
Rekor! Harga Obligasi Negara & Korporasi Kompak Bullish
Irvin Avriano Arief, CNBC Indonesia
15 March 2019 21:21

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga obligasi rupiah pemerintah seri 10 tahun sudah naik lebih dari 5% sejak terjun ke titik terendah pada 15 Oktober 2018 menjadi 87,9% dari 82%, seiring dengan penguatan pasar obligasi di tengah rezim suku bunga tinggi.
Kenaikan harga saat ini sudah mencapai level yang hampir menyamai posisi sejak Agustus tahun lalu. Titik terendah harga yang menjadi acuan adalah posisi terendah harga surat utang negara (SUN) seri acuan 10 tahun sejak Januari 2016.
Perbaikan jangka panjang tersebut menunjukkan kondisi global yang semakin membaik dibandingkan dengan periode Oktober 2018 di mana saat itu tensi perang dagang AS-China yang masih tinggi, pemangkasan proyeksi perekonomian global oleh IMF, dan melemahnya rupiah.
Data Refinitiv menunjukkan kenaikan harga tersebut terjadi sebanyak 529 basis poin (bps), yang juga diiringi dengan penurunan tingkat imbal hasil (yield) sebesar 105 bps menjadi 7,8% dari 8,85%.
Dari data di atas tampak bahwa pergerakan yield SUN tenor 10 tahun menunjukkan posisi terendah pernah mencapai 7,8% pada Februari, dan penguatan hari ini sudah menuju posisi terendah tersebut.
Pergerakan harga dan yield obligasi saling bertolak belakang di pasar sekunder. Besaran 100 bps setara 1%.
Yield juga lebih umum dijadikan acuan transaksi obligasi dibanding harga karena mencerminkan kupon, tenor, dan risiko dalam satu angka.
SUN adalah surat berharga negara (SBN) konvensional rupiah yang perdagangannya paling ramai di pasar domestik, sehingga dapat mencerminkan kondisi pasar obligasi secara umum.
Seri FR0064 bertenor 10 tahun menjadi satu dari empat seri yang menjadi acuan pasar, bersama dengan seri FR0063 bertenor 5 tahun, FR0065 bertenor 15 tahun, dan FR0075 bertenor 30 tahun. Seri acuan ditentukan setiap tahun.
Demetrius Ari Pitojo, Chief Investment Officer PT Eastspring Investments Indonesia, mengatakan kenaikan harga menunjukkan masih menariknya SUN di mata investor di tengah suku bunga acuan yang tinggi di Indonesia.
"Karena suku bunga itu, jadi ya SUN masih menarik," ujarnya di Studio CNBC Indonesia pekan ini (13/3/19).
Dia menambahkan, pasar obligasi masih dapat menguat lagi tahun ini jika suku bunga acuan diturunkan Bank Indonesia, mengingat tahun lalu kenaikan suku bunga 7 Day Reverse Repo Rate (7DRRR) sebanyak 6 kali dalam 1 tahun.
Data kenaikan SUN tersebut juga diiringi oleh kenaikan harga obligasi korporasi.
Naiknya harga obligasi korporasi yang lebih tidak likuid dibanding SUN tersebut tercermin dari pergerakan INDOBeX Corporate Total Return besutan PT Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI/IBPA) yang naik 7,92% menjadi 272 dari 252 pada periode yang sama dengan SUN tadi.
Dimas Yusuf, Investment Specialist PT Sucorinvest Asset Management, mengatakan naiknya INDOBeX Corporate Total Return memang mencerminkan pasar obligasi korporasi yang sudah terasa bertambah ramai sejak sebulan terakhir.
"Permintaan untuk obligasi korporasi sedang tinggi."
Direktur Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA) Wahyu Trenggono mengatakan rebound (naiknya) pasar obligasi lebih didorong oleh langkah bank sentral AS, The Fed, yang mulai memberikan sinyal kalem (dovish) terkait kebijakan suku bunga Fed Funds Rate (FFR) tahun ini.
"[Juga dipengaruhi] kebijakan bank sentral negara lain yang cenderung melonggar. Sejak awal tahun, sentimen meredanya tensi perang dagang AS-China juga memicu reli pasar hingga Februari."
Selain itu, lanjutnya, tren pasar obligasi negara dan pasar surat utang korporasi memang saling beriringan dan bersamaan penguatannya.
Morgan Stanley, bank investasi global, memprediksi kondisi pasar obligasi Indonesia akan semakin membaik memasuki kuartal III-2019 ketika Bank Indonesia diprediksi mulai menurunkan suku bunga acuan, yang tentunya dapat memicu kenaikan lanjutan bagi harga obligasi rupiah.
Morgan Stanley bahkan menyarankan bagi investor untuk membeli obligasi rupiah pemerintah tenor 10 tahun karena prediksi penurunan suku bunga tersebut sudah dibarengi dengan kondisi makroekonomi Indonesia yang membaik.
Pasar Hari Ini
Pada akhir pekan ini, Jumat (15/3/2019), data neraca perdagangan Indonesia memicu penguatan pasar obligasi di tengah kondusifnya pasar global. Naiknya harga SUN itu tidak senada dengan koreksi yang terjadi di pasar surat utang pemerintah negara berkembang yang lain.
Data Refinitiv menunjukkan menguatnya harga SUN itu tercermin dari empat seri acuan (benchmark) yang sekaligus menurunkan tingkat imbal hasilnya (yield).
Seri acuan yang paling menguat hari ini adalah FR0068 yang bertenor 15 tahun dengan penurunan yield 8,8 basis poin (bps) menjadi 8,12%. Besaran 100 bps setara dengan 1%.
Data neraca perdagangan diumumkan dengan catatan yang jauh di atas prediksi pelaku pasar dan berbalik dari defisit yang terjadi selama 4 bulan terakhir menjadi surplus. Data tersebut sukses semakin mendorong perbaikan harga SUN di pasar.
Sumber: Refinitiv
Apresiasi SBN hari ini juga membuat selisih (spread) obligasi rupiah pemerintah tenor 10 tahun dengan surat utang pemerintah AS (US Treasury) tenor serupa mencapai 517 bps, menyempit dari posisi kemarin 520 bps.
Yield US Treasury 10 tahun stabil pada 2,63%. Terkait dengan pasar US Treasury, saat ini masih terjadi inversi tenor 2 tahun-5 tahun.
Inversi adalah kondisi lebih tingginya yield seri lebih pendek dibanding yield seri lebih panjang.
Inversi tersebut membentuk kurva yield terbalik (inverted yield curve), yang menjadi cerminan investor yang lebih meminati US Treasury seri panjang dibanding yang pendek karena menilai akan terjadi kontraksi jangka pendek, sekaligus indikator adanya potensi tekanan ekonomi bahkan hingga krisis.
Sumber: Refinitiv
Terkait dengan porsi investor di pasar SBN, data terakhir menunjukkan investor asing menggenggam Rp 940,4 triliun SBN, atau 38,03% dari total beredar Rp 2.472 triliun berdasarkan data per 14 Maret.
Angka kepemilikannya masih positif atau bertambah Rp 47,15 triliun dibanding posisi akhir Desember Rp 893,25 triliun, sehingga persentasenya masih naik dari 37,71% pada periode yang sama.
Dari pasar surat utang negara berkembang, penguatan menjadi mayoritas hari ini yaitu di China, India, Rusia, Singapura, dan Afsel.
Di negara maju, penguatan hanya terjadi di pasar OAT Perancis dan sisanya terkoreksi. Hal tersebut menunjukkan investor global sedang lebih meminati pasar saham yang lebih berisiko dibandingkan dengan pasar obligasi.
Sumber: Refinitiv
TIM RISET CNBC INDONESIA
(irv/tas) Next Article Harga Empat Seri Acuan SUN Naik Lagi, Apa Sih Pemicunya?
Kenaikan harga saat ini sudah mencapai level yang hampir menyamai posisi sejak Agustus tahun lalu. Titik terendah harga yang menjadi acuan adalah posisi terendah harga surat utang negara (SUN) seri acuan 10 tahun sejak Januari 2016.
Perbaikan jangka panjang tersebut menunjukkan kondisi global yang semakin membaik dibandingkan dengan periode Oktober 2018 di mana saat itu tensi perang dagang AS-China yang masih tinggi, pemangkasan proyeksi perekonomian global oleh IMF, dan melemahnya rupiah.
Data Refinitiv menunjukkan kenaikan harga tersebut terjadi sebanyak 529 basis poin (bps), yang juga diiringi dengan penurunan tingkat imbal hasil (yield) sebesar 105 bps menjadi 7,8% dari 8,85%.
Dari data di atas tampak bahwa pergerakan yield SUN tenor 10 tahun menunjukkan posisi terendah pernah mencapai 7,8% pada Februari, dan penguatan hari ini sudah menuju posisi terendah tersebut.
Pergerakan harga dan yield obligasi saling bertolak belakang di pasar sekunder. Besaran 100 bps setara 1%.
Yield juga lebih umum dijadikan acuan transaksi obligasi dibanding harga karena mencerminkan kupon, tenor, dan risiko dalam satu angka.
SUN adalah surat berharga negara (SBN) konvensional rupiah yang perdagangannya paling ramai di pasar domestik, sehingga dapat mencerminkan kondisi pasar obligasi secara umum.
Seri FR0064 bertenor 10 tahun menjadi satu dari empat seri yang menjadi acuan pasar, bersama dengan seri FR0063 bertenor 5 tahun, FR0065 bertenor 15 tahun, dan FR0075 bertenor 30 tahun. Seri acuan ditentukan setiap tahun.
Demetrius Ari Pitojo, Chief Investment Officer PT Eastspring Investments Indonesia, mengatakan kenaikan harga menunjukkan masih menariknya SUN di mata investor di tengah suku bunga acuan yang tinggi di Indonesia.
"Karena suku bunga itu, jadi ya SUN masih menarik," ujarnya di Studio CNBC Indonesia pekan ini (13/3/19).
Dia menambahkan, pasar obligasi masih dapat menguat lagi tahun ini jika suku bunga acuan diturunkan Bank Indonesia, mengingat tahun lalu kenaikan suku bunga 7 Day Reverse Repo Rate (7DRRR) sebanyak 6 kali dalam 1 tahun.
Data kenaikan SUN tersebut juga diiringi oleh kenaikan harga obligasi korporasi.
Naiknya harga obligasi korporasi yang lebih tidak likuid dibanding SUN tersebut tercermin dari pergerakan INDOBeX Corporate Total Return besutan PT Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI/IBPA) yang naik 7,92% menjadi 272 dari 252 pada periode yang sama dengan SUN tadi.
Dimas Yusuf, Investment Specialist PT Sucorinvest Asset Management, mengatakan naiknya INDOBeX Corporate Total Return memang mencerminkan pasar obligasi korporasi yang sudah terasa bertambah ramai sejak sebulan terakhir.
"Permintaan untuk obligasi korporasi sedang tinggi."
Direktur Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA) Wahyu Trenggono mengatakan rebound (naiknya) pasar obligasi lebih didorong oleh langkah bank sentral AS, The Fed, yang mulai memberikan sinyal kalem (dovish) terkait kebijakan suku bunga Fed Funds Rate (FFR) tahun ini.
"[Juga dipengaruhi] kebijakan bank sentral negara lain yang cenderung melonggar. Sejak awal tahun, sentimen meredanya tensi perang dagang AS-China juga memicu reli pasar hingga Februari."
Selain itu, lanjutnya, tren pasar obligasi negara dan pasar surat utang korporasi memang saling beriringan dan bersamaan penguatannya.
Morgan Stanley, bank investasi global, memprediksi kondisi pasar obligasi Indonesia akan semakin membaik memasuki kuartal III-2019 ketika Bank Indonesia diprediksi mulai menurunkan suku bunga acuan, yang tentunya dapat memicu kenaikan lanjutan bagi harga obligasi rupiah.
Morgan Stanley bahkan menyarankan bagi investor untuk membeli obligasi rupiah pemerintah tenor 10 tahun karena prediksi penurunan suku bunga tersebut sudah dibarengi dengan kondisi makroekonomi Indonesia yang membaik.
Pasar Hari Ini
Pada akhir pekan ini, Jumat (15/3/2019), data neraca perdagangan Indonesia memicu penguatan pasar obligasi di tengah kondusifnya pasar global. Naiknya harga SUN itu tidak senada dengan koreksi yang terjadi di pasar surat utang pemerintah negara berkembang yang lain.
Data Refinitiv menunjukkan menguatnya harga SUN itu tercermin dari empat seri acuan (benchmark) yang sekaligus menurunkan tingkat imbal hasilnya (yield).
Seri acuan yang paling menguat hari ini adalah FR0068 yang bertenor 15 tahun dengan penurunan yield 8,8 basis poin (bps) menjadi 8,12%. Besaran 100 bps setara dengan 1%.
Data neraca perdagangan diumumkan dengan catatan yang jauh di atas prediksi pelaku pasar dan berbalik dari defisit yang terjadi selama 4 bulan terakhir menjadi surplus. Data tersebut sukses semakin mendorong perbaikan harga SUN di pasar.
Yield Obligasi Negara Acuan 15 Mar 2019 | |||||
Seri | Jatuh tempo | Yield 14 Mar 2019 (%) | Yield 15 Mar 2019 (%) | Selisih (basis poin) | Yield wajar IBPA 15 Mar'19 |
FR0077 | 5 tahun | 7.434 | 7.394 | -4.00 | 7.3148 |
FR0078 | 10 tahun | 7.837 | 7.802 | -3.50 | 7.754 |
FR0068 | 15 tahun | 8.21 | 8.122 | -8.80 | 8.0898 |
FR0079 | 20 tahun | 8.311 | 8.238 | -7.30 | 8.1974 |
Avg movement | -5.90 |
Apresiasi SBN hari ini juga membuat selisih (spread) obligasi rupiah pemerintah tenor 10 tahun dengan surat utang pemerintah AS (US Treasury) tenor serupa mencapai 517 bps, menyempit dari posisi kemarin 520 bps.
Yield US Treasury 10 tahun stabil pada 2,63%. Terkait dengan pasar US Treasury, saat ini masih terjadi inversi tenor 2 tahun-5 tahun.
Inversi adalah kondisi lebih tingginya yield seri lebih pendek dibanding yield seri lebih panjang.
Inversi tersebut membentuk kurva yield terbalik (inverted yield curve), yang menjadi cerminan investor yang lebih meminati US Treasury seri panjang dibanding yang pendek karena menilai akan terjadi kontraksi jangka pendek, sekaligus indikator adanya potensi tekanan ekonomi bahkan hingga krisis.
Yield US Treasury Acuan 15 Mar 2019 | |||||
Seri | Benchmark | Yield 14 Mar 2019 (%) | Yield 15 Mar 2019 (%) | Selisih (Inversi) | Satuan Inversi |
UST BILL 2019 | 3 Bulan | 2.452 | 2.445 | 3 bulan-5 tahun | 1.3 |
UST 2020 | 2 Tahun | 2.461 | 2.465 | 2 tahun-5 tahun | 3.3 |
UST 2021 | 3 Tahun | 2.418 | 2.421 | 3 tahun-5 tahun | -1.1 |
UST 2023 | 5 Tahun | 2.43 | 2.432 | 3 bulan-10 tahun | -18.7 |
UST 2028 | 10 Tahun | 2.63 | 2.632 | 2 tahun-10 tahun | -16.7 |
Terkait dengan porsi investor di pasar SBN, data terakhir menunjukkan investor asing menggenggam Rp 940,4 triliun SBN, atau 38,03% dari total beredar Rp 2.472 triliun berdasarkan data per 14 Maret.
Angka kepemilikannya masih positif atau bertambah Rp 47,15 triliun dibanding posisi akhir Desember Rp 893,25 triliun, sehingga persentasenya masih naik dari 37,71% pada periode yang sama.
Dari pasar surat utang negara berkembang, penguatan menjadi mayoritas hari ini yaitu di China, India, Rusia, Singapura, dan Afsel.
Di negara maju, penguatan hanya terjadi di pasar OAT Perancis dan sisanya terkoreksi. Hal tersebut menunjukkan investor global sedang lebih meminati pasar saham yang lebih berisiko dibandingkan dengan pasar obligasi.
Yield Obligasi Tenor 10 Tahun Negara Maju & Berkembang | |||
Negara | Yield 14 Mar 2019 (%) | Yield 15 Mar 2019 (%) | Selisih (basis poin) |
Brasil | 8.75 | 8.845 | 9.50 |
China | 3.164 | 3.155 | -0.90 |
Jerman | 0.086 | 0.096 | 1.00 |
Perancis | 0.472 | 0.469 | -0.30 |
Inggris | 1.222 | 1.233 | 1.10 |
India | 7.548 | 7.501 | -4.70 |
Jepang | -0.042 | -0.036 | 0.60 |
Malaysia | 3.84 | 3.853 | 1.30 |
Filipina | 6.234 | 6.283 | 4.90 |
Rusia | 8.47 | 8.44 | -3.00 |
Singapura | 2.214 | 2.199 | -1.50 |
Thailand | 2.55 | 2.56 | 1.00 |
Amerika Serikat | 2.63 | 2.632 | 0.20 |
Afrika Selatan | 8.76 | 8.715 | -4.50 |
TIM RISET CNBC INDONESIA
(irv/tas) Next Article Harga Empat Seri Acuan SUN Naik Lagi, Apa Sih Pemicunya?
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular