
Kalau BI Ogah Turunkan Bunga Lagi, So What Gitu Loh?

Ada kemungkinan BI juga mulai khawatir dengan perkembangan nilai tukar rupiah. Akhir-akhir ini mata uang Tanah Air memang cenderung melemah. Selama sebulan belakangan, rupiah anjlok nyaris 4% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS).
Ketika suku bunga turun, maka imbalan investasi di aset-aset keuangan Indonesia (terutama instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi) akan ikut turun. Arus modal asing yang masuk menjadi seret dan rupiah bisa semakin melemah.
Memang terlihat bahwa aliran modal asing sudah mampet. Sejak akhir 2019 hingga kemarin, investor asing membukukan jual bersih (net sell) Rp 17 triliun di pasar saham.
Sedangkan di pasar obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN), nilai kepemilikan investor asing per 15 Juli adalah Rp 937,59 triliun. Pada 31 Desember 2019, nilanya masih Rp 1.061,86 triliun.
Kalau suku bunga acuan turun, maka arus modal asing (terutama ke SBN) akan semakin cekak. Rupiah bakal kian sulit untuk menguat.
Padahal ke depan sepertinya kebutuhan valas akan tinggi seiring peningkatan permintaan akibat pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Ketika aktivitas ekonomi meningkat, impor juga akan terdongkrak dan impor itu membutuhkan valas.
Peningkatan impor sudah terlihat pada Juni. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, nilai impor sebesar US$ 10,76 miliar, melonjak 27,56% dibandingkan bulan sebelumnya.
Akan sangat berat kalau impor harus dibayar dengan harga mahal karena depresiasi rupiah. Bisa-bisa tren pemulihan ekonomi nasional akan terhenti hanya gara-gara pelemahan rupiah.
