Analisis

Geger Raksasa Properti China Mau Bangkrut, Ini Biang Keroknya

Ferry Sandria, CNBC Indonesia
08 October 2021 09:20
Fantasia Holdings (Dok. Weibo)
Foto: Fantasia Holdings (Dok. Weibo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah bertahun-tahun mengalami 'keajaiban' dalam pertumbuhan ekonomi - yang selama dua dekade dari tahun 1990 hingga 2009 tumbuh 10% secara rata-rata - China saat ini sedang mengalami kesulitan.

Tekanan itu mulai dari perang melawan perusahaan teknologi dan aset kripto hingga terbaru dan paling mencolok dengan pengaruh yang cukup signifikan terhadap ekonomi secara keseluruhan yakni pasar properti Tiongkok yang tengah dilanda krisis.

Masalah China Evergrande, salah satu pengembang terbesar di negara itu, telah memusatkan perhatian dunia pada pasar perumahan China.

Perlambatan penjualan real-estate di China tampaknya menempatkan Evergrande di ambang kebangkrutan. Tanpa arus kas sebanyak tahun-tahun sebelumnya, perusahaan mungkin tidak dapat memenuhi beragam pembayaran besar yang kembali akan jatuh tempo.

Sejauh ini, - meskipun Bank Sentral China (PBOC) telah menyuntikkan 120 miliar yuan (US$ 18,6 miliar) atau Rp 264 triliun ke sistem perbankan menyusul krisis properti - pemerintah China belum memberikan tanda-tanda akan turun tangan secara langsung untuk menyelamatkan perusahaan tersebut.

Kombinasi antara investasi tidak produktif bernilai tinggi dengan utang yang melonjak ini terkait erat dengan ukuran dan pertumbuhan pesat sektor properti.

Ekonom dari Universitas Harvard Kenneth Rogoff dalam penelitiannya berpendapat bahwa sektor properti China menyumbang 29% dari PDB pada tahun 2016. Nilai ini cukup tinggi, yang mana di antara negara-negara berpenghasilan tinggi, hanya Spanyol pra-2009 yang mampu menyamai.

Ketergantungan ekonomi pada permintaan dari investasi di real estate merupakan salah satu ancaman yang mampu memperlambat pertumbuhan ekonomi China.

Sejumlah indikator kuat menunjukkan bahwa investasi properti China saat ini didorong oleh harga yang tidak berkelanjutan serta leverage (penggunaan utang usaha) yang berlebihan yang menyebabkan output berlebih di pasar.

NEXT: Properti Jadi Aset Spekulatif?

Dilansir The New York Times, banyaknya properti bernilai tinggi ini menyebabkan rasio harga rumah terhadap pendapatan di tiga kota besar China - Beijing, Shanghai dan Shenzhen - jauh lebih tinggi daripada di kota-kota besar lainnya di seluruh dunia.

Rasio harga properti dan pendapatan di beberapa kota besar dunia (sumber: The New York times)Foto: Rasio harga properti dan pendapatan di beberapa kota besar dunia (sumber: The New York times)
Rasio harga properti dan pendapatan di beberapa kota besar dunia (sumber: The New York times)

Kekayaan dari perumahan menyumbang 78% dari semua aset China pada tahun 2017, dibandingkan dengan 35% di AS.

Selain itu tingkat hunian rendah serta kepemilikan rumah telah cukup memadai menjadikan properti menjadi aset yang kian spekulatif.

Ditambah lagi pertumbuhan populasi yang rendah, di mana populasi China kian menua dan 60% sudah tinggal di perkotaan, memberikan sinyal bahwa booming properti harus segera berakhir.

Lanskap pembelian properti China (sumber: FT)Foto: Lanskap pembelian properti China (sumber: FT)
Lanskap pembelian properti China (sumber: FT)

Runtuhnya investasi di sektor properti merupakan ancaman yang sangat mungkin terjadi dan akan berdampak sangat negatif terhadap keuangan pemerintah daerah.

Ekonom dari Universitas Harvard Kenneth Rogoff dan ekonom IMF Yuangchen Yang, berpendapat dalam penelitian bersama mereka, bahwa "penurunan 20% dalam aktivitas real estate dapat menyebabkan penurunan 5-10% dalam PDB.

"Bahkan tanpa amplifikasi dari krisis perbankan, atau memperhitungkan pentingnya real estat sebagai jaminan," tulis keduanya dalam riset bertajuk 'Peak China Housing' dikutip dari situs resmi Harvard.

Investasi sektor properti perlu diperlambat?

Investasi adalah salah satu kontributor besar terhadap pertumbuhan permintaan China. Jika investasi di properti turun tajam, berarti perlu ada sektor lain untuk menutupi.

Meskipun berat, opsi tersebut pada akhirnya lebih menguntungkan karena bagaimanapun, membangun properti yang tidak dibutuhkan adalah pemborosan sumber daya.

Memperlambat laju investasi properti baru-baru ini juga akan menjadi konsekuensi 'alamiah' dari penetapan aturan 'tiga garis merah' yang diberlakukan oleh negara kepada para pengembang properti yang mengatur batasan rasio utang terhadap aset perusahaan, rasio utang terhadap ekuitas dan rasio kas terhadap utang jangka pendeknya.

Setiap krisis yang terjadi akan menciptakan peluang baru. Pemerintah Cina menyadari bahwa ledakan investasi besar di bidang properti telah melampaui batas yang wajar, sehingga perekonomian membutuhkan penggerak permintaan yang berbeda di mana model bisnis yang didasarkan pada investasi boros telah mencapai batas akhir dan harus diganti.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular