
Covid-19 Gawat! Kesehatan Darurat, Ekonomi Megap-megap...

Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu perkembangan di Wall Street yang kurang menggembirakan. Merahnya Wall Street bisa mempengaruhi mental investor di pasar keuangan Asia, termasuk Indonesia.
Sentimen kedua adalah terkait perkembangan nilai tukar dolar AS. Investor patut waspada karena dolar AS yang sempat lesu kini mulai bangkit. Pada pukul 02:51 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,35%.
Pelaku pasar tengah menantikan notula rapat atau minutes of meeting bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) edisi Juni 2021. Dalam rapat tersebut, Ketua Jerome 'Jay' Powell dan sejawat memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan di 0-0,25% dan pembelian aset (quantitative easing) sebesar US$ 120 miliar per bulan.
Namun dalam rapat tersebut, terlihat bahwa nada (tone) Powell dan rekan sudah mulai menunjukkan sikap ketat atau hawkish. Powell sudah berani bicara soal kenaikan suku bunga acuan, meski ada syaratnya yaitu inflasi yang stabil di atas target 2% dan penciptaan lapangan kerja yang maksimal (maximum unemployment).
"Ketika itu terjadi, di mana sudah tercipta kondisi siap lepas landas, maka akan menjadi sinyal bahwa pemulihan sudah kuat dan tidak lagi membutuhkan suku bunga mendekati 0%," ungkap Powell dalam konferensi pers usai rapat bulan lalu.
Nah, sekarang pasar ingin mencari tahu lebih dalam mengenai 'suasana kebatinan' dalam rapat tersebut. Apakah semakin banyak suara yang menginginkan pengetatan (tapering off)? Sejauh mana kemungkinan The Fed bakal segera mengurangi dosis quantitative easing dan kemudian menaikkan Federal Funds Rate?
Sepertinya pasar semakin berani bertaruh bahwa tone dalam notula rapat kali ini lebih hawkish. Oleh karena itu, dolar AS mendapat angin segar.
Saat quantitative easing berkurang (apalagi ketika disetop total), maka pasokan dolar AS bakal berkurang. Seperti barang, pasokan yang tidak lagi melimpah sementara permintaan terus bertambah akan menaikkan harga. Dalam hal ini, bilai tukar dolar AS bakal semakin kuat karena menjadi buruan.
Kemudian kalau suku bunga acuan naik, maka imbalan investasi di aset-aset berbasis dolar AS (terutama instrumen berpendapata tetap seperti obligasi) akan ikut terungkit. Ini membuat arus modal semakin berkerumun di dekat mata uang Negeri Adikuasa sehingga nilai tukarnya semakin kuat.
Oleh karena itu, rupiah wajib waspada. Andai penguatan dolar AS terus terjadi sepanjang hari ini, maka risiko pelemahan rupiah menjadi sangat nyata.
Sentimen ketiga adalah perkembanga di pasar komoditas, utamanya minyak. Pada pukul 03:06 WIB, harga minyak jenis brent berada di US$ 74,53/barel, anjlok 3,41%. Sementara yang jenis light sweet harganya US$ 73,73/barel, turun 1,9%.
Harga si emas hitam jadi tidak menentu setelah pertemuan OPEC+ tidak membuahkan hasil, alias deadlock. Uni Emirat Arab ngotot tidak mau memperpanjang masa pemangkasan produksi sampai akhir 2022.
Dalam keterangan tertulis, Sekretaris Jenderal OPEC Mohammad Barkindo menegaskan rapat telah dibatalkan. Barkindo tidak menyebut kapan pertemuan selanjutnya akan berlangsung.
"Investor khawatir bahwa Uni Emirat Arab akan mbalelo dan mulai melempar minyak mereka ke pasar. Kalau ini terjadi, maka bukan tidak mungkin akan diikuti oleh negara anggota OPEC+ lainnya. Pasokan meningkat, harga jadi turun," tutur Bob Yawger, Direktur Mizuho, seperti diberitakan Reuters.
Ketidakstabilan di pasar komoditas bisa menular ke pasar lain seperti saham. Sebab perkembangan harga minyak akan menentukan kinerja emiten migas, yang kapitalisasi pasarnya tidak sedikit. Maka dari itu, investor juga patut mewaspadai gonjang-ganjing harga minyak.
Halaman Selanjutnya --> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini (2)
(aji/aji)
