Gawat Risiko Resesi di AS Meninggi, Masihkah Ada Harapan?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
23 September 2019 13:07
Gawat Risiko Resesi di AS Meninggi, Masihkah Ada Harapan?
Ilustrasi Dolar AS (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonomi Amerika Serikat (AS) memang masih tumbuh. Namun bukan berarti bebas dari risiko resesi.

Secara garis besar, resesi bisa diartikan pertumbuhan ekonomi yang negatif alias kontraksi dalam dua kuartal beruntun dalam tahun yang sama. Sejauh ini, AS belum mengendus risiko tersebut.

Pada kuartal III-2019, Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) Atlanta memperkirakan ekonomi Negeri Paman Sam tumbuh 1,9% secara kuartalan yang disetahunkan (annualized). Masih positif, meski melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 2%.

Namun kalau pertumbuhan ekonomi AS benar-benar sebesar 1,9%, maka akan menjadi laju terlemah sejak kuartal I-2017. Perlambatan ekonomi AS adalah sesuatu yang nyata, bukan sekadar mitos.

 

Apabila ekonomi AS terus melambat, maka peluang menuju resesi kian terbuka. Bukan apa-apa, kajian The Fed di dua negara bagian menunjukkan kans resesi memang meninggi.

Pertama adalah dari The Fed cabang New York. Dengan melihat tren imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 3 bulan dan 10 tahun, The Fed New York sampai pada kesimpulan bahwa probabilitas resesi di AS pada Agustus 2020 adalah 37,93%. Ini adalah angka tertinggi sejak Maret 2008.



Kedua, The Fed Cleveland bahkan punya prediksi yang lebih seram lagi. Dengan memperhatikan yield obligasi pemerintah tenor 3 bulan dan 10 tahun serta proyeksi pertumbuhan ekonomi, maka peluang terjadinya resesi pada Agustus 2020 mencapai 44,13%. Juga tertinggi sejak Maret 2013.

 


Sekarang AS memang 'hanya' mengalami masalah perlambatan ekonomi. Namun kalau ekonomi terus melambat, maka resesi tinggal masalah waktu.

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Akan tetapi, data-data ekonomi AS terbaru memberikan harapan bahwa perlambatan ekonomi bisa ditangkal. Kalau perlambatan ekonomi bisa dicegah, maka ruang menuju resesi bisa dipersempit.

Pertama, pembangunan rumah baru di Negeri Paman Sam pada Agustus tercatat 1,36 juta unit. Naik 12,3% dibandingkan bulan sebelumnya. Angka 1,36 juta adalah yang tertinggi sejak Juni 2007.



Kedua, output industrial AS pada Agustus naik 0,6% secara month-on-month (MoM). Ini adalah laju pertumbuhan terbaik sejak Agustus tahun lalu.



Ketiga, pembacaan awal indeks kepercayaan konsumen AS versi University of Michigan pada September adalah 92. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 89,8 dan lebih baik ketimbang konsensus pasar yang dihimpun Reuters sebesar 90,9.

Indeks ini memang masih di bawah 100, yang artinya konsumen masih berhati-hati dan menunda ekspansi. Namun pesimisme itu perlahan terkikis dan bulan tidak mungkin bisa kembali ke atas 100.

Keempat, penjualan ritel di AS pada Agustus tumbuh 0,4% MoM. Meski lebih rendah ketimbang laju pertumbuhan Juli yang 0,8%, tetapi angka Agustus lebih oke ketimbang konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu 0,2%.


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Apa yang membuat ekonomi AS perlahan bangkit? Jawabannya adalah perubahan posisi (stance) kebijakan The Fed.

Tahun lalu, Ketua Jerome 'Jay' Powell begitu agresif menaikkan suku bunga acuan sampai empat kali. Namun tahun ini The Fed sudah bias longgar dengan menurunkan suku bunga acuan dua kali.

 

Dampak perubahan stance The Fed itu sudah terlihat di suku bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Per akhir April, rata-rata suku bunga KPR di Negeri Adidaya adalah 4,31%. Terendah sejak Januari 2018.



Suku bunga KPR yang turun menyebabkan permintaan rumah naik. Inilah penyebab pembangunan rumah baru naik ke angka tertinggi sejak 2007.


Properti adalah leading sector, bidang usaha yang mempengaruhi sektor-sektor lain. Kala sektor properti tumbuh, maka penjualan semen naik, baja naik, angkutan barang semarak, dan sebagainya.

Jadi tidak heran pertumbuhan sektor properti menumbuhkan gairah perekonomian AS secara keseluruhan. Kalau AS bisa mempertahankan atau bahkan meningkatkan rapor ini, maka 'hantu' resesi tentu bisa diusir.



TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular