Newsletter

Lebanon Membara, Waspada Arab Spring Jilid Dua!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
20 January 2020 06:01
Lebanon Membara, Waspada Arab Spring Jilid Dua!
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia bergerak menguat sepanjang pekan lalu. Sentimen eksternal yang kondusif membuat pelaku pasar aktif berburu aset-aset berisiko di negara berkembang.

Pekan lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat 0,27%. Tidak hanya IHSG, mayoritas indeks saham utama Asia pun bergerak ke utara.

Berikut perkembangan indeks saham utama Asia sepanjang pekan kemarin:




Di pasar valas, rupiah menguat 0,91% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Tidak sekadar menguat, apresiasi rupiah bahkan menjadi yang terbaik di Asia.

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang Asia sepanjang pekan lalu:




Kemudian di pasar obligasi, imbal hasil (yield) surat utang pemerintah seri acuan tenor 10 tahun turun 10,6 basis poin (bps) sepanjang pekan lalu. Pada penutupan perdagangan akhir pekan, yield instrumen itu berada di titik terendah sejak April 2018.




Pekan lalu, ada sentimen positif yang membuat risk appetite pasar meningkat. Amerika Serikat (AS) dan China resmi meneken perjanjian damai dagang Fase I pada 15 Januari di Gedung Putih.

Bahkan sudah ada pembicaraan mengenai perjanjian damai dagang Fase II. Presiden AS Donald Trump akan bertandang ke Beijing dalam waktu dekat untuk membahas kesepakatan tersebut.

Trump berjanji segala bea masuk yang dikenakan selama masa perang dagang bakal dihapus begitu AS-China menyepakati perjanjian Fase II. Ketika kesepakatan ini tercapai, maka AS-China akan mencapai damai dagang yang hakiki. Perang dagang resmi berakhir.

"Saya menyerahkan kepada mereka (China), karena ketika (perjanjian Fase II) selesai maka kami tidak punya sesuatu untuk dinegosiasikan lagi. (Bea masuk) akan dihapus saat kami menyelesaikan (perjanjian) Fase II," ungkap Trump, seperti diberitakan Reuters.


Dengan hubungan Washington-Beijing yang mesra belakangan ini (semoga tetap begitu), pelaku pasar boleh berharap kesepakatan damai dagang Fase II bisa tercapai tanpa hambatan berarti. Begitu ini terjadi, maka tidak ada lagi hambatan di rantai pasok global. Arus perdagangan dan investasi akan bersemi kembali, sehingga pertumbuhan ekonomi dunia akan pulih setelah nyaris lumpuh akibat perang dagang selama hampir dua tahun terakhir.

Akibatnya, tidak ada halangan lagi bagi investor untuk bermain agresif. Tidak ada lagi bermain aman, aset-aset berisiko di negara berkembang pun jadi buruan.

 

[Gambas:Video CNBC]



 

Tidak hanya di Indonesia dan Asia, gairah juga menyelimuti bursa saham AS. Sepanjang pekan lalu, tiga indeks utama di Wall Street menguat tajam. Dow Jones Industrial Average (DJIA) melompat 1,82%, S&P 500 melesat 1,96%, dan Nasdaq Composite meroket 2,29%. Ini adalah kenaikan mingguan tertinggi sejak pekan keempat Agustus tahun lalu.

Kesepakatan damai dagang AS-China benar-benar menjadi obat kuat yang cespleng bagi pasar keuangan dunia. Pelaku pasar merasakan optimisme yang begitu tinggi dalam mengarungi 2020.


"Selain itu, rilis data terbaru juga menunjukkan perkembangan yang positif. Ini menciptakan rasa optimisme tidak hanya menyambut musim laporan keuangan (earnings season) tetapi juga menghadapi perekonomian kuartal I dan 2020," kata Michael James, Managing Director di Wedbush Securities yang berbasis di Los Angeles, seperti diberitakan Reuters.

Rilis data ekonomi di AS dan China ditanggapi positif oleh pelaku pasar. Di China, pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV-2019 tercatat 6,1% year-on-year (YoY) dan sepanjang 2019 Produk Domestik Bruto (PDB) Negeri Panda tumbuh 6,1%.

Angka 6% berarti pertumbuhan ekonomi China pada kuartal IV-2019 sama seperti kuartal sebelumnya dan sesuai dengan konsensus pasar yang dihimpun Reuters. Namun tetap saja ini adalah laju terlemah sejak setidaknya 1992.


Data lain adalah penjualan ritel. Pada Desember 2019, penjualan ritel China tumbuh 8% YoY, sama seperti bulan sebelumnya. Namun lebih baik ketimbang konsensus pasar yang dihimpun Reuters yang memperkirakan pertumbuhan di angka 7,8% YoY.

Kemudian ada juga rilis data produksi industri. Pada Desember 2019, produksi industri China naik 6,9% YoY. Lebih tinggi dibandingkan November 2019 yang sebesar 6,2% YoY maupun konsensus pasar yaitu 5,9%.

Pertumbuhan ekonomi China memang melambat, bahkan paling lemah dalam hampir 30 tahun terakhir. Akan tetapi ke depan ada harapan untuk membaik karena penjualan ritel tetap kuat dan produksi industri meningkat lebih dari perkiraan.

Oleh karena itu, semestinya memang tidak perlu ada respons negatif yang berlebihan terhadap angka pertumbuhan ekonomi China. Seiring dengan tercapainya damai dagang, prospek ekonomi Negeri Tirai Bambu sepertinya akan membaik.

Sedangkan di AS, pembangunan rumah baru (housing starts) pada Desember 2019 tumbuh 16,9% YoY menjadi 1,61 juta unit, tertinggi sejak Desember 2006. Dari sisi pertumbuhan, pencapaian Desember 2019 adalah yang terbaik sejak Oktober 2016.

Properti adalah sektor yang memiliki keterkaitan dengan banyak industri lain. Kala sektor properti tumbuh, maka penjualan semen, baja, sampai kredit perbankan akan ikut terdongkrak. Jadi tidak heran perkembangan properti adalah salah satu indikator utama untuk mengukur tingkat kesehatan ekonomi.

 

Setelah pekan yang menggembirakan, kini investor harus bersiap menghadapi hari pertama pada pekan yang baru. Ada sejumlah sentimen yang perlu dicermati untuk perdagangan hari ini.

Pertama, investor perlu memonitor dinamika politik di Washington. Setelah mencapai damai dagang dengan China, Trump harus disibukkan dengan politik dalam negerinya yaitu pemakzulan (impeachment).

Bulan lalu, House of Representatives (bagian dari Kongres AS yang dikuasai kubu oposisi Partai Demokrat) memutuskan untuk mengajukan pemakzulan terhadap sang presiden ke-45. Trump dinilai membahayakan kepentingan dan keamanan nasional serta menghalangi upaya penyelidikan.

Impeachment terhadap Trump diajukan setelah tudingan konspirasi dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy. Berbicara melalui sambungan telepon pada 25 Juli 2019, Trump ditengarai meminta pemerintahan Zelenskiy untuk melakukan penyelidikan atas bisnis migas keluarga Joe Biden di negara pecahan Uni Soviet tersebut.

Demokrat menuding Trump menjanjikan bantuan senilai US$ 400 juta dalam bentuk asistensi militer. Biden, eks wakil presiden pada masa pemerintahan Barack Obama, adalah salah satu kandidat kuat calon presiden Partai Demokrat untuk pemilihan tahun depan. Langkah Trump diduga sebagai upaya menjegal Biden dalam kontestasi politik Negeri Adidaya.

Demokrat menilai Trump melanggar sumpah jabatan karena menjanjikan sesuatu yang terkait dengan wewenangnya untuk menguntungkan diri sendiri atau golongan tertentu. Trump juga dianggap membahayakan keamanan nasional.


Pada Selasa pekan ini waktu Washington, Trump akan memulai proses persidangan di Senat. Tidak seperti House, Senat didominasi oleh kelompok pendukung pemerintah yaitu Partai Republik. Akan tetapi, dominasi Grand Old Party di Senat tidak terlalu signifikan yaitu 53 dari 100 kursi.

Jelang sidang, suasana politik AS memanas. Dalam dokumen setebal 111 halaman, House mendesak agar Trump dilengserkan dari Gedung Putih untuk melindungi kepentingan nasional dan pemerintahan.

"Senat harus memberhentikan Presiden Trump untuk menghindari kerusakan yang serius dalam jangka panjang terhadap sistem dan nilai demokrasi serta keamanan nasional. Kasus yang mendera Presiden sederhana, faktanya tidak terbantahkan, dan bukti ada di mana-mana," sebut dokumen itu, seperti dikutip dari Reuters.

Trump tidak terima dengan tuduhan tersebut. Tim kuasa hukum Trump menegaskan bahwa Partai Demokrat adalah pihak yang merusak demokrasi karena mencoba mendongkel presiden pilihan rakyat.

"Ini adalah serangan yang berbahaya terhadap rakyat AS yang secara sadar telah memilih presiden mereka. Ini adalah upaya yang tidak tahu malu dan tidak berlandaskan hukum untuk membalik hasil Pemilu 2016 dan mempengaruhi Pemilu 2020 yang akan dilaksanakan dalam hitungan bulan. Presiden Trump menolak segala tuduhan yang disebutkan dalam pemakzulan," tulis keterangan resmi tim kuasa hukum Trump, seperti diwartakan Reuters.

Di sidang Senat, apabila keputusan akhir harus melalui voting, Trump tetap bertahan di Gedung Putih apabila kurang dari dua per tiga (67 suara) menyatakan dirinya bersalah. Kalau dua pertiga anggota Senat menyatakan Trump bersalah, maka ucapkan selamat tinggal kepada Gedung Putih. Wakil Presiden Mike Pence akan mengambil alih.

Meski relatif kecil, tetap ada risiko AS bakal mengalami pergantian kepemimpinan di tengah jalan. Ini akan menyebabkan ketidakpastian, sesuatu yang sangat tidak disukai oleh pelaku pasar.



 

Sentimen kedua adalah dinamika di Timur Tengah. Setelah AS-Iran agak adem, kini Lebanon yang memanas.

Lebanon tengah dilanda aksi demonstrasi massal selama berhari-hari. Reuters melaporkan, aparat keamanan menembakkan meriam air ke para pengunjuk rasa yang melemparkan batu. Dalam unjuk rasa pada Minggu, 370 orang mengalami luka-luka.

Selepas Perdana Menteri Saad Al Hariri mundur pada 29 Oktober 2019, situasi di sana bukannya membaik malah semakin parah. Pasalnya, Lebanon belum lagi membentuk pemerintahan baru usai ditinggal Hariri. Perdana Menteri Ad Interim Hassan Diab belum juga membentuk kabinet.

Akibatnya, Lebanon semakin hanyut dalam nestapa ekonomi. Pada 2018, pertumbuhan ekonomi Lebanon tercatat 0,2%, terendah sejak 1999.

"Negara ini membeku, pemerintah tidak berbuat apa-apa. Mereka hanya pencuri," kata Bassam Taleb, seorang pengunjuk rasa, dikutip dari Reuters.


Sepertinya ketegangan di Timur Tengah mengarah ke gesekan horizontal. Lebanon dan Iran adalah contohnya, di mana rakyat berunjuk rasa menuntut perubahan rezim.

Apabila situasi ini meluas dan menjangkiti negara-negara lain, maka ada risiko Arab Spring Jilid II. Pada 2011 lalu, gelombang unjuk rasa di Suriah, Bahrain, sampai ke negara-negara Maghribi di Afrika Utara seperti Mesir, Libya, dan Tunisia menjadi perhatian dunia karena sebagian berhasil menumbangkan rezim yang berkuasa selama puluhan tahun.

Namun yang namanya konflik tentu bukan pilihan. Apalagi kalau sampai ada kekuatan di luar yang mendompleng dan memanfaatkan situasi. Malah tambah keruh.


Risiko Arab Spring Jilid II, jika membesar, bakal menjadi perhatian pasar. Sebab kisruh akan terjadi di Timur Tengah, kawasan pemasok utama minyak dunia. Kalau situasi semakin tidak kondusif, maka produksi dan pengiriman minyak akan terhambat.

Akibatnya, harga minyak bakal bergerak naik akibat kelangkaan pasokan. Bagi Indonesia, kenaikan harga minyak lebih mendatangkan mudarat ketimbang manfaat.

Saat ini Indonesia adalah negara net importir minyak sehingga kala harga minyak naik maka biaya impornya akan semakin mahal. Semakin banyak devisa yang 'terbakar' untuk mengimpor minyak sehingga bisa 'menggoyang' nilai tukar rupiah.



Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
1. Rilis data suku bunga kredit China tenor satu tahun (06:30 WIB). 
2. Rilis data produksi industri Jepang periode November2019 (11:30 WIB).
3. Rapat Dengar Pendapat antara Komisi VII DPR dengan 10 Kontraktor Kontrak Kerja Sama terbesar (13:00 WIB).
4. Rilis data inflasi produsen Jerman periode Desember 2019 (14:00 WIB).

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (Q III-2019 YoY)

5,02%

Inflasi (Desember 2019 YoY)

2,72%

BI 7 Day Reverse Repo Rate (Desember 2019)

5%

Defisit anggaran (APBN 2020)

-1,76% PDB

Transaksi berjalan (Q III-2019)

-2,66% PDB

Neraca pembayaran (Q III-2019)

-US$ 46 juta

Cadangan devisa (Desember 2019)

US$ 129,18 miliar


Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular