
Durian Runtuh Sri Mulyani: Harga Minyak & Jebloknya Rupiah
Herdaru Purnomo, CNBC Indonesia
03 January 2019 10:57

"Pada tahun ini untuk pertama kalinya Kementerian Keuangan tidak mengundang-undangkan APBN Perubahan dan tahun 2018 ditutup dengan Penerimaan Negara sebesar 100%."
Kata-kata tersebut diucapkan langsung oleh sangĀ Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Penerimaan negara tahun 2018 mencapai 102,5% (Rp 1.942,3 triliun) dari target sebesar Rp 1.894,7 triliun.
Pemerintah membanggakan penerimaan negara tersebut di tengah anjloknya nilai tukar rupiah hingga gejolak harga minyak. Seperti diketahui, bicara soal APBN maka bicara soal sensitivitas APBN terhadap asumsi dasar ekonomi makro.
Secuil saja realisasi di atas asumsi makro maka sudah jelas APBN akan mendapatkan keuntungan. Bahkan dalam Nota Keuangan 2018 yang disampaikan, jelas disebutkan sesuai perhitungan analisis sensitivitas, dampak peningkatan asumsi dasar ekonomi makro tersebut terhadap kenaikan pendapatan negara masih jauh lebih besar jika dibandingkan dengan dampak kenaikan belanja negara, sehingga secara total peningkatan tersebut akan berdampak positif terhadap postur APBN, yaitu berupa pengurangan defisit anggaran.
Mudahnya, semakin bias realisasi dengan asumsi maka semakin banyak benefit yang didapatkan APBN, terutama Rupiah dan ICP (Indonesia Crude Price) atau harga minyak.
"Sayang sekali, ini adalah prestasi yang semu. Karena tercapainya 100% target penerimaan negara ternyata bersifat musiman," kata Ekonom Gede Sandra, Kamis (3/1/2019).
Dijelaskan Gede, maksud dari 'musiman' di sini yaitu hanya terjadi pada saat musim harga minyak dunia sedang tinggi, jauh di atas asumsi harga minyak di anggaran (APBN).
Selain tahun 2018, tercapainya target 100% penerimaan juga terjadi pada saat 'musim' harga minyak tinggi di tahun 2007 (102,5% dari target) dan 2008 (109,7% dari target).
"Tahun 2018 harga rata-rata minyak dunia US$ 70 barel per hari, sedangkan asumsi harga minyak APBN jauh di bawah hanya US$ 48 barel per hari. Tahun 2007 harga rata-rata minyak dunia US$73 barel per hari, sedangkan asumsi harga minyak APBN US$60 barel per hari (dinaikkan APBN-P 2007 menjadi US$ 63 barel per hari."
Sementara, tahun 2008 harga rata-rata minyak dunia US$ 100 barel per hari, sedangkan asumsi harga minyak APBN US$ 60 barel per hari (dinaikkan APBN-P 2008 menjadi US$ 83 barel per hari.
Kenaikan harga minyak dunia memberi keuntungan tersendiri untuk penerimaan negara, khususnya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). PNBP nilainya Rp 407,1 triliun atau 147,8% dari target APBN dan tumbuh 30,8% dari tahun sebelumnya.
Setiap kenaikan ICP sebesar US$ 1 per barel bisa meningkatkan penerimaan negara sebesar Rp 1,1 triliun. Sementara itu, jika nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS melemah Rp 100, maka ini bisa menambah pundi negara sebesar Rp2,1 triliun.
"Selain harga minyak, yang juga cukup membantu tercapainya target penerimaan negara adalah pelemahan kurs Rupiah terhadap dolar AS," ungkap Gede.
Selama tahun 2018, kurs Rupiah melemah secara rata-rata hingga Rp 14.750/U$, jauh di atas asumsi nilai tukar APBN sebesar Rp 13.400/U$.
"Kemudian tentang capaian berkurangnya defisit APBN sebesar 1,76% (di bawah target APBN 2,19%), yang juga dibanggakan Menkeu Sri Mulyani sebagai prestasi. Perlu diketahui bahwa ini juga merupakan prestasi yang semu, karena dicapai dengan mengorbankan kesehatan BUMN. Kanker kerugian yang seharusnya diderita APBN, dipindah ke BUMN," katanya lagi.
CNBC Indonesia memberitakan keuangan perusahaan migas terbesar nasional PT Pertamina (Persero) benar-benar seret. Berdasar paparan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), laba Pertamina di kuartal III-2018 hanya Rp 5 triliun.
Angka ini merosot jauh dibanding capaian di 2017 lalu di mana dalam setahun perseroan bisa membukukan laba hingga Rp 35 triliun.
"Sementara akibat pelemahan kurs Rupiah, rugi PLN (hingga Kuartal-III 2018) membengkak hingga Rp 18,5 triliun, padahal BUMN ini sebelumnya menargetkan laba Rp 10,4 triliun di tahun 2018," jelas Gede.
Selain pemindahan kanker ke BUMN, berkurangnya defisit juga diakibatkan penundaan berbagai proyek infrastruktur oleh Pemerintah. Seperti diketahui, akibat pelemahan kurs Rupiah, pada bulan September lalu Pemerintah memutuskan untuk menunda sebagian proyek infrastruktur hingga tiga tahun ke depan.
"Jadi, tercapainya target 100% penerimaan negara dan berkurangnya defisit ternyata bukan berasal dari perbaikan kinerja. Indikator kunci (key indicator) dari kinerja Menteri Keuangan," tutup Gede.
(gus) Next Article Cerita Sri Mulyani: Tiap Kementerian Minta Anggaran Naik
Kata-kata tersebut diucapkan langsung oleh sangĀ Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Penerimaan negara tahun 2018 mencapai 102,5% (Rp 1.942,3 triliun) dari target sebesar Rp 1.894,7 triliun.
Pemerintah membanggakan penerimaan negara tersebut di tengah anjloknya nilai tukar rupiah hingga gejolak harga minyak. Seperti diketahui, bicara soal APBN maka bicara soal sensitivitas APBN terhadap asumsi dasar ekonomi makro.
![]() |
Mudahnya, semakin bias realisasi dengan asumsi maka semakin banyak benefit yang didapatkan APBN, terutama Rupiah dan ICP (Indonesia Crude Price) atau harga minyak.
"Sayang sekali, ini adalah prestasi yang semu. Karena tercapainya 100% target penerimaan negara ternyata bersifat musiman," kata Ekonom Gede Sandra, Kamis (3/1/2019).
Dijelaskan Gede, maksud dari 'musiman' di sini yaitu hanya terjadi pada saat musim harga minyak dunia sedang tinggi, jauh di atas asumsi harga minyak di anggaran (APBN).
Selain tahun 2018, tercapainya target 100% penerimaan juga terjadi pada saat 'musim' harga minyak tinggi di tahun 2007 (102,5% dari target) dan 2008 (109,7% dari target).
"Tahun 2018 harga rata-rata minyak dunia US$ 70 barel per hari, sedangkan asumsi harga minyak APBN jauh di bawah hanya US$ 48 barel per hari. Tahun 2007 harga rata-rata minyak dunia US$73 barel per hari, sedangkan asumsi harga minyak APBN US$60 barel per hari (dinaikkan APBN-P 2007 menjadi US$ 63 barel per hari."
Sementara, tahun 2008 harga rata-rata minyak dunia US$ 100 barel per hari, sedangkan asumsi harga minyak APBN US$ 60 barel per hari (dinaikkan APBN-P 2008 menjadi US$ 83 barel per hari.
Kenaikan harga minyak dunia memberi keuntungan tersendiri untuk penerimaan negara, khususnya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). PNBP nilainya Rp 407,1 triliun atau 147,8% dari target APBN dan tumbuh 30,8% dari tahun sebelumnya.
Setiap kenaikan ICP sebesar US$ 1 per barel bisa meningkatkan penerimaan negara sebesar Rp 1,1 triliun. Sementara itu, jika nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS melemah Rp 100, maka ini bisa menambah pundi negara sebesar Rp2,1 triliun.
"Selain harga minyak, yang juga cukup membantu tercapainya target penerimaan negara adalah pelemahan kurs Rupiah terhadap dolar AS," ungkap Gede.
Selama tahun 2018, kurs Rupiah melemah secara rata-rata hingga Rp 14.750/U$, jauh di atas asumsi nilai tukar APBN sebesar Rp 13.400/U$.
"Kemudian tentang capaian berkurangnya defisit APBN sebesar 1,76% (di bawah target APBN 2,19%), yang juga dibanggakan Menkeu Sri Mulyani sebagai prestasi. Perlu diketahui bahwa ini juga merupakan prestasi yang semu, karena dicapai dengan mengorbankan kesehatan BUMN. Kanker kerugian yang seharusnya diderita APBN, dipindah ke BUMN," katanya lagi.
CNBC Indonesia memberitakan keuangan perusahaan migas terbesar nasional PT Pertamina (Persero) benar-benar seret. Berdasar paparan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), laba Pertamina di kuartal III-2018 hanya Rp 5 triliun.
Angka ini merosot jauh dibanding capaian di 2017 lalu di mana dalam setahun perseroan bisa membukukan laba hingga Rp 35 triliun.
"Sementara akibat pelemahan kurs Rupiah, rugi PLN (hingga Kuartal-III 2018) membengkak hingga Rp 18,5 triliun, padahal BUMN ini sebelumnya menargetkan laba Rp 10,4 triliun di tahun 2018," jelas Gede.
Selain pemindahan kanker ke BUMN, berkurangnya defisit juga diakibatkan penundaan berbagai proyek infrastruktur oleh Pemerintah. Seperti diketahui, akibat pelemahan kurs Rupiah, pada bulan September lalu Pemerintah memutuskan untuk menunda sebagian proyek infrastruktur hingga tiga tahun ke depan.
"Jadi, tercapainya target 100% penerimaan negara dan berkurangnya defisit ternyata bukan berasal dari perbaikan kinerja. Indikator kunci (key indicator) dari kinerja Menteri Keuangan," tutup Gede.
(gus) Next Article Cerita Sri Mulyani: Tiap Kementerian Minta Anggaran Naik
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular