
Awas Debitur Nakal Ngumpet di Balik Relaksasi Kredit OJK
Herdaru Purnomo, CNBC Indonesia
30 March 2020 11:53

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan keringanan kepada debitur perbankan yang terdampak efek virus corona (COVID-19) untuk restrukturisasi kredit. Selain itu, nasabah perusahaan pembiayaan (multifinance) atau leasing yang terdampak juga bisa melonggarkan cicilan hingga 1 tahun ke depan.
Namun jika arahan tidak tepat sasaran bisa memicu debitur "nakal" untuk memanfaatkan relaksasi kredit tersebut. Jika ini terjadi maka memberikan dampak buruk ke perbankan dan perekonomian nasional.
Mantan Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo mengatakan relaksasi kredit harus dicermati lebih dalam. Relaksasi kredit tersebut hanya diperuntukkan untuk pelaku usaha yang berdampak langsung terhadap daya beli yang menurun akibat penyebaran virus corona dan bukan untuk seluruh debitur.
Selain hanya untuk debitur yang terdampak virus corona, Agus menekankan bahwa relaksasi ini bukan bermakna penundaan cicilan secara keseluruhan. Pasalnya, kewajiban bunga pun perlu tetap dibayar.
"Jangan ditangkap debitur bahwa mereka diperkenankan tidak membayar kewajibannya (cicilannya) karena jelas sekali bahwa sumber dana bank adalah dana masyarakat yang berupa giro, tabungan, dan deposito yang harus dibayarkan bunganya ke masyarakat," jelas Agus, Senin (30/3/2020).
Menurut Agus, kebijakan relaksasi berupa penundaan cicilan tersebut akan kembali pada kebijakan masing-masing bank dengan melihat profil risiko debitur, dengan begitu debitur tidak serta merta dapat menangguhkan cicilannya. Namun, kata dia, yang dilihat disini adalah inisiatif baik dari bank dan debitur itu sendiri.
"Untuk bank tentu harus melihat kondisi nasabah UMKM untuk tujuan dunia usaha kalau seandainya perlu dilakukan restrukturisasi, rekondisi atau rescedule. Saya tekankan, kewajiban pembayaran bunga (debitur) harus selalu dipenuhi, seandaikan terkait kredit sepeda motor namun pinjaman itu berdampak dan dibidang usaha (ojek online) bisa ditunda cicilan pokok, tetapi kewajiban bunga harus dibayar," papar Agus.
Ekonom Mirza Adityaswara menegaskan terkait dengan informasi bahwa debitur dibebaskan untuk tidak membayar cicilan utang selama 1 tahun itu harus diluruskan karena mesti dikaitkan dengan POJK Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease. POJK yang dirilis itu mulai berlaku sejak 13 Maret 2020 sampai 31 Maret 2021. POJK ini juga diharapkan menjadi countercyclical dampak penyebaran virus corona sehingga bisa mendorong optimalisasi kinerja perbankan khususnya fungsi intermediasi, menjaga stabilitas sistem keuangan, dan mendukung pertumbuhan ekonomi.
"Perlu diketahui, bank dan lembaga pembiayaan hanyalah lembaga intermediary (lembaga perantara). Harus dipahami oleh masyarakat bahwa kredit perbankan dan kredit lembaga pembiayaan adalah seperti darah di tubuh kita," kata Mirza kepada CNBC Indonesia, Jumat (27/3/2020). "Artinya tanpa aliran kredit, maka perekonomian akan berhenti," tegas mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia ini.
Mirza juga menegaskan di lain pihak, hal yang sering dilupakan oleh masyarakat atau debitur dan rekan-rekan politisi adalah bahwa sumber dana bagi bank dan lembaga pembiayaan untuk memberikan kredit berasal juga dari dana masyarakat, yaitu dari masyarakat yang punya tabungan dan deposit di perbankan.
"Artinya, jika semua debitur tidak mau membayar cicilan (padahal sebagian besar mampu bayar) maka yang akan terjadi justru kerugian besar di sektor perbankan dan lembaga pembiayaan karena harus tetap membayar bunga kepada penabung (deposan ) tapi bank tidak menerima pendapatan dari debitur," jelasnya.
Mantan Kepala Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) juga menegaskan bahwa publik mesti mencatat bahwa sekitar 30% kredit perbankan adalah kredit konsumsi termasuk di antaranya KPR (kredit pemilikan rumah), KPM (kredit pemilikan mobil), dan lainnya. Adapun sekitar 15-20% adalah kredit UMKM sehingga sektor perbankan dan lembaga pembiayaan menghadapi risiko "default yang disengaja" untuk eksposur 40-50% kredit nasional atau setara dengan Rp 2.500 triliun.
"[Rp 2.500 triliun] adalah suatu jumlah yang pasti akan membangkrutkan ekonomi Indonesia," tegas Mirza.
(dru/dru) Next Article BI Relaksasi Kewajiban Laporan Bank Umum & Eksportir DHE
Namun jika arahan tidak tepat sasaran bisa memicu debitur "nakal" untuk memanfaatkan relaksasi kredit tersebut. Jika ini terjadi maka memberikan dampak buruk ke perbankan dan perekonomian nasional.
Mantan Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo mengatakan relaksasi kredit harus dicermati lebih dalam. Relaksasi kredit tersebut hanya diperuntukkan untuk pelaku usaha yang berdampak langsung terhadap daya beli yang menurun akibat penyebaran virus corona dan bukan untuk seluruh debitur.
"Jangan ditangkap debitur bahwa mereka diperkenankan tidak membayar kewajibannya (cicilannya) karena jelas sekali bahwa sumber dana bank adalah dana masyarakat yang berupa giro, tabungan, dan deposito yang harus dibayarkan bunganya ke masyarakat," jelas Agus, Senin (30/3/2020).
Menurut Agus, kebijakan relaksasi berupa penundaan cicilan tersebut akan kembali pada kebijakan masing-masing bank dengan melihat profil risiko debitur, dengan begitu debitur tidak serta merta dapat menangguhkan cicilannya. Namun, kata dia, yang dilihat disini adalah inisiatif baik dari bank dan debitur itu sendiri.
"Untuk bank tentu harus melihat kondisi nasabah UMKM untuk tujuan dunia usaha kalau seandainya perlu dilakukan restrukturisasi, rekondisi atau rescedule. Saya tekankan, kewajiban pembayaran bunga (debitur) harus selalu dipenuhi, seandaikan terkait kredit sepeda motor namun pinjaman itu berdampak dan dibidang usaha (ojek online) bisa ditunda cicilan pokok, tetapi kewajiban bunga harus dibayar," papar Agus.
Ekonom Mirza Adityaswara menegaskan terkait dengan informasi bahwa debitur dibebaskan untuk tidak membayar cicilan utang selama 1 tahun itu harus diluruskan karena mesti dikaitkan dengan POJK Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease. POJK yang dirilis itu mulai berlaku sejak 13 Maret 2020 sampai 31 Maret 2021. POJK ini juga diharapkan menjadi countercyclical dampak penyebaran virus corona sehingga bisa mendorong optimalisasi kinerja perbankan khususnya fungsi intermediasi, menjaga stabilitas sistem keuangan, dan mendukung pertumbuhan ekonomi.
"Perlu diketahui, bank dan lembaga pembiayaan hanyalah lembaga intermediary (lembaga perantara). Harus dipahami oleh masyarakat bahwa kredit perbankan dan kredit lembaga pembiayaan adalah seperti darah di tubuh kita," kata Mirza kepada CNBC Indonesia, Jumat (27/3/2020). "Artinya tanpa aliran kredit, maka perekonomian akan berhenti," tegas mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia ini.
Mirza juga menegaskan di lain pihak, hal yang sering dilupakan oleh masyarakat atau debitur dan rekan-rekan politisi adalah bahwa sumber dana bagi bank dan lembaga pembiayaan untuk memberikan kredit berasal juga dari dana masyarakat, yaitu dari masyarakat yang punya tabungan dan deposit di perbankan.
"Artinya, jika semua debitur tidak mau membayar cicilan (padahal sebagian besar mampu bayar) maka yang akan terjadi justru kerugian besar di sektor perbankan dan lembaga pembiayaan karena harus tetap membayar bunga kepada penabung (deposan ) tapi bank tidak menerima pendapatan dari debitur," jelasnya.
Mantan Kepala Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) juga menegaskan bahwa publik mesti mencatat bahwa sekitar 30% kredit perbankan adalah kredit konsumsi termasuk di antaranya KPR (kredit pemilikan rumah), KPM (kredit pemilikan mobil), dan lainnya. Adapun sekitar 15-20% adalah kredit UMKM sehingga sektor perbankan dan lembaga pembiayaan menghadapi risiko "default yang disengaja" untuk eksposur 40-50% kredit nasional atau setara dengan Rp 2.500 triliun.
"[Rp 2.500 triliun] adalah suatu jumlah yang pasti akan membangkrutkan ekonomi Indonesia," tegas Mirza.
(dru/dru) Next Article BI Relaksasi Kewajiban Laporan Bank Umum & Eksportir DHE
Most Popular