Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Asia di perdagangan pasar spot pekan ini:
Akan tetapi, mata uang Tanah tidak bertaji di Eropa. Di hadapan tiga mata uang utama Benua Biru (euro, poundsterling Inggris, dan franc Swiss), rupiah membukukan depresiasi.
Langkah rupiah di Asia juga tersendat. Rupiah gagal menang mutlak, karena melemah di hadapan dolar Taiwan, yen Jepang, yuan China, dolar Singapura, dan ringgit Malaysia.
'Keberpihakan' investor terhadap rupiah tergambar di survei dwi-mingguan yang dilakukan Reuters. Hasil survei tersebut digambarkan dengan angka -3 hingga 3. Semakin tinggi angkanya, itu menggambarkan investor mengambil posisi short (jual).
Dalam survei 22 April 2021, skor rupiah ada d 0,56. Memang turun dibandingkan survei 8 April 2021 tetapi angkanya positif, berarti masuk di zona short. Investor masih kurang percaya dengan rupiah.
Padahal mayoritas mata uang utama Asia lainnya sudah negatif, investor mengambil posisi long (beli). Dolar Singapura menjadi yang terbaik dengan skor -0,44.
 Sumber: Reuters |
Ke depan, pergerakan rupiah akan sangat ditentukan oleh dinamika imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS. Jika yield instrumen itu melesat lagi seperti beberapa waktu lalu, maka risiko pelemahan rupiah menjadi meningkat.
Pada akhir bulan lalu, yield surat utang pemerintahan Presiden Joseph 'Joe' Biden untuk tenor 10 tahun mencapai lebih dari 1,7%, tertinggi sejak Januari 2020. Namun selepas itu yield dalam tren turun dan saat ini berada di kisaran 1,5%.
Halaman Selanjutnya --> Sinyal Kebangkitan Ekonomi AS Kian Kuat
Perkembangan yield akan ditentukan oleh ekspektasi inflasi. Jika tanda-tanda kebangkitan ekonomi Negeri Paman Sam semakin terang, maka ekspektasi inflasi bakal terdongkrak.
Sayangnya, sekarang kondisinya seperti itu. Berbagai data ekonomi terbaru menunjukkan bahwa kebangkitan ekonomi AS bukan pepesan kosong.
Pada pekan yang berakhir 17 April 2021, klaim tunjangan pengangguran AS turun 39.000 dibandingkan minggu sebelumnya menjadi 547.000. Ini adalah yang terendah sejak Maret 2020. Meski jalan masih panjang, tetapi pasar tenaga kerja AS mantap menatap jalan pemulihan seperti masa sebelum pandemi.
Kemudian pada pekan yang berakhir 16 April 2021, pengajuan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) di Negeri Paman Sam naik 8,6% dibandingkan pekan sebelumnya. Ini adalah kenaikan pertama dalam tujuh pekan terakhir.
"Kami memperkirakan permintaan akan tetap kuat. Lapangan kerja yang membaik mendorong peningkatan permintaan perumahan," kata Joel Kan, Associate Vice President di Mortgage Bankers Association of America, seperti dikutip dari siaran tertulis.
Masih dari sektor properti, pembangunan rumah baru (housing starts) pada Maret 2021 naik 19,4% dibandingkan bulan sebelumnya menjadi 1,74 juta unit. Ini adalah yang tertinggi sejak Juni 2006.
Lalu indeks sentimen konsumen pun naik dari 84,9 bulan lalu menjadi 86,5 pada April 2021. Ini adalah angka tertinggi sejak Maret 2020.
"Pada awal April, konsumen merasa terjadi pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja seiring realisasi stimulus fiskal, suku bunga rendah, dan dampak vaksinasi anti-virus corona. Kekuatan pertumbuhan ekonomi semakin terasa jika dibandingkan dengan kondisi lockdown tahun lalu," sebut Richard Curtin, Kepala Ekonom Survei Konsumen Universitas Michigan, seperti dikutip dari keterangan tertulis.
Halaman Selanjutnya --> Suku Bunga Acuan AS Bisa Naik Lebih Cepat?
Ketika ekonomi pulih, maka permintaan akan tumbuh. Saat permintaan tumbuh, laju inflasi bakal terakselerasi.
Oleh karena itu, pelaku pasar mulai berani bertaruh bahwa bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) akan menaikkan suku bunga acuan lebih cepat untuk meredam inflasi. Mengutip CME FedWatch, peluang kenaikan Federal Funds Rate pada akhir tahun ini sudah berada di kisaran dua digit. Artinya, kemungkinan kenaikan suku bunga acuan pada akhir 2021 semakin tinggi, tidak perlu menunggu sampai 2023.
 Sumber: CME FedWatch |
Saat suku bunga acuan naik, maka yield akan ikut terungkit. Jadi, kenaikan suku bunga acuan di AS akan ikut mengerek imbal hasil US Treasury Bonds.
Aset tersebut akan semakin menarik sehingga menjadi buruan investor. Ketika itu terjadi, niscaya keperkasaan dolar AS akan sulit dibendung.
Untuk menstabilkan rupiah, sulit berharap akan datangnya pasokan valas dari ekspor-impor barang dan jasa. Sebab, impor Indonesia sudah merangkak naik seiring pemulihan ekonomi domestik. Transaksi berjalan yang sempat surplus pada dua kuartal terakhir 2020 sepertinya akan kembali defisit tahun ini.
Nasib rupiah sepertinya akan sangat tergantung kepada arus modal di pasar keuangan alias hot money. Sulit berharap pasokan valas bisa stabil dari pos ini, karena sifat alami hot money adalah datang dan pergi sesuka hati. Oleh karena itu, rasanya fluktuasi rupiah masih akan terjadi.
TIM RISET CNBC INDONESIA