
ICP Anjlok, APBN dan Penerimaan Negara 2019 Terancam?
Gustidha Budiartie, CNBC Indonesia
03 January 2019 12:30

Jakarta, CNBC Indonesia- Rata-rata harga minyak Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) turun tajam di Desember 2018. Berdasar data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, ICP Desember merosot ke level US$ 54,01 per barel.
Harga ini turun jauh dibanding November 2018 yang masih di level US$ 62,98 per barel. Secara keseluruhan, rata-rata ICP di 2018 adalah US$ 67,42 per barel. Angka ini sebenarnya meleset dari asumsi makro APBN 2018 yang mematok US$ 48 per barel. Harga minyak dunia, ternyata merangkak naik di awal tahun 2018 dan terus meroket hingga sempat menyentuh US$ 80 per barel pada September 2018.
Oktober 2018, sektor perminyakan terhantam dan harga mulai merosot. Penyebabnya antara lain produksi minyak AS yang meluber. Alhasil, dalam sebulan harga minyak dunia rontok sampai 25%.
Anjloknya harga minyak dunia ini menyeret harga minyak Indonesia atau ICP. Penurunan tercatat tajam terlihat dari Oktober, di mana ICP sebelumnya di level US$ 77 per barel lalu merosot ke US$ 62,9 per barel.
Angka ini makin turun tajam di akhir tahun, ditutup dengan rata-rata US$ 54,01 di Desember. Sementara harga minyak dunia dan ICP menurun, asumsi makro di APBN 2019 masih menyiratkan optimisme dengan mematok US$ 70 per barel.
JP Morgan dalam wawancara di CNBC International justru memprediksi harga minyak Brent di 2019 tidak akan jauh dari level US$ 55 per barel.
"JP Morgan berpatokan pada pertemuan OPEC Desember lalu, jika mereka hanya melakukan di paruh pertama atau tidak setahun penuh, maka skenario kami harga minyak akan di kisaran US$ 55 untuk 2019," Head of Asia Pacific Oil and Gas JP Morgan Scott Darling saat diwawancara CNBC International, Rabu (2/1/2019).
Scott Darling mengatakan, faktor-faktor yang dapat menjaga harga minyak lemah pada 2019 termasuk permintaan minyak mentah yang lesu dan ketidakpastian atas kepatuhan penuh dari anggota OPEC, termasuk juga produsen terbesar Arab Saudi, atas pengurangan pasokan 1,2 juta barel per hari yang disepakati.
Sinyal lemahnya harga minyak dunia menguat dengan turunnya kuota impor minyak dari China, sebagaimana diberitakan oleh Reuters.
Dikutip dari Reuters, Kementerian Perdagangan China menyetujui impor untuk mengisi kilang-kilang minyak di negeri tersebut sebanyak 89,84 juta ton untuk periode pertama di 2019.
Jumlah ini merosot 26% dibanding jatah impor di periode serupa tahun lalu, yang mencapai 121,32 juta ton. Jatah impor di periode awal ini diberikan kementerian ke 58 perusahaan. Sebagaimana diungkap oleh empat sumber Reuters yang memiliki akses ke dokumen tersebut, Rabu (2/1/2019).
[Gambas:Video CNBC]
Asumsi makro APBN 2018 mematok ICP di level US$ 48 per barel, namun harga minyak dunia justru naik terus. Pemerintah memutuskan untuk tidak mengubah APBN di tengah jalan.
Alhasil, ibarat ketiban durian runtuh, penerimaan negara pun melewati target yang dipatok tertolong oleh kenaikan harga minyak. "Pada tahun ini untuk pertama kalinya Kementerian Keuangan tidak mengundang-undangkan APBN-P dan tahun 2018 ditutup dengan Penerimaan Negara sebesar 100%," ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Namun, akan beda hasilnya jika harga minyak merosot dan jauh di bawah asumsi makro APBN. APBN 2019 mematok ICP dengan penuh optimisme, yakni di level US$ 70 per barel. Sementara realisasi harga minyak per 2 Januari, untuk Brent kini di level US$ 53 per barel.
JP Morgan proyeksi harga minyak 2019 di rata-rata US$ 55 per barel untuk Brent, jika pemerintah berkeras ICP asumsi makro US$ 70 per barel, terdapat disparitas sangat lebar yang bisa mengancam penghitungan penerimaan negara.
Sebagaimana disebut dalam nota keuangan, setiap perubahan yang terjadi pada asumsi dasar ekonomi makro akan menyebabkan perubahan pada besaran pendapatan negara. Untuk ICP setiap ada perubahan US$ 1 dolar akan berdampak Rp 2,9 triliun hingga Rp 3,8 triliun ke penerimaan negara.
Dalam wawancara khusus bersama CNBC Indonesia pertengahan Desember lalu, Menteri ESDM Ignasius Jonan juga sudah mengkhawatirkan perkara ini. "Kalu saya lihat, mungkin pada satu titik ya, tidak tahu bulan apa ini tergantung Ibu Menteri Keuangan konsultasi dengan Menko, atau juga di sidang kabinet, minta persetujuan Bapak Presiden, ya. Saya khawatir bisa ada APBNP," kata Jonan.
Ini karena, kata Jonan, ICP dipatok US$ 70 per barel di APBN sementara realisasi sudah di level US$ 54 - US$ 55 per barel. "Ini bisa beda besar di penerimaan PNBP dan pajak migas. Kedua rupiah juga, dipatok Rp 15 ribu tapi jangan jangan bisa kuat di Rp 14 ribu . Nah, mesti diadjust lagi ya. Tapi ini terserah Menteri Keuangan dan kabinet," jelasnya.
[Gambas:Video CNBC]
(gus/roy) Next Article Mulai Naik, Harga Minyak ICP Mei Sentuh US$ 25,67
Harga ini turun jauh dibanding November 2018 yang masih di level US$ 62,98 per barel. Secara keseluruhan, rata-rata ICP di 2018 adalah US$ 67,42 per barel. Angka ini sebenarnya meleset dari asumsi makro APBN 2018 yang mematok US$ 48 per barel. Harga minyak dunia, ternyata merangkak naik di awal tahun 2018 dan terus meroket hingga sempat menyentuh US$ 80 per barel pada September 2018.
Oktober 2018, sektor perminyakan terhantam dan harga mulai merosot. Penyebabnya antara lain produksi minyak AS yang meluber. Alhasil, dalam sebulan harga minyak dunia rontok sampai 25%.
Anjloknya harga minyak dunia ini menyeret harga minyak Indonesia atau ICP. Penurunan tercatat tajam terlihat dari Oktober, di mana ICP sebelumnya di level US$ 77 per barel lalu merosot ke US$ 62,9 per barel.
Angka ini makin turun tajam di akhir tahun, ditutup dengan rata-rata US$ 54,01 di Desember. Sementara harga minyak dunia dan ICP menurun, asumsi makro di APBN 2019 masih menyiratkan optimisme dengan mematok US$ 70 per barel.
JP Morgan dalam wawancara di CNBC International justru memprediksi harga minyak Brent di 2019 tidak akan jauh dari level US$ 55 per barel.
Scott Darling mengatakan, faktor-faktor yang dapat menjaga harga minyak lemah pada 2019 termasuk permintaan minyak mentah yang lesu dan ketidakpastian atas kepatuhan penuh dari anggota OPEC, termasuk juga produsen terbesar Arab Saudi, atas pengurangan pasokan 1,2 juta barel per hari yang disepakati.
Sinyal lemahnya harga minyak dunia menguat dengan turunnya kuota impor minyak dari China, sebagaimana diberitakan oleh Reuters.
Dikutip dari Reuters, Kementerian Perdagangan China menyetujui impor untuk mengisi kilang-kilang minyak di negeri tersebut sebanyak 89,84 juta ton untuk periode pertama di 2019.
Jumlah ini merosot 26% dibanding jatah impor di periode serupa tahun lalu, yang mencapai 121,32 juta ton. Jatah impor di periode awal ini diberikan kementerian ke 58 perusahaan. Sebagaimana diungkap oleh empat sumber Reuters yang memiliki akses ke dokumen tersebut, Rabu (2/1/2019).
[Gambas:Video CNBC]
Asumsi makro APBN 2018 mematok ICP di level US$ 48 per barel, namun harga minyak dunia justru naik terus. Pemerintah memutuskan untuk tidak mengubah APBN di tengah jalan.
Alhasil, ibarat ketiban durian runtuh, penerimaan negara pun melewati target yang dipatok tertolong oleh kenaikan harga minyak. "Pada tahun ini untuk pertama kalinya Kementerian Keuangan tidak mengundang-undangkan APBN-P dan tahun 2018 ditutup dengan Penerimaan Negara sebesar 100%," ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Namun, akan beda hasilnya jika harga minyak merosot dan jauh di bawah asumsi makro APBN. APBN 2019 mematok ICP dengan penuh optimisme, yakni di level US$ 70 per barel. Sementara realisasi harga minyak per 2 Januari, untuk Brent kini di level US$ 53 per barel.
JP Morgan proyeksi harga minyak 2019 di rata-rata US$ 55 per barel untuk Brent, jika pemerintah berkeras ICP asumsi makro US$ 70 per barel, terdapat disparitas sangat lebar yang bisa mengancam penghitungan penerimaan negara.
Sebagaimana disebut dalam nota keuangan, setiap perubahan yang terjadi pada asumsi dasar ekonomi makro akan menyebabkan perubahan pada besaran pendapatan negara. Untuk ICP setiap ada perubahan US$ 1 dolar akan berdampak Rp 2,9 triliun hingga Rp 3,8 triliun ke penerimaan negara.
Dalam wawancara khusus bersama CNBC Indonesia pertengahan Desember lalu, Menteri ESDM Ignasius Jonan juga sudah mengkhawatirkan perkara ini. "Kalu saya lihat, mungkin pada satu titik ya, tidak tahu bulan apa ini tergantung Ibu Menteri Keuangan konsultasi dengan Menko, atau juga di sidang kabinet, minta persetujuan Bapak Presiden, ya. Saya khawatir bisa ada APBNP," kata Jonan.
Ini karena, kata Jonan, ICP dipatok US$ 70 per barel di APBN sementara realisasi sudah di level US$ 54 - US$ 55 per barel. "Ini bisa beda besar di penerimaan PNBP dan pajak migas. Kedua rupiah juga, dipatok Rp 15 ribu tapi jangan jangan bisa kuat di Rp 14 ribu . Nah, mesti diadjust lagi ya. Tapi ini terserah Menteri Keuangan dan kabinet," jelasnya.
[Gambas:Video CNBC]
(gus/roy) Next Article Mulai Naik, Harga Minyak ICP Mei Sentuh US$ 25,67
Most Popular