
Newsletter
Lebanon Membara, Waspada Arab Spring Jilid Dua!
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
20 January 2020 06:01

Sentimen kedua adalah dinamika di Timur Tengah. Setelah AS-Iran agak adem, kini Lebanon yang memanas.
Lebanon tengah dilanda aksi demonstrasi massal selama berhari-hari. Reuters melaporkan, aparat keamanan menembakkan meriam air ke para pengunjuk rasa yang melemparkan batu. Dalam unjuk rasa pada Minggu, 370 orang mengalami luka-luka.
Selepas Perdana Menteri Saad Al Hariri mundur pada 29 Oktober 2019, situasi di sana bukannya membaik malah semakin parah. Pasalnya, Lebanon belum lagi membentuk pemerintahan baru usai ditinggal Hariri. Perdana Menteri Ad Interim Hassan Diab belum juga membentuk kabinet.
Akibatnya, Lebanon semakin hanyut dalam nestapa ekonomi. Pada 2018, pertumbuhan ekonomi Lebanon tercatat 0,2%, terendah sejak 1999.
"Negara ini membeku, pemerintah tidak berbuat apa-apa. Mereka hanya pencuri," kata Bassam Taleb, seorang pengunjuk rasa, dikutip dari Reuters.
Sepertinya ketegangan di Timur Tengah mengarah ke gesekan horizontal. Lebanon dan Iran adalah contohnya, di mana rakyat berunjuk rasa menuntut perubahan rezim.
Apabila situasi ini meluas dan menjangkiti negara-negara lain, maka ada risiko Arab Spring Jilid II. Pada 2011 lalu, gelombang unjuk rasa di Suriah, Bahrain, sampai ke negara-negara Maghribi di Afrika Utara seperti Mesir, Libya, dan Tunisia menjadi perhatian dunia karena sebagian berhasil menumbangkan rezim yang berkuasa selama puluhan tahun.
Namun yang namanya konflik tentu bukan pilihan. Apalagi kalau sampai ada kekuatan di luar yang mendompleng dan memanfaatkan situasi. Malah tambah keruh.
Risiko Arab Spring Jilid II, jika membesar, bakal menjadi perhatian pasar. Sebab kisruh akan terjadi di Timur Tengah, kawasan pemasok utama minyak dunia. Kalau situasi semakin tidak kondusif, maka produksi dan pengiriman minyak akan terhambat.
Akibatnya, harga minyak bakal bergerak naik akibat kelangkaan pasokan. Bagi Indonesia, kenaikan harga minyak lebih mendatangkan mudarat ketimbang manfaat.
Saat ini Indonesia adalah negara net importir minyak sehingga kala harga minyak naik maka biaya impornya akan semakin mahal. Semakin banyak devisa yang 'terbakar' untuk mengimpor minyak sehingga bisa 'menggoyang' nilai tukar rupiah.
(aji)
Lebanon tengah dilanda aksi demonstrasi massal selama berhari-hari. Reuters melaporkan, aparat keamanan menembakkan meriam air ke para pengunjuk rasa yang melemparkan batu. Dalam unjuk rasa pada Minggu, 370 orang mengalami luka-luka.
Selepas Perdana Menteri Saad Al Hariri mundur pada 29 Oktober 2019, situasi di sana bukannya membaik malah semakin parah. Pasalnya, Lebanon belum lagi membentuk pemerintahan baru usai ditinggal Hariri. Perdana Menteri Ad Interim Hassan Diab belum juga membentuk kabinet.
Akibatnya, Lebanon semakin hanyut dalam nestapa ekonomi. Pada 2018, pertumbuhan ekonomi Lebanon tercatat 0,2%, terendah sejak 1999.
"Negara ini membeku, pemerintah tidak berbuat apa-apa. Mereka hanya pencuri," kata Bassam Taleb, seorang pengunjuk rasa, dikutip dari Reuters.
Sepertinya ketegangan di Timur Tengah mengarah ke gesekan horizontal. Lebanon dan Iran adalah contohnya, di mana rakyat berunjuk rasa menuntut perubahan rezim.
Apabila situasi ini meluas dan menjangkiti negara-negara lain, maka ada risiko Arab Spring Jilid II. Pada 2011 lalu, gelombang unjuk rasa di Suriah, Bahrain, sampai ke negara-negara Maghribi di Afrika Utara seperti Mesir, Libya, dan Tunisia menjadi perhatian dunia karena sebagian berhasil menumbangkan rezim yang berkuasa selama puluhan tahun.
Namun yang namanya konflik tentu bukan pilihan. Apalagi kalau sampai ada kekuatan di luar yang mendompleng dan memanfaatkan situasi. Malah tambah keruh.
Risiko Arab Spring Jilid II, jika membesar, bakal menjadi perhatian pasar. Sebab kisruh akan terjadi di Timur Tengah, kawasan pemasok utama minyak dunia. Kalau situasi semakin tidak kondusif, maka produksi dan pengiriman minyak akan terhambat.
Akibatnya, harga minyak bakal bergerak naik akibat kelangkaan pasokan. Bagi Indonesia, kenaikan harga minyak lebih mendatangkan mudarat ketimbang manfaat.
Saat ini Indonesia adalah negara net importir minyak sehingga kala harga minyak naik maka biaya impornya akan semakin mahal. Semakin banyak devisa yang 'terbakar' untuk mengimpor minyak sehingga bisa 'menggoyang' nilai tukar rupiah.
(aji)
Next Page
Simak Agenda dan Data Berikut Ini
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular