Mirip Badminton, Pesimisme Ada di Mana-mana

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
25 November 2019 14:23
Mirip Badminton, Pesimisme Ada di Mana-mana
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Aristya Rahadian Krisabella)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pesimisme kini seperti badminton, di mana-mana. Aura perekonomian global yang gloomy membuat kepercayaan mengendur.

Pesimisme terlihat jelas di Jepang. Siang ini, Kantor Kabinet Jepang merilis dua data penting yaitu indeks Coincident Indicator dan Leading Indicator. Coincident Indicator adalah data-data ekonomi yang sudah terjadi misalnya output industrial, kondisi ketenagakerjaan, sampai penjualan ritel yang di Jepang disatukan menjadi satu indeks. Intinya, Coincident Indicator melambangkan kesehatan ekonomi terkini.

Pada September, angka indeks Coincident di Jepang tercatat 101,1. Membaik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 99. Ini menggambarkan kondisi perekonomian terkini di Negeri Matahari Terbit sebenarnya tidak jelek-jelek amat.

Namun, masalahnya ada di Leading Indicator. Berkebalikan dengan Coincident, Leading Indicator adalah serangkaian data yang bisa memprediksi arah perekonomian ke depan. Misalnya penciptaan lapangan kerja atau keyakinan konsumen.

Indikator ini menggambarkan arah perekonomian, apakah ekspansif atau kontraktif. Rasa percaya diri terhadap prospek perekonomian beberapa bulan ke depan tercermin di indeks ini.

Pada September, indeks Leading Indicator di Jepang adalah 91,9, sama seperti bulan sebelumnya. Angka ini adalah yang terendah sejak November 2009 atau nyaris 10 tahun lalu. Artinya, masyarakat Jepang kurang pede menghadapi tantangan perekonomian ke depan.

 

Tidak hanya di Jepang, negara dengan perekonomian terbesar di dunia, Amerika Serikat (AS), juga mengalami penurunan rasa percaya diri. The Conference Board melaporkan, Leading Economic Index pada Oktober tercatat 111,7. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 111,8.

Angka di atas 100 sebenarnya menunjukkan masyarakat dan dunia usaha masih optimistis. Namun sepertinya optimisme itu pudar karena Leading Economic Index di Negeri Paman Sam turun tiga bulan beruntun. Angka Oktober juga menjadi yang terendah sejak Februari.




Apa yang terjadi di Jepang dan AS adalah gambaran dari masalah yang melanda perekonomian global. Perlambatan ekonomi, bahkan ancaman resesi, menjadi risiko yang membayangi berbagai negara.

"Berlanjutnya ketegangan hubungan dagang AS-Tiongkok telah berdampak pada ekonomi dunia 2019 yang terus melambat. Pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan turun dari 3,6% pada 2018 menjadi hanya 3,0% pada 2019," demikian sebut keterangan tertulis Bank Indonesia.

Dana Moneter Internasional (IMF) sampai beberapa kali merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi global. Pada Januari, proyeksi IMF terhadap pertumbuhan ekonomi 2019 masih di angka 3,5%. Kemudian pada April, angkanya turun menjadi 3,3% dan proyeksi terbaru yaitu Oktober turun lagi ke 3%.


Menurut IMF setidaknya ada tiga penyebab utama perlambatan ekonomi dunia. Pertama adalah penurunan produksi dan penjualan, salah satunya terlihat dari penjualan kendaraan bermotor yang turun 3% tahun lalu.


Kedua adalah lemahnya kepercayaan diri pelaku usaha akibat friksi AS-China, terutama di bidang perdagangan dan teknologi. "Seiring dengan pemberlakuan berbagai bea masuk, biaya produksi meningkat. Perang dagang juga membuat situasi menjadi tidak pasti sehingga dunia usaha ragu untuk melakukan ekspansi dengan pembelian mesin dan peralatan," demikian sebut laporan IMF.

Faktor ketiga adalah perlambatan permintaan di China. Setelah mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi, China terus melakukan penyesuaian untuk menurunkan tingkat utang sehingga perekonomian lebih sehat.


Oleh karena itu, sebenarnya kunci untuk memulihkan perekonomian global adalah AS-China harus damai. Akhiri perang dagang yang sudah berlangsung selama lebih dari setahun, hapus segala bea masuk.

Ada harapan AS-China bisa mencapai kesepakatan damai dagang Fase I. Akhir pekan lalu, Presiden AS Donald Trump mengungkapkan dirinya sudah berkomunikasi dengan Presiden China Xi Jinping. Hasilnya cukup positif, di mana kesepakatan dagang diperkirakan bisa terjadi dalam waktu dekat.

"Kita akan segera memperoleh kesepakatan dengan China, mungkin sudah dekat," ujar Trump dalam wawancara bersama Fox News, seperti dikutip dari Reuters.


Namun, pelaku pasar juga mencemaskan ada faktor lain yang bisa mempengaruhi perjanjian damai dagang tersebut yaitu Hong Kong. Sebagai informasi, Kongres AS sudah menyetujui undang-undang penegakan hak asasi manusia di Hong Kong. Jika aturan ini diterapkan, maka AS bisa menjatuhkan embargo kepada pejabat China yang dinilai melakukan pelanggaran hak asasi manusia di wilayah eks koloni Inggris tersebut.

Beijing tentu tidak terima bila AS ikut campur terlalu jauh dengan urusan dalam negeri mereka. Bisa saja intervensi AS menjadi sandungan bagi tercapainya damai dagang.

"Memang ada pernyataan bahwa ada perkembangan positif AS-China akan mampu menyelesaikan masalah-masalah yang ada. Namun ada risiko, seperti dinamika di Hong Kong. Harapan memang belum sirna, tetapi kita harus mencermati bagaimana perkembangannya," kata Shusuke Yamada, Head of FX and Japan Equity Strategy di Merrill Lynch Japan Securities yang berbasis di Tokyo, seperti dikutip dari Reuters.


Selain itu, Trump juga menegaskan kesepakatan dengan China tidak bisa imbang. Kepentingan AS harus diutamakan, karena selama ini China dinilai telah berlaku tidak adil.

"AS menderita selama bertahun-tahun karena China mencatat surplus (perdagangan) yang begitu besar. Saya sudah mengatakan kepada Presiden Xi bahwa (kesepakatan) ini tidak bisa seimbang. Kami ada di lantai, sementara Anda sudah di langit-langit," tegas Trump dalam wawancara di Fox News.

Pada Januari-September 2019, AS mengalami defisit US$ 263,19 miliar kala berdagang dengan China. Tahun lalu, AS juga tekor US$ 419,53 miliar.



Pekan ini, tepatnya pada Selasa dini hari waktu Indonesia, US Cencus Bureau akan mengumumkan pembacaan awal neraca perdagangan AS. Nanti akan terlihat bagaimana perkembangan neraca perdagangan AS dengan China. Jika semakin parah, maka bisa menjadi sentimen negatif bagi rencana damai dagang.

Oleh karena itu, masih ada risiko AS-China tidak bisa dipertemukan. Selama AS masih membukukan defisit perdagangan dengan China, apalagi kalau nilainya semakin parah, maka Trump bakal semakin galak dan perang dagang bisa semakin panjang.

Kalau ini sampai terjadi, perang dagang AS-China yang berkepanjangan, maka bersiaplah melihat dunia yang semakin suram. Kepercayaan diri kian turun, dan ancaman resesi kian nyata.



TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular