Newsletter

Covid-19 Gawat! Kesehatan Darurat, Ekonomi Megap-megap...

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
07 July 2021 05:59
Rupiah
Ilustrasi Rupiah (REUTERS/Thomas White)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia ditutup menguat pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), nilai tukar rupiah, dan harga obligasi pemerintah finis d jalur hijau.

Kemarin, IHSG ditutup di 6.047,11. Menguat 0,69% dibandingkan posisi penutupan hari sebelumnya.

Perdagangan melibatkan 19,96 miliar unit saham yang ditransaksikan 1,26 juta kali dengan nilai total Rp 12,44 triliun. Investor asing membukukan beli bersih Rp 63,43 miliar di pasar reguler.

Sementara bursa saham Asia ditutup variatif. Penguatan 0,69% membuat IHSG menjadi yang terbaik ketiga di Asia, hanya kalah dari Straits Times (Singapura) dan SET (Thailand).

Berikut posisi indeks saham utama Asia pada perdagangan kemarin:

Sementara harga obligasi pemerintah berbagai tenor mayoritas naik. Ini dicerminkan oleh penurunan imbal hasil (yield).

Harga dan yield obligasi punya hubungan berbanding terbalik. Yield yang turun menandakan harga obligasi sedang naik karena tingginya permintaan.

Kemarin, pemerintah melelang tujuh seri Surat Berharga Negara (SBN) di pasar primer. Penawaran yang masuk cukup besar, mencapai Rp 83,4 triliun. Dari jumlah tersebut, pemerintah menyerap Rp 34 triliun dan tidak perlu menggelar lelang tambahan (Green Shoe Options). Tingginya minat dalam lelang SBN sukses menaikkan harga dan menurunkan yield.

Berikut posisi yield SBN berbagai tenor pada penutupan perdagangan kemarin:

Arus modal masuk (capital inflow) di pasar saham dan SBN itu sukses membuat rupiah terapresiasi. Di hadapan dolar Amerika Serikat (AS), mata uang Tanah Air menguat tipis 0,08%. Dolar AS berhasil ditahan di bawah Rp 14.500, tepatnya Rp 14.465.

Halaman Selanjutnya --> Usai Libur Independence Day, Wall Street Kena Profit Taking

Beralih ke bursa saham AS, pasar kembali dibuka setelah sebelumnya libur memperingati Hari Kemerdekaan. Sayangnya, hari pertama perdagangan di Wall Street malah diwarnai warna merah.

Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) dan S&P 500 ditutup melemah masing-masing 0,6% dan 0,2%. Namun Nasdaq Composite masih mampu menguat 0,2% dan menyentuh titik tertinggi sepanjang sejarah.

Sepertinya investor melakukan aksi ambil untung (profit taking) karena bursa saham New York memang sudah menguat lumayam tajam. Sejak awal tahun (year-to-date/ytd), indeks S&P 500 melonjak 15,64% secara point-to-point.

Saham-saham perbankan jadi yang banyak dijual. Harga saham Wells Fargo anjlok 3,51%, Morgan Stanley terkoreksi 1,98%, Goldman Sachs ambles 1,15%, dan Bank of America terpangkas 2,62%.

"Pasar saham mengakhiri kuartal II-2021 dengan baik. Wajar kalau kemudian terjadi tekanan jual," ujar Alan Lancz, Presiden Alan B. Lancz & Associates yang berbasis di Ohio, seperti dikutip dari Reuters.

Selain itu, harga saham emiten asal China yang berguguran ikut membebani Wall Street. Harga saham Didi Global ambrol 19,57%, Alibaba Group berkurang 2,82%, dan JD.com minus 5,04%.

Pemerintah China memutuskan untuk menghapus aplikasi Didi setelah perusahaan tersebut melantai di bursa saham New York. Padahal Didi belum lama melakukan penawaran saham perdana (Initial Public Offering) yang berhasil meraup dana US$ 4,4 miliar.

Pengguna lama masih bisa mengakses Didi, tetapi tidak buat yang baru mau memasang di ponsel mereka. Sebab Badan Siber China memerintahkan berbagai mobile app store untuk menghapus Didi dari daftar.

"Beberapa pemberitaan menyebut Didi sudah tahu beberapa bulan sebelumnya bahwa ini akan terjadi. So, investor pun mulai meragukan pengelolaan perusahaan mereka," tegas Sumeet Singh, Direktur Aequitas Research, seperti dikutip dari Reuters.

Halaman Selanjutnya --> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini (1)

Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu perkembangan di Wall Street yang kurang menggembirakan. Merahnya Wall Street bisa mempengaruhi mental investor di pasar keuangan Asia, termasuk Indonesia.

Sentimen kedua adalah terkait perkembangan nilai tukar dolar AS. Investor patut waspada karena dolar AS yang sempat lesu kini mulai bangkit. Pada pukul 02:51 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,35%.

Pelaku pasar tengah menantikan notula rapat atau minutes of meeting bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) edisi Juni 2021. Dalam rapat tersebut, Ketua Jerome 'Jay' Powell dan sejawat memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan di 0-0,25% dan pembelian aset (quantitative easing) sebesar US$ 120 miliar per bulan.

Namun dalam rapat tersebut, terlihat bahwa nada (tone) Powell dan rekan sudah mulai menunjukkan sikap ketat atau hawkish. Powell sudah berani bicara soal kenaikan suku bunga acuan, meski ada syaratnya yaitu inflasi yang stabil di atas target 2% dan penciptaan lapangan kerja yang maksimal (maximum unemployment).

"Ketika itu terjadi, di mana sudah tercipta kondisi siap lepas landas, maka akan menjadi sinyal bahwa pemulihan sudah kuat dan tidak lagi membutuhkan suku bunga mendekati 0%," ungkap Powell dalam konferensi pers usai rapat bulan lalu.

Nah, sekarang pasar ingin mencari tahu lebih dalam mengenai 'suasana kebatinan' dalam rapat tersebut. Apakah semakin banyak suara yang menginginkan pengetatan (tapering off)? Sejauh mana kemungkinan The Fed bakal segera mengurangi dosis quantitative easing dan kemudian menaikkan Federal Funds Rate?

Sepertinya pasar semakin berani bertaruh bahwa tone dalam notula rapat kali ini lebih hawkish. Oleh karena itu, dolar AS mendapat angin segar.

Saat quantitative easing berkurang (apalagi ketika disetop total), maka pasokan dolar AS bakal berkurang. Seperti barang, pasokan yang tidak lagi melimpah sementara permintaan terus bertambah akan menaikkan harga. Dalam hal ini, bilai tukar dolar AS bakal semakin kuat karena menjadi buruan.

Kemudian kalau suku bunga acuan naik, maka imbalan investasi di aset-aset berbasis dolar AS (terutama instrumen berpendapata tetap seperti obligasi) akan ikut terungkit. Ini membuat arus modal semakin berkerumun di dekat mata uang Negeri Adikuasa sehingga nilai tukarnya semakin kuat.

Oleh karena itu, rupiah wajib waspada. Andai penguatan dolar AS terus terjadi sepanjang hari ini, maka risiko pelemahan rupiah menjadi sangat nyata.

Sentimen ketiga adalah perkembanga di pasar komoditas, utamanya minyak. Pada pukul 03:06 WIB, harga minyak jenis brent berada di US$ 74,53/barel, anjlok 3,41%. Sementara yang jenis light sweet harganya US$ 73,73/barel, turun 1,9%.

Harga si emas hitam jadi tidak menentu setelah pertemuan OPEC+ tidak membuahkan hasil, alias deadlock. Uni Emirat Arab ngotot tidak mau memperpanjang masa pemangkasan produksi sampai akhir 2022.

Dalam keterangan tertulis, Sekretaris Jenderal OPEC Mohammad Barkindo menegaskan rapat telah dibatalkan. Barkindo tidak menyebut kapan pertemuan selanjutnya akan berlangsung.

"Investor khawatir bahwa Uni Emirat Arab akan mbalelo dan mulai melempar minyak mereka ke pasar. Kalau ini terjadi, maka bukan tidak mungkin akan diikuti oleh negara anggota OPEC+ lainnya. Pasokan meningkat, harga jadi turun," tutur Bob Yawger, Direktur Mizuho, seperti diberitakan Reuters.

