
Newsletter
Waspada, Harga Minyak Menggila!
Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & M Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
23 April 2019 05:35

Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu penampilan Wall Street yang ogah-ogahan, kurang trengginas. Dikhawatirkan mentalitas ini menular ke Asia, termasuk Indonesia.
Sentimen kedua adalah nilai tukar dolar AS yang berpotensi melemah. Pada pukul 04:50 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) terkoreksi 0,2%.
Seperti halnya pasar saham, pasar valas pun masih diterjang jetlag karena libur panjang. Perdagangan berlangsung sepi bin tipis, dan mayoritas investor memanfaatkannya dengan mengambil untung (profit taking).
Juga mirip dengan di pasar saham, perubahan proyeksi pertumbuhan ekonomi AS tidak (atau belum, siapa yang tahu?) mempengaruhi pasar valas. Minimnya sentimen yang bisa mengangkat dolar AS membuat mata uang ini tertekan. Situasi yang tentu bisa dimanfaatkan oleh rupiah cs untuk membalas dendam.
Sentimen ketiga, yang harus diwaspadai oleh rupiah, adalah harga minyak yang masih melonjak. Pada pukul 05:01 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet melesat masing-masing 3,31% dan 2,55%.
Faktor yang mengatrol harga minyak pun belum berubah, masih seputar penghapusan keringanan impor minyak dari Iran mulai Mei mendatang. Mike Pompeo, Menteri Luar Negeri AS, menegaskan bahwa Washington ingin ekspor minyak Iran turun sampai ke angka nol.
Bagi rupiah, kenaikan harga minyak berpotensi menjadi musibah. Pasalnya, Indonesia adalah negara net importir minyak yang mau tidak mau harus mengimpor demi memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Ketika harga minyak melonjak, maka biaya importasi komoditas ini pun ikut membengkak. Akibatnya, tekanan di transaksi berjalan (current account) akan semakin berat dan rupiah kian kekurangan modal untuk menguat.
Transaksi berjalan memang modal yang sangat penting, lantaran menggambarkan pasokan devisa yang tidak mudah berubah (dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa). Tanpa transaksi berjalan yang kuat, rupiah hanya mengandalkan pasokan valas dari portofolio di sektor keuangan alias hot money yang bisa datang dan pergi dalam satu kedipan mata. Tentu sangat berisiko.
Well, hari ini memang sepertinya perdagangan akan berlangsung datar-datar saja tanpa sentimen yang kuat (seperti yang terjadi di Wall Street). Namun sepertinya pelaku pasar patut memantau perkembangan harga minyak, yang bisa menjadi pemberat langkah rupiah dan aset-aset berbasis mata uang Tanah Air.
Sebab kala rupiah melemah, aset-aset berbasis mata uang ini akan terkena getahnya. Keuntungan yang didapat investor, terutama asing, hanya akan menjadi recehan kala dikonversikan ke valas karena rupiah nilainya turun. Investor mana yang mau mengoleksi aset semacam ini?
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
(aji/aji)
Sentimen kedua adalah nilai tukar dolar AS yang berpotensi melemah. Pada pukul 04:50 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) terkoreksi 0,2%.
Seperti halnya pasar saham, pasar valas pun masih diterjang jetlag karena libur panjang. Perdagangan berlangsung sepi bin tipis, dan mayoritas investor memanfaatkannya dengan mengambil untung (profit taking).
Juga mirip dengan di pasar saham, perubahan proyeksi pertumbuhan ekonomi AS tidak (atau belum, siapa yang tahu?) mempengaruhi pasar valas. Minimnya sentimen yang bisa mengangkat dolar AS membuat mata uang ini tertekan. Situasi yang tentu bisa dimanfaatkan oleh rupiah cs untuk membalas dendam.
Sentimen ketiga, yang harus diwaspadai oleh rupiah, adalah harga minyak yang masih melonjak. Pada pukul 05:01 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet melesat masing-masing 3,31% dan 2,55%.
Faktor yang mengatrol harga minyak pun belum berubah, masih seputar penghapusan keringanan impor minyak dari Iran mulai Mei mendatang. Mike Pompeo, Menteri Luar Negeri AS, menegaskan bahwa Washington ingin ekspor minyak Iran turun sampai ke angka nol.
Bagi rupiah, kenaikan harga minyak berpotensi menjadi musibah. Pasalnya, Indonesia adalah negara net importir minyak yang mau tidak mau harus mengimpor demi memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Ketika harga minyak melonjak, maka biaya importasi komoditas ini pun ikut membengkak. Akibatnya, tekanan di transaksi berjalan (current account) akan semakin berat dan rupiah kian kekurangan modal untuk menguat.
Transaksi berjalan memang modal yang sangat penting, lantaran menggambarkan pasokan devisa yang tidak mudah berubah (dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa). Tanpa transaksi berjalan yang kuat, rupiah hanya mengandalkan pasokan valas dari portofolio di sektor keuangan alias hot money yang bisa datang dan pergi dalam satu kedipan mata. Tentu sangat berisiko.
Well, hari ini memang sepertinya perdagangan akan berlangsung datar-datar saja tanpa sentimen yang kuat (seperti yang terjadi di Wall Street). Namun sepertinya pelaku pasar patut memantau perkembangan harga minyak, yang bisa menjadi pemberat langkah rupiah dan aset-aset berbasis mata uang Tanah Air.
Sebab kala rupiah melemah, aset-aset berbasis mata uang ini akan terkena getahnya. Keuntungan yang didapat investor, terutama asing, hanya akan menjadi recehan kala dikonversikan ke valas karena rupiah nilainya turun. Investor mana yang mau mengoleksi aset semacam ini?
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
(aji/aji)
Next Page
Simak Agenda dan Data Berikut Ini
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular