Jepang, Inggris, Indonesia, dan Resesi Ekonomi Dunia

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
10 September 2019 05:18
Jepang, Inggris, Indonesia, dan Resesi Ekonomi Dunia
Ilustrasi Aktivitas di Pelabuhan (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Dunia yang kita tempati saat ini sedang tidak 'asyik'. Di bidang ekonomi, setiap hari ada saja kabar yang tidak enak.

Pertumbuhan ekonomi global tahun ini diperkirakan melambat. Bank Dunia meramal ekonomi global tahun ini tumbuh 2,6%. Melambat dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu 2,9%.

Proyeksi Bank Dunia bukan kaleng-kaleng. Terlihat satu per satu negara 'bertumbangan', pertumbuhan ekonominya mengecewakan.

Kemarin, ada dua negara besar yang mengumumkan data pertumbuhan ekonomi. Jepang melaporkan angka pembacaan kedua untuk pertumbuhan ekonomi kuartal II-2018 adalah 1,3%. Melambat dibandingkan pembacaan pertama yaitu 1,8%. Apalagi dibandingkan kuartal I-2019 yang masih 2,1%.




Belanja modal di Negeri Matahari Terbit pada kuartal II-2019 hanya tumbuh 0,2% dibandingkan kuartal sebelumnya. Jauh di bawah pertumbuhan kuartal I-2019 yang sebesar 1,5%.

"Ada kemungkinan pertumbuhan ekonomi akan berbalik negatif pada kuartal IV-2019. Jika kekhawatiran kontraksi membesar, maka Bank Sentral Jepang (BoJ) tentu akan sangat mempertimbangkan untuk menurunkan suku bunga acuan lebih dalam ke zona negatif," kata Izuru Kato, Kepala Ekonom Totan Research, sebagaimana diwartakan Reuters.

Ekonomi Jepang yang semakin melambat membuat BoJ hanya punya sedikit pilihan di atas meja. Salah satu opsi yang dipertimbangkan adalah menurunkan suku bunga acuan.

Padahal Jepang sudah menerapkan suku bunga negatif sejak 2016. Ya, sudah lebih dari tiga tahun suku bunga acuan di sana berada di angka -0,1%.

"Ada beberapa hal yang bisa kami lakukan, seperti bauran berbagai kebijakan. Namun menurunkan suku bunga acuan lebih lanjut ke area negatif selalu menjadi pilihan. Kami tidak bisa menafikan kemungkinan bahwa kondisi akan memburuk, jadi harus selalu waspada terutama soal tensi dagang Amerika Serikat (AS)-China," papar Haruhiko Kuroda,

Gubernur BoJ, seperti diwartakan Reuters. BoJ akan melaksanakan rapat terkait penentuan suku bunga acuan pada 19 September. Kalau perang dagang AS-China memburuk, maka bukan tidak mungkin Kuroda dan kolega mengeksekusi penurunan suku bunga acuan bulan ini.

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Perlambatan ekonomi bukan saja terjadi di Jepang, Inggris pun mengalami. Pada kuartal II-2019, ekonomi Negeri John Bull tumbuh 1,2%. Melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 1,8% dan menjadi angka terendah sejak awal 2018.



Sementara untuk periode Mei-Juli, ekonomi Inggris tidak tumbuh alias 0%. “Pertumbuhan ekonomi stagnan karena kontraksi di sektor konstruksi dan manufaktur. Sementara sektor jasa, yang menyumbang sebagian besar aktivitas ekonomi, masih tumbuh, tetapi melambat sepanjang 2019,” kata Rob Kent-Smith, Ekonom Biro Statistik Inggris (ONS), seperti dikutip dari keterangan tertulis.

Situasi kian pelik karena Inggris menghadapi gejolak politik besar bernama Brexit. Masih ada kemungkinan Inggris tidak akan memperoleh kesepakatan apa-apa dari perceraian dengan Uni Eropa (No Deal Brexit). Menurut Goldman Sachs, probabilitasnya adalah 20%.

Semestinya Brexit terjadi pada 29 Maret, tiga tahun setelah rakyat Inggris memutuskan untuk cabut dari Uni Eropa. Namun jadwalnya terus mundur hingga ke 31 Oktober.

Kini muncul wacana untuk kembali memundurkan Brexit ke 31 Januari 2020. Sebab Ratu Elizabeth sudah menyetujui undang-undang bahwa Inggris tidak boleh sampai terjebak dalam No Deal Brexit pada 31 Oktober. Artinya, Inggris kemungkinan butuh waktu untuk mengurus proses Brexit yang lebih mulus, dan itu mungkin baru bisa awal tahun depan.

Berdasarkan jajak pendapat yang digelar Reuters yang melibatkan 35 ekonom, sebagian besar responden memperkirakan Brexit akan kembali ditunda. Sementara kemungkinan terjadinya No Deal Brexit adalah 35%, lebih tinggi ketimbang perkiraan Goldman Sachs.

Kalau sampai No Deal Brexit terjadi, dampaknya tidak main-main. Inggris bisa jatuh ke jurang resesi.

Mark Carney, Gubernur Bank Sentral Inggris (BoE), memperkirakan Produk Domestik Bruto (PDB) akan berkurang 5,5% jika terjadi No Deal Brexit. Plus akan ada kenaikan angka pengangguran menjadi 7% dan inflasi akan meroket ke 5,25%.



(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Tidak cuma di negara maju, kabar buruk juga menghinggapi negara berkembang seperti Indonesia. Bak petir di siang bolong, kemarin Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak akan mencapai 5% pada 2020.

Bank Dunia memperkirakan ekonomi Indonesia pada 2020 kemungkinan tumbuh 4,9% dan terus melambat menjadi 4,6% pada 2022. Kalau benar pertumbuhan ekonomi tahun depan hanya 4,9%, maka akan menjadi yang terendah sejak 2015.




Menurut Bank Dunia, perlambatan ekonomi Indonesia disebabkan oleh rendahnya produktivitas dan penurunan pertumbuhan tenaga kerja. Selain itu, perlambatan ekonomi global yang membuat harga komoditas anjlok membuat perekonomian Tanah Air kian tertekan.

“Jika pertumbuhan ekonomi China melambat 10 poin persentase, maka ekonomi Indonesia akan berkurang 0,3 poin persentase. Saat resesi global 2009, pertumbuhan ekonomi dunia turun 6,2 poin persentase dan ekonomi Indonesia berkurang 1,7 poin persentase,” jelas kajian Bank Dunia yang berjudul Global Economic Risk and Implication for Indonesia.

Tahun ini, nikmati saja pertumbuhan ekonomi yang masih di kisaran 5%. Bank Dunia memperkirakan ekonomi Indonesia pada 2019 tumbuh 5,1% sementara proyeksi pemerintah ada di 5,08%.

Sering kita tidak bisa menikmati dan terus mengkritik pertumbuhan ekonomi yang begitu-begitu saja, 5% terus-terusan. Padahal kalau sudah di bawah 5%, kita baru sadar bahwa bisa mempertahankan pertumbuhan ekonomi di kisaran itu adalah sebuah kemewahan. Penyesalan memang selalu datang belakangan.



(BERLANJUT KE HALAMAN 4)


Indonesia mungkin belum seperti negara-negara maju macam Jepang atau Inggris yang kemungkinan bakal mengalami kontraksi ekonomi, alias negative growth. Saat kontraksi terjadi dalam dua kuartal berturut-turut pada tahun yang sama, itu namanya resesi.

Namun kalau situasi memburuk, seperti perang dagang AS-China terus berkecamuk atau No Deal Brexit sampai kejadian, maka resesi ekonomi global bukan tidak mungkin terjadi. Peluang resesi, setidaknya di AS, semakin tinggi.

Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) New York memperkirakan probabilitas resesi terjadi pada Agustus 2020 mencapai 37,93%. Ini adalah angka tertinggi sejak Maret 2008.



Dengan status AS sebagai perekonomian terbesar di dunia, resesi di sana pasti akan menyeret ekonomi global ke jurang yang sama. Berdasarkan survei Absolute Strategy Research yang berbasis di London, peluang terjadinya resesi global mencapai 45%.

Apabila perekonomian global sudah terpeleset ke zona merah, Indonesia pasti kena getahnya. Mungkin belum sampai ke negative growth, tetapi perlambatan ekonomi lebih lanjut adalah sebuah keniscayaan.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular