
Evergrande, Bangkitkan Hantu Default Sektor Properti China

Jakarta, CNBCÂ Indonesia -Â Kejatuhan sektor properti China belum menunjukan tanda-tanda untuk mereda karena masih banyak pengembang yang menghadapi ancaman gagal bayar termasuk ketidakpastian atas nasib utang Evergrande.
Saat ini perhatian pasar tertuju pada pengembang real estate China, Sinic Holdings yang pada pekan lalu mengumumkan mereka masih belum mampu untuk membayar obligasi luar negeri mereka senilai US$250 juta atau sekitar Rp 3,5 Triliun (Kurs Rp 14.107,50) yang jatuh tempo pada Senin ini (18 Oktober).
Pada Jumat lalu pengembang China Properties Group juga mengumumkan telah gagal membayar wesel senilai $226 juta atau sekitar Rp 3,19 Triliun yang jatuh tempo pada 15 Oktober. Fantasia Holdings juga gagal melakukan pembayaran obligasi mereka pada wal Oktober sebesar US$206 juta atau sekitar Rp 2,19 Triliun.
Atas hal ini pada pekan lalu, lembaga pemeringkat utang merilis penurunan peringkat untuk beberapa perusahaan real estate China.
Sebagai informasi pada minggu Evergrande secara resmi akan Default jika tidak mampu membayar bunga untuk obligasi luar negeri berdonominasi dolas AS mereka. Seperti diketahui pembayaran obligasi Evergrande jatuh tempo pada bulan September tetapi mash memiliki masa tenggang 30 hari. Evergrande-pun masih bungkam soal pembayarn kupon pada empat obligasi lainnya yang jatuh tempo dalam beberapa minggu terakhir.
Jumat lalu People's Bank of China mengatakan bahwa risiko yang ditimbulkan oleh Evergrande masih dapat dikendalikan dan bahkan sebagian besar bisnis real estat di negara itu stabil. People's Bank of China juga mengingatkan bahwa perusahaan properti yang telah menerbitkan obligasi di luar negeri harus memenuhi kewajiban pembayaran utang mereka.
Dilansir dari Reuters pada hari Minggu, Gubernur Bank Sentral China Yi Gang mengatakan pihaknya akan mencoba mencegah masalah Evergrande agar tidak menyebar ke perusahaan real estat lainnya. Gang juga mengaku bahwa ekonomi China masih berjalan dengan baik walaupun masih menghadapi risiko default dari beberapa perusahaan.
Banyaknya utang pengembang properti China telah mendorong pihak berwenang untuk mengeluarkan kebijakan " tiga garis merah" pada tahun lalu. Kebijakan itu membatasi utang sesuai dengan arus kas, aset dan tingkat modal perusahaan.
Permasalahan muncul setelah kebijakan ini di mulai. Evergrande beberapa melewatkan pembayaran pada bulan September. Akibatnya saham Evergrande telah ditangguhkan oleh bursa sejak 04 Oktober lalu dan lembaga pemeringkat telah menurunkan peringkat perusahaan real estat lainnya karena kekhawatiran tentang arus kas mereka.
Menurut data MarketAxess perdagangan obligasi real estat di China telah melonjak pada bulan Oktober sebesar US$1 miliar dibanding Agustus sebesar US$600 juta. Obligasi Evergrande 8,75% yang jatuh tempo pada tahun 2025 merupakan obligasi pasar berkembang tertinggi kedua yang paling banyak diperdagangkan di platformnya.
Penurunan Peringkat
Dikutip dari CNBC International ada babak baru penurunan peringkat beberapa perusahaan real estate asal Negeri Tirai Bambu
1. China Aoyuan
Pada Jumat malam S&P Global telah menurunkan peringkat China Aoyuan, salah satu pengembang besar di provinsi Guangdong China yang berfokus pada wilayah Greater Bay di negara itu. S&P Global mengatakan langkah perusahaan untuk mengurangi utang akan melambat selama tahun depan.
Ini juga menandai jatuh tempo obligasi Aoyuan yang cukup besar yang akan jatuh tempo pada tahun 2022, yang akan memberi tekanan lebih lanjut pada perusahaan properti.
Lebih lanjut S&P mengatakan penurunan visibilitas perusahaan pada pertumbuhan pendapatan dan tekanan margin yang berkelanjutan akan menghambat upaya deleveraging. Melemahnya pendapatan tunai juga menekan likuiditas Aoyuan karena menghadapi jatuh tempo yang cukup besar pada tahun 2022. S&P masih berharap perusahaan masih dapat menyelesaikan pembayaran dalam situasi yang lebih ketat.
2. Modern Land
Fitch juga menurunkan peringkat Modern Land pada hari Jumat setelah perusahaan menunda pembayaran obligasi luar negeri senilai US$250 juta atau sekitar Rp 3,5 Triliun selama tiga bulan.
3. Greenland Holding
S&P pada hari Kamis juga menurunkan peringkat Greenland Holding, salah satu pengembang real estat terbesar yang memiliki properti bergengsi di kota-kota seperti New York, London, dan Sydney.
Diinformasikan akses pendanaan perusahaan terganggu dan dikhawatirkan akan membatasi kemampuan perusahaan untuk mengatasi penurunan di industri properti. Bahkan Fitch memperkirakan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan uang akan melambat karena pelemahan harga obligasi yang berkepanjangan yang dapat menekan kepercayaan investor
Properti China Sedang Berjuang
Perusahaan Riset Capital Economics dalam lansirannya mengatakan penjualan rumah baru telah merosot dalam beberapa pekan terakhir bahkan sekarang 25% di bawah level 2019.
Ekonom Senior China Capital Economics Julian Evans-Pritchard mengatakan bencana Evergrande mungkin telah membuat pembeli rumah khawatir tentang apakah pengembang akan menghormati komitmen pra-penjualan. Julian menambahkan pembelian tanah oleh pengembang juga ditahan karena perusahaan sedang mengatasi penjualan yang melambat dan kendala pada pembiayaan mereka yang berdampak pada proyek perumahan baru dalam beberapa bulan mendatang.
Ke depan Julian berharap lebih banyak pelonggaran kebijakan di sektor properti, karena pihak berwenang berupaya meningkatkan permintaan perumahan. Ini mungkin termasuk pemotongan persyaratan uang muka minimum untuk pembeli rumah pertama kali, dan penurunan suku bunga untuk menekan biaya hipotek.
(hps/hps)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article China Evergrande Minta Hentikan Perdagangan Saham, Ada Apa?