Ketidakstabilan di pasar komoditas bisa menular ke pasar lain seperti saham. Sebab perkembangan harga minyak akan menentukan kinerja emiten migas, yang kapitalisasi pasarnya tidak sedikit. Maka dari itu, investor juga patut mewaspadai gonjang-ganjing harga minyak.

Halaman Selanjutnya --> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini (2)

Sentimen keempat, kali ini dari dalam negeri, adalah perkembangan pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Kemarin, tambahan pasien positif corona membukukan rekor baru.

Per 6 Juli 2021, Kementerian Kesehatan melaporkan jumlah pasien positif corona di Indonesia mencapai 2.345.018 orang. Bertambah 31.189 orang dari hari sebelumnya. Ini adalah rekor penambahan kasus harian sejak virus corona mewabah di Tanah Air.

Dalam 14 hari terakhir, rata-rata tambahan pasien positif baru adalah 23.350 orang per hari. Melonjak lebih dari dua kali lipat ketimbang rerata 14 hari sebelumnya yaitu 10.628 orang setiap harinya. Terlihat jelas kurva kasus corona Indonesia semakin runcing, bukannya melandai.

Kondisi ini diperberat oleh laju vaksinasi yang masi lambat. Padahal vaksin digadang-gadang menjadi game changer, kunci untuk menang dalam perang melawan virus yang awalnya mewabah di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China tersebut.

Per 5 Juli 2021, rata-rata tujuh harian vaksinasi ada di 819.467 dosis/hari. Masih lumayan jauh dari target yang dicanangkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yaitu 1 juta dosis/hari. Apalagi target itu kemudian dinaikkan menjadi 3 juta dosis/hari.

Apabila kondisi tidak kunjung membaik, maka Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat di Jawa-Bali akan terus berlangsung. Sebab, kebijakan ini punya target menekan angka kasus harian ke kisaran 10.000/hari hingga 20 Juli 2021. Kalau sampai 20 Juli 2021 nanti kasus harian belum mencapai target tersebut, maka bukan tidak mungkin PPKM Darurat bakal diperpanjang.

Bahkan bisa jadi pula PPKM Darurat akan diperluas ke pulau-puau lain. Jika melihat tingkat reproduksi efektif (Rt) virus corona, maka situasi di Sumatera dan Sulawesi juga patut menjadi perhatian.

Apabila angka Rt masih lebih dari satu, artinya seorang pasien positif masih menulari orang lain. Rantai penularan semakin panjang sehingga semakin butuh waktu untuk mengakhiri pandemi.

Mengutip data Bonza per 7 Juli 2021 pukul 03:37 WIB, hanya ada 10 dari 34 provinsi yang punya Rt di bawah satu. Artinya, virus corona masih menyebar dengan cepat di 24 provinsi lainnya.

Dari lima provinsi dengan Rt tertinggi, hanya dua yang berada di wilayah Jawa-Bali yaitu Jawa Tengah dan Banten. Sisanya ada dua di pulau Sulawesi (Gorontalo dan Sulawesi Tenggara) dan satu di Sumatera (Sumatera Utara).

Oleh karena itu, perpanjangan dan perluasan PPKM Darurat adalah risiko yang tidak bisa dikesampingkan. Jika ini terwujud, maka waktu yang dibutuhkan untuk bisa hidup normal bakal semakin lama.

Akibatnya, pandemi virus corona bakal semakin membebani aspek sosial-ekonomi. Permbatasan aktivitas dan mobilitas masyarakat akan membuat jutaan lapangan kerja hilang sehingga angka pengangguran dan kemiskinan melonjak. Pertumbuhan ekonomi pun semakin terbatas, belum bisa dipacu kencang.

"Apabila (Covid-19) Juli bisa dikendalikan dan Agustus ada aktivitas normal atau restriksi bisa dikurangi, maka ekonomi bisa tumbuh, kondisi pertumbuhan di atas 4% mendekati 5%. Namun apabila tidak bisa dikendalikan dan masih terus berlanjut, maka pertumbuhan ekonomi kuartal III bisa turun di sekitar 4%. Ini yang harus diwaspadai," jelas Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, baru-baru ini.

Halaman Selanjutnya --> Simak Agenda dan Rilis Data Hari Ini

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Untuk mengakses data pasar terkini, silakan klik di sini.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular