
Newsletter
Waspada, Harga Minyak Menggila!
Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & M Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
23 April 2019 05:35

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia babak belur pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), nilai tukar rupiah, dan obligasi pemerintah kompak terkoreksi.
Kemarin, IHSG ditutup amblas 1,42%. Meski melemah tajam, tetapi nasib IHSG masih lebih baik ketimbang Shanghai Composite yang anjlok 1,7%.
Sementara rupiah mengakhiri perdagangan pasar spot dengan depresiasi 0,21% terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Seluruh mata uang utama Benua Kuning melemah di hadapan dolar AS, dan rupiah menjadi yang terlemah ketiga.
Lalu imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun naik 3,6 basis poin (bps). Kenaikan yield adalah pertanda harga instrumen ini sedang turun karena sepinya permintaan atau ada tekanan jual.
Pekan lalu, pasar keuangan Asia relatif kuat di tengah periode perdagangan yang singkat karena long weekend. Selepas liburan, sepertinya pelaku pasar ramai-ramai mencairkan cuan. Entah ya, mungkin BU karena terlalu boros saat liburan.
Namun yang jelas, preferensi investor kemarin adalah dolar AS. Mata uang ini menjadi primadona karena akhir pekan lalu dirilis data-data ekonomi yang positif di Negeri Paman Sam.
Penjualan ritel di AS pada Maret naik 1,6% month-on-month (MoM), kenaikan tertinggi sejak September 2017. Jauh membaik dibandingkan Februari yang turun 0,2% MoM.
Sementara penjualan ritel inti naik 1% MoM, juga membaik ketimbang Februari yang minus 0,3%. Penjualan ritel inti mencerminkan konsumsi rumah tangga dalam komponen pembentuk Produk Domestik Bruto (PDB).
Data lainnya adalah klaim tunjangan pengangguran pada pekan yang berakhir 13 April turun 5.000 dibandingkan pekan sebelumnya menjadi 192.000. Ini merupakan klaim terendah sejak September 1969.
Data ini menggambarkan bahwa daya beli dan konsumsi tetap kuat sehingga sepertinya akan sulit melihat laju inflasi melambat. Ketika inflasi terakselerasi dan stabil di kisaran 2% seperti yang ditargetkan The Federal Reserve/The Fed, maka peluang penurunan suku bunga acuan menjadi mengecil.
Saat ini dolar AS tidak bisa berharap Federal Funds Rate naik seperti tahun lalu, tidak turun saja sudah alhamdulillah. Suku bunga acuan yang ditahan di kisaran 2,25-2,5% (median 2,375%) sudah cukup untuk menjadi sentimen positif bagi dolar AS.
Selain ke dolar AS, sepertinya arus modal juga mengarah ke pasar komoditas, utamanya minyak. Kemarin, harga minyak melonjak hingga 2% karena kabar AS akan menghapuskan keringanan impor minyak dari Iran oleh delapan negara pada awal Mei.
Artinya, pasokan si emas hitam diperkirakan bakal ketat sehingga investor mengamankan posisi dengan melakukan pembelian. Tingginya minat investor membuat harga komoditas ini naik tajam.
Dari dalam negeri, tidak ada sentimen yang bisa mengangkat karena Jokowi Effect sudah pudar. Pekan lalu, pasar berpersepsi bahwa Joko Widodo (Jokowi) berpeluang besar kembali menduduki jabatan Presiden Indonesia periode 2019-2024 hasil Pemilu 17 April lalu. Hal ini berdasarkan hasil hitung cepat (real count) dari sejumlah lembaga survei plus hitungan riil Komisi Pemilihan Umum (KPU) meski belum 100%.
Namun ternyata sentimen tersebut hanya bertahan sehari, dan kemarin seolah hilang tanpa bekas. Akibatnya, pasar keuangan Indonesia hanya bisa pasrah dan mengikuti sentimen yang terjadi di luar.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Kemarin, IHSG ditutup amblas 1,42%. Meski melemah tajam, tetapi nasib IHSG masih lebih baik ketimbang Shanghai Composite yang anjlok 1,7%.
Sementara rupiah mengakhiri perdagangan pasar spot dengan depresiasi 0,21% terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Seluruh mata uang utama Benua Kuning melemah di hadapan dolar AS, dan rupiah menjadi yang terlemah ketiga.
Lalu imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun naik 3,6 basis poin (bps). Kenaikan yield adalah pertanda harga instrumen ini sedang turun karena sepinya permintaan atau ada tekanan jual.
Pekan lalu, pasar keuangan Asia relatif kuat di tengah periode perdagangan yang singkat karena long weekend. Selepas liburan, sepertinya pelaku pasar ramai-ramai mencairkan cuan. Entah ya, mungkin BU karena terlalu boros saat liburan.
Namun yang jelas, preferensi investor kemarin adalah dolar AS. Mata uang ini menjadi primadona karena akhir pekan lalu dirilis data-data ekonomi yang positif di Negeri Paman Sam.
Penjualan ritel di AS pada Maret naik 1,6% month-on-month (MoM), kenaikan tertinggi sejak September 2017. Jauh membaik dibandingkan Februari yang turun 0,2% MoM.
Sementara penjualan ritel inti naik 1% MoM, juga membaik ketimbang Februari yang minus 0,3%. Penjualan ritel inti mencerminkan konsumsi rumah tangga dalam komponen pembentuk Produk Domestik Bruto (PDB).
Data lainnya adalah klaim tunjangan pengangguran pada pekan yang berakhir 13 April turun 5.000 dibandingkan pekan sebelumnya menjadi 192.000. Ini merupakan klaim terendah sejak September 1969.
Data ini menggambarkan bahwa daya beli dan konsumsi tetap kuat sehingga sepertinya akan sulit melihat laju inflasi melambat. Ketika inflasi terakselerasi dan stabil di kisaran 2% seperti yang ditargetkan The Federal Reserve/The Fed, maka peluang penurunan suku bunga acuan menjadi mengecil.
Saat ini dolar AS tidak bisa berharap Federal Funds Rate naik seperti tahun lalu, tidak turun saja sudah alhamdulillah. Suku bunga acuan yang ditahan di kisaran 2,25-2,5% (median 2,375%) sudah cukup untuk menjadi sentimen positif bagi dolar AS.
Selain ke dolar AS, sepertinya arus modal juga mengarah ke pasar komoditas, utamanya minyak. Kemarin, harga minyak melonjak hingga 2% karena kabar AS akan menghapuskan keringanan impor minyak dari Iran oleh delapan negara pada awal Mei.
Artinya, pasokan si emas hitam diperkirakan bakal ketat sehingga investor mengamankan posisi dengan melakukan pembelian. Tingginya minat investor membuat harga komoditas ini naik tajam.
Dari dalam negeri, tidak ada sentimen yang bisa mengangkat karena Jokowi Effect sudah pudar. Pekan lalu, pasar berpersepsi bahwa Joko Widodo (Jokowi) berpeluang besar kembali menduduki jabatan Presiden Indonesia periode 2019-2024 hasil Pemilu 17 April lalu. Hal ini berdasarkan hasil hitung cepat (real count) dari sejumlah lembaga survei plus hitungan riil Komisi Pemilihan Umum (KPU) meski belum 100%.
Namun ternyata sentimen tersebut hanya bertahan sehari, dan kemarin seolah hilang tanpa bekas. Akibatnya, pasar keuangan Indonesia hanya bisa pasrah dan mengikuti sentimen yang terjadi di luar.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular