Jakarta, CNBC Indonesia - Kemarin, Bank Indonesia (BI) mengumumkan suku bunga acuan diturunkan 25 basis poin (bps) menjadi 4%. Gubernur Perry Warjiyo memberi sinyal bahwa sepertinya peluang untuk penurunan lebih lanjut tidak terlalu besar.
"Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 15-16 Juli 2020 memutuskan untuk menurunkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 4,00%, suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 3,25%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 4,75%," sebut Perry dalam konferensi pers usai RDG.
"Keputusan ini konsisten dengan prakiraan inflasi yang tetap rendah, stabilitas eksternal yang terjaga dan sebagai langkah lanjutan untuk mendorong pemulihan ekonomi di masa pandemi Covid-19 (Coronavirus Disease-2019)."
Ada yang hilang dari kalimat kesimpulan hasil RDG kali ini. Bulan lalu, BI masih menyertakan kalimat sebagai berikut:
"Ke depan, Bank Indonesia tetap melihat ruang penurunan suku bunga seiring rendahnya tekanan inflasi, terjaganya stabilitas eksternal, dan perlunya mendorong pertumbuhan ekonomi."
Sebelumnya, kata-kata seperti 'kebijakan moneter akomodatif' juga kerap muncul dalam pembacaan keputusan RDG BI. Namun pada bulan ini sudah absen, hilang dari peredaran.
Reuters bertanya mengenai hilangnya kalimat tersebut, dan Perry memberikan jawaban yang agak bersayap. Perry tidak menyebut secara gamblang, ya atau tidak, tetapi menyatakan bahwa kebijakan suku bunga harus menyesuaikan perkembangan data dari bulan ke bulan, utamanya inflasi.
"Tekanan inflasi bulan ini dan ke depan belum meningkat. Inflasi tahun ini terkendali 3% plus minus 1. Yakinkan BI akan terus mencermati itu, dan pada waktunya ada peningkatan inflasi, akan menempuh kebijakan-kebijakan dari sisi moneter. BI punya kaidah dan disiplin untuk mengendalikan inflasi," papar Perry.
Namun ada satu petunjuk yang kuat bahwa BI 7 Day Reverse Repo Rate sepertinya belum akan diturunkan, setidaknya dalam waktu dekat. Petunjuk itu adalah pernyataan Perry bahwa saat ini yang lebih dibutuhkan adalah stimulus dari sisi kuantitas likuiditas (quantitative easing).
"Dalam kondisi seperti ini, efektivitas pemulihan ekonomi lebih efektif lewat jalur kuantitas, aspek likuiditas dan pendanaan. BI sudah melakukan quantitative easing dan diperkuat dengan sinergi dengan pemerintah untuk mempercepat absorpsi anggaran dari BI menyediakan sebagian dananya. Jalur kuantitas, lewat burden sharing, efektif mendorong ekonomi lewat penyerapan anggaran," jelasnya.
Sebagai informasi, hingga 14 Juli Bank Indonesia telah melakukan quantitative easing sekitar Rp 633,24 triliun. Termasuk penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) sekitar Rp 155 triliun dan ekspansi moneter sekitar Rp 462,4 triliun.
Ada kemungkinan BI juga mulai khawatir dengan perkembangan nilai tukar rupiah. Akhir-akhir ini mata uang Tanah Air memang cenderung melemah. Selama sebulan belakangan, rupiah anjlok nyaris 4% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS).
Ketika suku bunga turun, maka imbalan investasi di aset-aset keuangan Indonesia (terutama instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi) akan ikut turun. Arus modal asing yang masuk menjadi seret dan rupiah bisa semakin melemah.
Memang terlihat bahwa aliran modal asing sudah mampet. Sejak akhir 2019 hingga kemarin, investor asing membukukan jual bersih (net sell) Rp 17 triliun di pasar saham.
Sedangkan di pasar obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN), nilai kepemilikan investor asing per 15 Juli adalah Rp 937,59 triliun. Pada 31 Desember 2019, nilanya masih Rp 1.061,86 triliun.
Kalau suku bunga acuan turun, maka arus modal asing (terutama ke SBN) akan semakin cekak. Rupiah bakal kian sulit untuk menguat.
Padahal ke depan sepertinya kebutuhan valas akan tinggi seiring peningkatan permintaan akibat pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Ketika aktivitas ekonomi meningkat, impor juga akan terdongkrak dan impor itu membutuhkan valas.
Peningkatan impor sudah terlihat pada Juni. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, nilai impor sebesar US$ 10,76 miliar, melonjak 27,56% dibandingkan bulan sebelumnya.
Akan sangat berat kalau impor harus dibayar dengan harga mahal karena depresiasi rupiah. Bisa-bisa tren pemulihan ekonomi nasional akan terhenti hanya gara-gara pelemahan rupiah.
Namun kita sampai pada pertanyaan selanjutnya. Memang kalau suku bunga acuan turun dampaknya akan signifikan? Apakah dampaknya terasa ke sektor riil dan masyarakat luas?
Paling gampang untuk mengukur dampak ini adalah seberapa jauh penurunan suku bunga di level perbankan. Kalau penurunan suku bunga perbankan masih belum sejalan dengan pemotongan suku bunga acuan, maka artinya transmisi kebijakan moneter belum optimal. Tidak terlalu ngefek.
Pada kuartal I-2020, rata-rata suku bunga Kredit Modal Kerja (KMK) rupiah adalah 11,21% dan pada kuartal berikutnya turun menjadi 10,8%. Artinya ada koreksi 41 bps.
Padahal sejak awal 2020 hingga akhir kuartal II-2020, suku bunga acuan sudah turun 75 bps. Namun efeknya ke suku bunga kredit belum memuaskan, penurunannya belum searah dengan koreksi suku bunga acuan.
Suku bunga acuan memang bukan satu-satunya faktor yang menentukan suku bunga kredit. Pada akhirnya, suku bunga acuan adalah posisi (stance) atau kuda-kuda dari bank sentral mengenai ke mana ekonomi akan diarahkan, ekspansif atau konsolidatif.
Setidaknya ada dua faktor lain yang menentukan besaran suku bunga kredit perbankan. Pertama tentu biaya dana, seberapa besar duit yang keluarkan bank untuk memperoleh likuiditas yang kemudian disalurkan dalam bentuk kredit.
Salah satu komponen biaya dana adalah suku bunga simpanan. Nah, ini yang kemudian agak ngeri-ngeri sedap.
Mengutip data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), total Dana Pihak Ketiga (DPK) di perbankan nasional per Mei adalah Rp 6.157 triliun. Dari jumlah tersebut, Rp 2.602 triliun (42,26%) dalam bentuk deposito.
Jumlah rekening deposito adalah 5,07 juta, kalah jauh ketimbang tabungan yang mencapai 304,31 juta. Namun duit yang tersimpan di tabungan 'hanya' Rp 1.971 triliun, tidak sampai separuh dari deposito.
Deposito adalah dana mahal, bunganya lebih tinggi ketimbang tabungan biasa. Rata-rata suku bunga deposito pada Mei adalah 5,74%, sementara tabungan tidak lebih dari 2%.
Selain itu, DPK perbankan juga dikuasai oleh para deposan kelas paus. Pada Mei, total nilai simpanan di atas Rp 5 miliar mencapai Rp 2.855 triliun atau 46,86% dari jumlah DPK. Padahal jumlah rekeningnya paling sedikit, tetapi isinya bukan kaleng-kaleng.
Para deposan itu yang 'menyandera' perbankan. Bermodal dana besar, mereka bisa meminta bunga tinggi atas simpanannya dan bank tidak dalam posisi menguntungkan. Sebab kalau tidak dituruti, deposan itu akan pindah dan bank kehilangan DPK dalam jumlah besar.
Selagi perbankan masih harus 'melayani' para deposan besar, maka suku bunga simpanan sulit turun signifikan. Saat suku bunga simpanan masih tinggi, jangan harap suku bunga kredit bisa ditekan.
Faktor kedua adalah soal efisiensi. Salah satu indikator untuk mengukur efisiensi adalah rasio biaya operasional berbanding pendapatan operasional (BOPO).
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut, BOPO bank umum konvensional per April adalah 84,85%. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 88,84% tetapi meningka ketimbang setahun sebelumnya yakni 83,48%.
Sepanjang operasional perbankan tidak efisien, maka akan ada sebagian beban yang dialihkan ke nasabah dalam bentuk suku bunga. Akan selalu ada premium dalam pembentukan suku bunga, padahal itu gara-gara perbankan sendiri yang tidak efisien.
Kesimpulannya, mau suku bunga acuan turun pun sulit untuk berangan-angan suku bunga kredit bisa terpangkas dalam laju yang sama. Selalu akan ada selisih, yang setidaknya disebabkan oleh dua faktor itu.
Jadi walau suku bunga acuan mungkin tidak turun dalam waktu dekat, jangan khawatir. Toh dampaknya tidak akan terasa-terasa amat buat rakyat kebanyakan.
TIM RISET CNBC INDONESIA