan daerah

Booming sektor properti menyebabkan penjualan tanah melonjak ke rekor 8,4 triliun yuan (US$ 1,3 triliun) atau setara dengan Rp 18.590 triliun (kurs Rp 14.300/US$) pada tahun 2020. Angka tersebut setara dengan produk domestik bruto (PDB) tahunan Australia yang berhasil memperkuat anggaran fiskal di tahun pandemi.

Namun peraturan yang lebih ketat terkait pinjaman yang boleh dilakukan oleh pengembang swasta sejak tengah tahun lalu semakin mengikis permintaan tanah.

Nilai penjualan tanah secara nasional tiba-tiba turun 17,5% pada Agustus, menurut perhitungan Reuters dari data kementerian keuangan, penurunan terbesar sejak Februari 2020.

Penurunan lebih lanjut dapat memaksa pemerintah daerah, yang bergantung pada penjualan tanah - dengan kontribusi rata-rata mencapai seperlima dari pendapatan - untuk memotong pengeluaran dan investasi. Banyak ekonom telah menurunkan perkiraan pertumbuhan PDB China 2021, karena pasar properti yang semakin lesu dan risiko yang ditularkan oleh raksasa properti China Evergrande.

Untuk meningkatkan pendapatan, beberapa pemerintah daerah mungkin akan mengambil langkah untuk menerbitkan lebih banyak obligasi, menjadikan kewajiban utang naik. Pemerintah daerah bahkan mungkin saja akan mempercepat rencana untuk pajak properti yang kontroversial, kata para analis.

"Secara umum, proporsi pendapatan penjualan tanah untuk pemerintah daerah di China cukup besar, di atas 20%, jadi jika penjualan tanah menurun, atau pertumbuhannya melambat, pengeluaran pemerintah daerah akan mengalami tekanan tertentu," kata Betty Wang. , ekonom senior China di ANZ di Hong Kong.

Sebaliknya untuk lebih mengontrol harga tanah di lokasi paling mahal di China, yang pada akhirnya akan mengontrol harga rumah hunian, pihak berwenang (pemerintah China dan Partai Komunis) mengatakan pada Februari bahwa 22 kota terbesar di China hanya dapat melakukan tiga putaran lelang tanah tahun ini.

Pihak berwenang juga sejak itu membatasi tawaran tertinggi untuk menahan harga, sebagai bagian dari tindakan keras besar-besaran di seluruh sektor ketika Presiden Xi Jinping berusaha untuk memperbaiki ekses dan ketidakseimbangan dalam ekonomi dan masyarakat China.

Akan tetapi sejak putaran pertama lelang pada Maret-Juni berhasil dilaksanakan, permintaan telah turun karena pengembang yang kekurangan uang memilih untuk menjauh.

Dalam putaran lelang yang sedang berlangsung pada bulan Juni-Oktober, berdasarkan analisis Reuters sekitar 40% dari area yang ditawarkan ditarik kembali atau tidak ada penawar pada 30 September. Jauh lebih besar dibandingkan dengan 5% dari penawaran yang tidak laku di putaran pertama.

NEXT: Apakah Presiden Xi akan Turun Tangan?

Evergrande yang kian tertekan dan ditambah dengan perusahaan pengembang lain yang relatif lebih kecil ikut melewatkan pembayaran telah memicu kekhawatiran penularan krisis di seluruh sistem keuangan China yang bernilai US$ 50 triliun dalam beberapa pekan terakhir.

Komisi Pusat untuk Inspeksi Disiplin mengatakan pada hari Senin bahwa mereka dan lembaga lainnya akan meluncurkan pemeriksaan anti-korupsi selama dua bulan terhadap regulator keuangan negara, bank, perusahaan asuransi, dan manajer kredit macet.

S&P Global Ratings bulan lalu memperkirakan bahwa pengembang yang mendapat rating dari mereka akan menebus US$ 74,46 miliar dalam obligasi domestik dan luar negeri di tahun depan, dengan jatuh tempo besar pertama akan datang pada bulan Januari, sekitar US$ 6,2 miliar obligasi luar negeri akan dibayarkan kembali menurut data pialang CGS-CIMB.

Indikator pasar juga menunjukkan bagaimana penularan perlahan menyebar ke pasar high yield lainnya di negara berkembang.

Peter Kisler manajer di Trium Capital fund menyoroti bagaimana sebagian besar perusahaan pasar berkembang (emerging market) yang imbal hasilnya sudah sekitar 10% telah terpukul.

Biaya asuransi terhadap default negara China juga terus meningkat pada hari Selasa, dengan swap default kredit 5 tahun - yang biasanya digunakan investor sebagai lindung nilai terhadap peningkatan risiko - mencapai level tertinggi sejak April 2020.

Saham beberapa perusahaan properti lainnya memiliki nasib yang lebih baik karena pasar bertaruh pada lebih banyak pelonggaran kebijakan menyusul langkah-langkah yang diambil kota Harbin di timur laut China untuk mendukung pengembang dan proyek mereka.

Kekhawatiran akan krisis yang dapat menjalar ke berbagai sektor tidak akan berakhir sebelum pemerintah China secara langsung turun tangan menyelesaikan permasalahan ini, yang menurut banyak analis China sangat mampu untuk mengendalikan kondisi saat ini, jika mereka mau.

Dalam wawancara dengan Bloomberg TV, CEO Standard Chartered Bill Winter mengatakan pemerintah China tidak akan membiarkan turbulensi pengembang properti berubah menjadi krisis sistemik.

Bill Winter juga menyebutkan penyedia layanan perbankan yang memiliki fokus besar di Asia tersebut tidak memiliki "kekhawatiran eksposur ke sektor properti."

"(terkait) gagasan bahwa ini adalah momen Lehman bagi China: Saya tidak berpikir China sebodoh itu," katanya.

Akan tetapi hingga saat ini pemerintah China belum memberikan bukti konkret upaya penyelamatan perusahaan properti dengan utang terbesar di dunia.

Sebaliknya Beijing belum mau masuk karena berharap perjuangan Evergrande akan menunjukkan kepada perusahaan China lainnya bahwa mereka perlu disiplin dalam keuangan mereka, kata orang-orang yang mengetahui pertimbangannya yang tidak ingin namanya disebutkan, dilansir The New York Times.

Meski demikian China dikatakan memiliki serangkaian alat keuangan yang diyakini cukup kuat untuk membendung kepanikan keuangan jika keadaan memburuk.

Pemerintah "masih akan memberikan jaminan" untuk sebagian besar kegiatan Evergrande, kata Zhu Ning, wakil dekan Shanghai Advanced Institute of Finance, "tetapi para investor harus berkeringat (bersusah payah)."

Pihak berwenang memiliki cara lain untuk memadamkan kegelisahan publik tentang Evergrande.

Selama berbulan-bulan, pemerintah daerah telah mengeluarkan arahan yang mendesak pejabat dan perusahaan Partai Komunis untuk mewaspadai protes yang sedang berkembang terkait dengan pengembang properti China yang bermasalah.

Beberapa pemberitahuan memperingatkan pejabat untuk memantau pembeli rumah yang dirugikan, kontraktor yang tidak dibayar, dan bahkan agen real estat yang diberhentikan.

Dunia keuangan saat ini fokus menyaksikan perjuangan China Evergrande Group, perusahaan pengembang lain serta pasar properti China secara luas, sembari menanti kebijakan baru yang akan diambil Presiden Xi dan Partai Komunis.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(fsd/fsd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Gagal Bayar, Siapa Taipan China Penyokong Fantasia & Sinic?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular